Demokrasi Alami Kemunduran, Puluhan Aktivis Jalan Mundur dari Alun-alun Utara hingga Istana Kepresidenan Yogyakarta
loading...
A
A
A
YOGYAKARTA - Prihatin dengan nasib demokrasi di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), puluhan orang melakukan aksi jalan mundur sambil membawa obor ke Istana Kepresidenan Yogyakarta atau Gedung Agung, Kamis (8/2/2024) malam.
Mereka yang mengatasnamakan diri sebagai aktivis reformasi 1998 yang berasal dari sejumlah perguruan tinggi.
Di antaranya berasal dari alumnus Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Universitas Islam Indonesia (UII), Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Universitas Sanata Dharma (USD), Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY) dan beberapa perguruan tinggi lainnya berjalan mundur dari Alun-alun utara Yogyakarta-Titik Nol Kilometer-Istana Kepresidenan Yogyakarta.
Berpakaian serba hitam mereka perlahan melangkah mundur melewati Museum Sonobudoyo, Kantor Cabang Utama BNI, lalu menyeberangi simpang empat Titik Nol Kilometer Yogyakarta menuju depan Gedung Agung Yogyakarta sembari membawa obor dan diiringi lagu 'Darah Juang'.
Sembari berorasi, mereka terus menyanyikan lagu Darah Juang sebagai penyemangat gerakan keprihatinan atas kondisi bangsa. Mereka menandaskan jika apa yang terjadi kini telah melanggar Demokrasi dan melanggar etika.
"Demokrasi telah terang-terangan dilanggar. Omong kosong kalau yang dikatakan hari ini tidak melanggar etika," pekik Titok Hariyanto, aktivis eks UGM yang menjadi salah satu inisiator saat berorasi di depan Gedung Agung.
Dia menjelaskan, para aktivis reformasi 1998 menilai terjadi kemunduran atas demokrasi di era pemerintahan Jokowi ini. Sehingga secara simbolis mereka melakukan aksi jalan mundur seperti mundurnya demokrasi saat ini.
Selain terjadi kemunduran demokrasi, dua lembaga tinggi negara yaitu Mahkamah Konstitusi dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) terang-terangan melakukan pelamggaran etik.
Di mana secara pararel dalam konteks kasus sama, yakni menyangkut persyaratan dan pendaftaran Capres-Cawapres 2024.
"Kedua lembaga tinggi negara ini telah mencederai, juga mengkhianati proses pelembagaan demokrasi yang susah payah diperjuangkan sejak era gerakan Reformasi 1998," ujarnya.
"Nilai-nilai etika moral yang menjadi sumber rujukan utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara telah diingkari," tambahnya.
Pemicunya, semua karena adanya upaya pelanggengan kekuasaan dinasti politik keluarga Jokowi. Karena relasi kuasa ini pula yang menurut para aktivis '98, pada gilirannya mengancam kehidupan demokrasi Indonesia dan memunculkan tirani politik mencengkeram.
Oleh karenanya, aktivis reformasi 98 mengajak semua pihak untuk memanfaatkan momentum Pemilu nanti untuk memberikan satu pelajaran kepada siapapun yang sekarang ini menodai demokrasi dan mencederai semangat reformasi 98.
"Kami mengajak semua pihak untuk kembali kepada semangat reformasi 98," katanya.
Titok melanjutkan, reformasi '98 bukan sekadar soal melengserkan Soeharto dari kursi kepresidenan, melainkan juga membangun suatu nilai baru yang lebih menghargai kebebasan, memberikan ruang lebih demokratis kepada masyarakat.
Dia mengajak masyatakat untuk mewujudkan pemilu berasaskan luber jurdil, tanpa indikasi keberpihakan pemerintah kepada kontestan. Karena saat ini pemerintahan yang berkuasa dengan terang-terangan berpihak pada salah satu pasangan yang berkontestasi.
"Jelas sekali bahwa pemerintahan yang sekarang berkuasa, dia sedang berpihak. Itu harus diingatkan," tegas Titok.
Titok pribadi merasa kecewa dengan para aktivis masa Orde Baru macam Budiman Sudjatmiko atau Andi Arief yang kini dianggapnya malah memilih berada di barisan pendukung politik dinasti.
Budiman sudah melupakan sejarah hanya demi kepentingan kekuasaan.
Menurutnya, elihat politik itu di dalamnya tidak semata-mata kekuasaan, tidak semata-mata ekonomi. Politik itu juga ada satu value yang diperjuangkan sehingga beberapa alumni aktivis reformasi 98 yang melihat keputusan Budiman cs tentu kecewa.
Gelombang kritik civitas academica berbagai perguruan tinggi, kata Titok, seharusnya cukup untuk membuka mata semua kalangan, termasuk Budiman cs dan parpol akan adanya ketidakberesan dalam berdemokrasi di negara ini.
Istana sudah tak bisa lagi berpura-pura tuli, atau bahkan lebih kejamnya lagi melabeli gerakan akademisi sebagai suatu bentuk penggiringan opini.
"Apakah itu sebuah settingan, apakah itu sebuah rekayasa? Bagaimana profesor, guru besar yang selama ini mereka menjaga jarak dengan kehidupan politik praktis, tiba-tiba berbicara. Pasti kan ada sesuatu, fenomena sosial yang menggerakkan mereka. Ini harus dilihat secara obyektif dan jernih," tambah Widihasto Wasana Putra, aktivis eks UAJY.
In'am eL Mustofa, aktivis eks UIN juga berujar jika lawan saat ini berbeda dengan kala reformasi dulu. Jika era reformasi dulu lawan adalah rezim yang otoriter namun kini adalah rezim yang berdiri di tengah demokrasi.
"Kalau dulu lawan kita rezim yang otoriter, sekarang lawan kita rezim yang berdiri di tengah demokrasi. Rezim despotik, di atas otoritarian, haris kita lawan, jangan tinggal diam," serunya.
Massa dalam aksinya membawa obor sembari mengarak keris pusaka luk 11 tangguh Pajang Mataram. Tiap-tiap elemen dalam aksi ini merupakan simbolisasi aspirasi yang mereka gaungkan.
Seperti Tanjek Yoni sebagai pusaka atau kekuatan yang dipercaya untuk menyingkirkan angkara murka dan keserakahan. Sementara Alun-alun Utara dipilih menjadi titik awal keberangkatan karena sejarah pelataran Keraton Yogyakarta sebagai tempat terselenggaranya Pisowanan Ageng tanggal 20 Mei 1998.
"Peristiwa ini adalah penanda era reformasi di Kota Gudeg," terangnya.
Mereka yang mengatasnamakan diri sebagai aktivis reformasi 1998 yang berasal dari sejumlah perguruan tinggi.
Di antaranya berasal dari alumnus Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Universitas Islam Indonesia (UII), Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Universitas Sanata Dharma (USD), Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY) dan beberapa perguruan tinggi lainnya berjalan mundur dari Alun-alun utara Yogyakarta-Titik Nol Kilometer-Istana Kepresidenan Yogyakarta.
Berpakaian serba hitam mereka perlahan melangkah mundur melewati Museum Sonobudoyo, Kantor Cabang Utama BNI, lalu menyeberangi simpang empat Titik Nol Kilometer Yogyakarta menuju depan Gedung Agung Yogyakarta sembari membawa obor dan diiringi lagu 'Darah Juang'.
Sembari berorasi, mereka terus menyanyikan lagu Darah Juang sebagai penyemangat gerakan keprihatinan atas kondisi bangsa. Mereka menandaskan jika apa yang terjadi kini telah melanggar Demokrasi dan melanggar etika.
"Demokrasi telah terang-terangan dilanggar. Omong kosong kalau yang dikatakan hari ini tidak melanggar etika," pekik Titok Hariyanto, aktivis eks UGM yang menjadi salah satu inisiator saat berorasi di depan Gedung Agung.
Baca Juga
Dia menjelaskan, para aktivis reformasi 1998 menilai terjadi kemunduran atas demokrasi di era pemerintahan Jokowi ini. Sehingga secara simbolis mereka melakukan aksi jalan mundur seperti mundurnya demokrasi saat ini.
Selain terjadi kemunduran demokrasi, dua lembaga tinggi negara yaitu Mahkamah Konstitusi dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) terang-terangan melakukan pelamggaran etik.
Di mana secara pararel dalam konteks kasus sama, yakni menyangkut persyaratan dan pendaftaran Capres-Cawapres 2024.
"Kedua lembaga tinggi negara ini telah mencederai, juga mengkhianati proses pelembagaan demokrasi yang susah payah diperjuangkan sejak era gerakan Reformasi 1998," ujarnya.
"Nilai-nilai etika moral yang menjadi sumber rujukan utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara telah diingkari," tambahnya.
Pemicunya, semua karena adanya upaya pelanggengan kekuasaan dinasti politik keluarga Jokowi. Karena relasi kuasa ini pula yang menurut para aktivis '98, pada gilirannya mengancam kehidupan demokrasi Indonesia dan memunculkan tirani politik mencengkeram.
Oleh karenanya, aktivis reformasi 98 mengajak semua pihak untuk memanfaatkan momentum Pemilu nanti untuk memberikan satu pelajaran kepada siapapun yang sekarang ini menodai demokrasi dan mencederai semangat reformasi 98.
"Kami mengajak semua pihak untuk kembali kepada semangat reformasi 98," katanya.
Titok melanjutkan, reformasi '98 bukan sekadar soal melengserkan Soeharto dari kursi kepresidenan, melainkan juga membangun suatu nilai baru yang lebih menghargai kebebasan, memberikan ruang lebih demokratis kepada masyarakat.
Dia mengajak masyatakat untuk mewujudkan pemilu berasaskan luber jurdil, tanpa indikasi keberpihakan pemerintah kepada kontestan. Karena saat ini pemerintahan yang berkuasa dengan terang-terangan berpihak pada salah satu pasangan yang berkontestasi.
"Jelas sekali bahwa pemerintahan yang sekarang berkuasa, dia sedang berpihak. Itu harus diingatkan," tegas Titok.
Titok pribadi merasa kecewa dengan para aktivis masa Orde Baru macam Budiman Sudjatmiko atau Andi Arief yang kini dianggapnya malah memilih berada di barisan pendukung politik dinasti.
Budiman sudah melupakan sejarah hanya demi kepentingan kekuasaan.
Menurutnya, elihat politik itu di dalamnya tidak semata-mata kekuasaan, tidak semata-mata ekonomi. Politik itu juga ada satu value yang diperjuangkan sehingga beberapa alumni aktivis reformasi 98 yang melihat keputusan Budiman cs tentu kecewa.
Gelombang kritik civitas academica berbagai perguruan tinggi, kata Titok, seharusnya cukup untuk membuka mata semua kalangan, termasuk Budiman cs dan parpol akan adanya ketidakberesan dalam berdemokrasi di negara ini.
Istana sudah tak bisa lagi berpura-pura tuli, atau bahkan lebih kejamnya lagi melabeli gerakan akademisi sebagai suatu bentuk penggiringan opini.
"Apakah itu sebuah settingan, apakah itu sebuah rekayasa? Bagaimana profesor, guru besar yang selama ini mereka menjaga jarak dengan kehidupan politik praktis, tiba-tiba berbicara. Pasti kan ada sesuatu, fenomena sosial yang menggerakkan mereka. Ini harus dilihat secara obyektif dan jernih," tambah Widihasto Wasana Putra, aktivis eks UAJY.
In'am eL Mustofa, aktivis eks UIN juga berujar jika lawan saat ini berbeda dengan kala reformasi dulu. Jika era reformasi dulu lawan adalah rezim yang otoriter namun kini adalah rezim yang berdiri di tengah demokrasi.
"Kalau dulu lawan kita rezim yang otoriter, sekarang lawan kita rezim yang berdiri di tengah demokrasi. Rezim despotik, di atas otoritarian, haris kita lawan, jangan tinggal diam," serunya.
Massa dalam aksinya membawa obor sembari mengarak keris pusaka luk 11 tangguh Pajang Mataram. Tiap-tiap elemen dalam aksi ini merupakan simbolisasi aspirasi yang mereka gaungkan.
Seperti Tanjek Yoni sebagai pusaka atau kekuatan yang dipercaya untuk menyingkirkan angkara murka dan keserakahan. Sementara Alun-alun Utara dipilih menjadi titik awal keberangkatan karena sejarah pelataran Keraton Yogyakarta sebagai tempat terselenggaranya Pisowanan Ageng tanggal 20 Mei 1998.
"Peristiwa ini adalah penanda era reformasi di Kota Gudeg," terangnya.
(shf)