Serangan Mengerikan Sriwijaya Picu Pertumpahan Darah dan Penaklukan Bangka
loading...
A
A
A
PRASASTI Kerajaan Sriwijaya menggambarkan bagaimana sebuah serangan mengerikan pernah dilakukan kala itu. Serangan dahsyat yang membuat banjir darah itu disebut sebagai kutukan yang dialami oleh daerah kekuasaan.
Fragmen prasasti Kerajaan Sriwijaya ditemukan tahun 1928 di Bukit Seguntang. Fragmen itu terdiri dari 21 baris dan menyebut adanya peperangan, seperti yang tertera pada baris ke-10 yang berbunyi tidak tahu pira marvya (ha) atau tidak tahu berapa banyak yang berperang.
Kemudian baris ke-5 yang berbunyi vañak pramirahña, atau banyak darah tertumpah. Lalu baris ke-9 yaitu pauravirakta atau merah (oleh darah) penduduknya, serta mamañcak yam praj ini yang diduga berkenaan dengan peperangan itu sendiri.
Fragmen ini juga memuat kutukan kepada mereka yang berbuat salah, sebagaimana dikutip dari "Sejarah Nasional Indonesia II : Zaman Kuno".
Prasasti singkat lainnya berupa dua buah fragmen prasasti dari tanah liat. Bahasa yang dipakai bahasa Sanskerta. Prasasti pertama disimpan di Museum Nasional, Jakarta dengan nomor D162, asalnya dari kampung Sabukingking, 2 Ilir bagian timur kota Palembang.
Isinya tentang kemenangan Raja Sriwijaya atas tentaranya sendiri yang membangkang, bukan atas musuhnya dari luar.
Dijelaskan secara tersyirat, bahwa keterangan-keterangan dari prasasti disimpulkan bahwa Kerajaan Sriwijaya telah meluaskan wilayah kekuasaannya hingga ke daerah Melayu.
Bahkan beberapa daerah di sekitar Jambi sekarang, sampai ke Pulau Bangka dan daerah Lampung Selatan mulai coba dkuasai oleh Sriwijaya.
Kerajaan Sriwijaya juga berusaha untuk menaklukkan Pulau Jawa yang menjadi saingan dalam bidang pelayaran dan perdagangan dengan luar negeri.
Apalagi di saat bersama di Pulau Jawa muncul Kerajaan Mataram kuno yang berkuasa di beberapa pelabuhan strategis.
Penaklukan Pulau Bangka diduga erat hubungannya dengan penguasaan perdagangan dan pelayaran internasional di Selat Malaka.
Selain letaknya yang strategis, Pulau Bangka pada masa Sriwijaya, menurut Obdeyn, masih bersambung menjadi satu dengan Semenanjung Tanah Melayu termasuk di dalamnya kepulauan Riau dan Lingga. Kebetulan saat itu Selat Sunda juga belum ada.
Pada pelayaran internasional India-Indonesia-Cina harus melalui Selat Bangka, sehingga pantai timur Sumatra dan pantai utara Jawa menjadi sangat penting. Namun, pendapat Obdeyn ini dibantah dengan tegas oleh Verstappen.
Menurut sarjana ini kepulauan Riau dan Lingga pada masa Sriwijaya memang merupakan tanah lanjutan dari Semenanjung Tanah Melayu, tetapi Pulau Bangka dan Belitung sudah dipisahkan oleh laut.
Hanya mungkin laut ini masih berupa selat sempit dan dangkal sehingga belum dapat dipakai untuk pelayaran, lalu lintas pelayaran tetap melalui Selat Bangka.
Lihat Juga: Kisah Cinta Jenderal Sudirman dengan Siti Alfiah, Gambaran Tentang Cinta yang Tak Memandang Harta
Fragmen prasasti Kerajaan Sriwijaya ditemukan tahun 1928 di Bukit Seguntang. Fragmen itu terdiri dari 21 baris dan menyebut adanya peperangan, seperti yang tertera pada baris ke-10 yang berbunyi tidak tahu pira marvya (ha) atau tidak tahu berapa banyak yang berperang.
Kemudian baris ke-5 yang berbunyi vañak pramirahña, atau banyak darah tertumpah. Lalu baris ke-9 yaitu pauravirakta atau merah (oleh darah) penduduknya, serta mamañcak yam praj ini yang diduga berkenaan dengan peperangan itu sendiri.
Fragmen ini juga memuat kutukan kepada mereka yang berbuat salah, sebagaimana dikutip dari "Sejarah Nasional Indonesia II : Zaman Kuno".
Prasasti singkat lainnya berupa dua buah fragmen prasasti dari tanah liat. Bahasa yang dipakai bahasa Sanskerta. Prasasti pertama disimpan di Museum Nasional, Jakarta dengan nomor D162, asalnya dari kampung Sabukingking, 2 Ilir bagian timur kota Palembang.
Isinya tentang kemenangan Raja Sriwijaya atas tentaranya sendiri yang membangkang, bukan atas musuhnya dari luar.
Dijelaskan secara tersyirat, bahwa keterangan-keterangan dari prasasti disimpulkan bahwa Kerajaan Sriwijaya telah meluaskan wilayah kekuasaannya hingga ke daerah Melayu.
Bahkan beberapa daerah di sekitar Jambi sekarang, sampai ke Pulau Bangka dan daerah Lampung Selatan mulai coba dkuasai oleh Sriwijaya.
Kerajaan Sriwijaya juga berusaha untuk menaklukkan Pulau Jawa yang menjadi saingan dalam bidang pelayaran dan perdagangan dengan luar negeri.
Apalagi di saat bersama di Pulau Jawa muncul Kerajaan Mataram kuno yang berkuasa di beberapa pelabuhan strategis.
Penaklukan Pulau Bangka diduga erat hubungannya dengan penguasaan perdagangan dan pelayaran internasional di Selat Malaka.
Selain letaknya yang strategis, Pulau Bangka pada masa Sriwijaya, menurut Obdeyn, masih bersambung menjadi satu dengan Semenanjung Tanah Melayu termasuk di dalamnya kepulauan Riau dan Lingga. Kebetulan saat itu Selat Sunda juga belum ada.
Pada pelayaran internasional India-Indonesia-Cina harus melalui Selat Bangka, sehingga pantai timur Sumatra dan pantai utara Jawa menjadi sangat penting. Namun, pendapat Obdeyn ini dibantah dengan tegas oleh Verstappen.
Menurut sarjana ini kepulauan Riau dan Lingga pada masa Sriwijaya memang merupakan tanah lanjutan dari Semenanjung Tanah Melayu, tetapi Pulau Bangka dan Belitung sudah dipisahkan oleh laut.
Hanya mungkin laut ini masih berupa selat sempit dan dangkal sehingga belum dapat dipakai untuk pelayaran, lalu lintas pelayaran tetap melalui Selat Bangka.
Lihat Juga: Kisah Cinta Jenderal Sudirman dengan Siti Alfiah, Gambaran Tentang Cinta yang Tak Memandang Harta
(shf)