Sejarah Kerajaan Sriwijaya, Pusat Peradaban Pengembangan Agama Hindu dan Buddha
loading...
A
A
A
Kerajaan Sriwijaya menjadi pusat dari dua agama tua di dunia. Tak hanya menjadi pusat agama saja, perkembangan agama Buddha dan Hindu di masa Kerajaan Sriwijaya dilakukan berseiringan di masa pemerintahan Sri Culamaniwarman, yang mengaku drinya dari keluarga Sailendra.
Bahkan di masa itu sekitar abad 11, Kerajaan Sriwijaya menjelma sebagai pusat pengajaran agama Buddha bertaraf internasional. Sri Culamaniwarman bertahta dan menjalin hubungan dengan China dan Cola, untuk menghadapi serangan dari Pulau Jawa.
Pada masa pemerintahan Culamaniwarman ini, pendeta Dharmakrti salah seorang pendeta tertinggi di Suwarnadwipa dan tergolong ahli pada masa itu, menyusun kritik tentang Abhisamayalandara sebuah kitab ajaran agama Buddha.
Kemudian dari tahun 1011 hingga 1023 seorang biksu dari Tibet bernama Atisa datang ke Suwarnadwipa untuk belajar agama kepada Dharmakrti.
Dikutip dari “Sejarah Nasional Indonesia II: Zaman Kuno”, Kerajaan Sriwijaya ternyata tidak hanya mengembangkan agama Buddha saja.
Sebab ada bukti yang menunjukkan perkembangan agama Hindu pada kira-kira abad VIII-IX M. Bukti tersebut adalah arca Ganesa batu berukuran besar yang ditemukan di Kota Palembang, Sumatera Selatan pada tahun 80-an.
Diperkirakan perkembangan agama Hindu ini masih berlanjut sampai kira-kira abad XI- XII M, seperti tampak pada situs Bumiayu, Kabupaten Muara Enim, yang memiliki sejumlah reruntuhan kompleks percandian.
Bahkan dari berita China kita memperoleh keterangan bahwa pada tahun 1003 raja Se-li-chu-la-wu-ni-fu-ma-tiau-hwa atau nama lain dari Sri Culamaniwarmadewa, mengirim dua utusan ke Cina untuk membawa upeti.
Mereka mengatakan bahwa di negaranya didirikan sebuah bangunan suci agama Buddha untuk memuja, agar kaisar panjang umur. Mereka memohon agar kaisar memberikan nama dan genta. Bangunan suci itu kemudian diberi nama Cheng-tien-wa-shou.
Tahun 1008 datang lagi satu perutusan dari raja yang bernama Se li- ma-la-pi (Sri Marawi) ke Cina. Mungkin yang dimaksud di sini ialah Sri Marawijayottunggawarman. Utusan selanjutnya datang di China pada tahun 1016, 1017, dan 1018.
Dari keterangan di atas rupa-rupanya raja Culamaniwarman memerintah tidak lama, ia digantikan oleh anaknya yang bernama Marawijayottunggawarman.
Sekitar tahun 1005-1006, yaitu pada masa pemerintahan ke-21 dari raja Cola yang bernama Rajakesariwarman Rajaraja I.
Raja Marawijayottunggawarman mendirikan sebuah bangunan suci agama Buddha di Nagipattana dengan bantuan raja Cola tadi. Bangunan ini kemudian diberi nama Culamaņiwarmawihara yang berdiri megah dan menjulangg tinggi.
Lihat Juga: Kisah Cinta Jenderal Sudirman dengan Siti Alfiah, Gambaran Tentang Cinta yang Tak Memandang Harta
Bahkan di masa itu sekitar abad 11, Kerajaan Sriwijaya menjelma sebagai pusat pengajaran agama Buddha bertaraf internasional. Sri Culamaniwarman bertahta dan menjalin hubungan dengan China dan Cola, untuk menghadapi serangan dari Pulau Jawa.
Pada masa pemerintahan Culamaniwarman ini, pendeta Dharmakrti salah seorang pendeta tertinggi di Suwarnadwipa dan tergolong ahli pada masa itu, menyusun kritik tentang Abhisamayalandara sebuah kitab ajaran agama Buddha.
Kemudian dari tahun 1011 hingga 1023 seorang biksu dari Tibet bernama Atisa datang ke Suwarnadwipa untuk belajar agama kepada Dharmakrti.
Dikutip dari “Sejarah Nasional Indonesia II: Zaman Kuno”, Kerajaan Sriwijaya ternyata tidak hanya mengembangkan agama Buddha saja.
Sebab ada bukti yang menunjukkan perkembangan agama Hindu pada kira-kira abad VIII-IX M. Bukti tersebut adalah arca Ganesa batu berukuran besar yang ditemukan di Kota Palembang, Sumatera Selatan pada tahun 80-an.
Diperkirakan perkembangan agama Hindu ini masih berlanjut sampai kira-kira abad XI- XII M, seperti tampak pada situs Bumiayu, Kabupaten Muara Enim, yang memiliki sejumlah reruntuhan kompleks percandian.
Bahkan dari berita China kita memperoleh keterangan bahwa pada tahun 1003 raja Se-li-chu-la-wu-ni-fu-ma-tiau-hwa atau nama lain dari Sri Culamaniwarmadewa, mengirim dua utusan ke Cina untuk membawa upeti.
Mereka mengatakan bahwa di negaranya didirikan sebuah bangunan suci agama Buddha untuk memuja, agar kaisar panjang umur. Mereka memohon agar kaisar memberikan nama dan genta. Bangunan suci itu kemudian diberi nama Cheng-tien-wa-shou.
Tahun 1008 datang lagi satu perutusan dari raja yang bernama Se li- ma-la-pi (Sri Marawi) ke Cina. Mungkin yang dimaksud di sini ialah Sri Marawijayottunggawarman. Utusan selanjutnya datang di China pada tahun 1016, 1017, dan 1018.
Dari keterangan di atas rupa-rupanya raja Culamaniwarman memerintah tidak lama, ia digantikan oleh anaknya yang bernama Marawijayottunggawarman.
Sekitar tahun 1005-1006, yaitu pada masa pemerintahan ke-21 dari raja Cola yang bernama Rajakesariwarman Rajaraja I.
Raja Marawijayottunggawarman mendirikan sebuah bangunan suci agama Buddha di Nagipattana dengan bantuan raja Cola tadi. Bangunan ini kemudian diberi nama Culamaņiwarmawihara yang berdiri megah dan menjulangg tinggi.
Lihat Juga: Kisah Cinta Jenderal Sudirman dengan Siti Alfiah, Gambaran Tentang Cinta yang Tak Memandang Harta
(ams)