Lafran Pane, Putera Tapsel Pahlawan Kebanggaan HMI

Minggu, 12 November 2017 - 05:00 WIB
Lafran Pane, Putera Tapsel Pahlawan Kebanggaan HMI
Lafran Pane, Putera Tapsel Pahlawan Kebanggaan HMI
A A A
BANGSA yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa para pahlawannya. Demikian isi pidato Presiden RI pertama Soekarno saat memperingati Hari Pahlawan, 10 November 1961.

Cerita Pagi kali ini kita masih mengangkat tema pahlawan karena banyaknya tokoh pahlawan di Indonesia yang perlu diketahui publik. Setidaknya, kisah dan perjuangan mereka bisa menjadi motivasi dan pelajaran berharga bagi generasi muda Indonesia.

Belum lama ini, Kamis (9/11/2017), Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberi gelar Pahlawan Nasional kepada empat tokoh di Istana Negara, Jakarta. Pemberian gelar ini berdasarkan Keputusan Presiden RI nomor 115/TK/Tahun 2017 per tanggal 6 November tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional.

Keempat tokoh itu adalah TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Masjid dari NTB; Laksamana Malahayati dari Aceh; Sultan Mahmud Riayat Syah dari Kepulauan Riau; dan Lafran Pane dari Daerah Istimewa Yogyakarta.

Ada yang menarik dari pengangkatan Pahlawan Nasional kali ini. Adalah sosok Lafran Pane yang diangkat menjadi pahlawan bukan karena keterlibatannya di medan perang. Akan tetapi karena kiprahnya di dunia pendidikan dan jasanya yang menggaungkan organisasi kemahasiswaan dan keislaman di Tanah Air.

Prof Drs H Lafran Pane dikenal sebagai tokoh pemrakarsa dan pendiri Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), organisasi yang melahirkan banyak sumber daya manusia (SDM) terbaik di negeri ini. Tak hanya itu, Lafran juga punya andil besar terhadap lahirnya proklamasi. Dia juga disegani karena pemikiran dan gagasannya terhadap kemajuan Islam.

Lafran Pane lahir di Kota Padangsidimpuan, Sumatera Utara pada 5 Februari 1922. Namun, berbagai tulisan menyebutnya lahir 12 April 1923 di Kampung Pangurabaan, Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan (Tapsel), sekitar 38 kilometer arah utara Kota Padangsidimpuan.

Lafran Pane memang lahir dan besar di Tapanuli Selatan. Namun, pemerintah mengangkatnya sebagai Pahlawan Nasional dari Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) karena ia berkiprah dan berkarya di daerah tersebut.

Lafran Pane wafat pada tanggal 24 Januari 1991. Namun, publik akhirnya tahu setelah kematiannya ternyata Lafran Pane lahir 5 Februari 1922, bukan 12 April 1922 seperti yang kerap digunakannya dalam catatan resmi.

Lafran Pane adalah anak keenam dari keluarga Sutan Pangurabaan Pane dari istrinya yang pertama. Lafran bungsu dari enam bersaudara yaitu: Nyonya Tarib, Sanusi Pane, Armijn Pane, Nyonya Bahari Siregar, Nyonya Hanifiah, Lafran Pane.

Ayahnya adalah seorang guru pengajar sekaligus seniman Batak Mandailing di Muara Sipongi, Mandailing Natal. Keluarga Lafran Pane juga merupakan keluarga sastrawan yang banyak menulis karya novel. Seperti dua kakak kandungnya Sanusi Pane dan Armijn Pane yang merupakan sastrawan dan pujangga terkenal di Indonesia.

Ayahnya Sutan Pangurabaan Pane, salah seorang pendiri Muhammadiyah di Sipirok pada 1921. Sedangkan Kakeknya adalah seorang ulama bernama Syekh Badurrahman Pane. Tak heran jika pendidikan agamanya didapat sebelum memasuki sekolah formal.

Riwayat pendidikan Lafran Pane diketahui sering berpindah-pindah sekolah. Dia sekolah pertama kali di Pesantren Muhammadiyah Sipirok hingga akhirnya meneruskan sekolah kelas 7 di HIS Muhammadiyah. Kemudian menyambung ke Taman Dewasa Raya Jakarta. Saat itu, ibukota pindah ke Yogyakarta dan Sekolah Tinggi Islam (STI) yang semula di Jakarta juga ikut pindah ke Yogyakarta.

Sebelum tamat dari STI, Lafran pindah ke Akademi Ilmu Politik (AIP) pada April 1948 Universitas Gadjah Mada (UGM) yang kemudian dinegerikan pada tahun 1949.

Tercatat dalam sejarah Universitas Gadjah Mada (UGM), Lafran Pane termasuk salah satu mahasiswa yang pertama kali lulus gelar sarjana, yaitu tanggal 26 Januari 1953. Lafran juga menjadi salah satu sarjana ilmu politik pertama di Indonesia. Tak heran jika pengetahuan dan wawasan intelektualnya berkembang saat menjadi mahasiswa.

Mengenai ini, Sujoko Prasodjo dalam sebuah artikelnya di Majalah Media Nomor: 7 Thn. III. Rajab 1376 H/ Februari 1957, menuliskan: “...Sesungguhnya, tahun-tahun permulaan riwayat HMI adalah hampir identik dengan sebagian kehidupan Lafran Pane sendiri. Karena dialah yang punya andil terbanyak pada mula kelahiran HMI, kalau tidak boleh kita katakan sebagai tokoh pendiri utamanya”.

Semasa di STI inilah Lafran Pane mendirikan organisasi HMI (Rabu pon, 14 Rabiul Awal 1366 Hijriyah bertepatan tanggal 5 Februari 1947 pukul 16.00). HMI merupakan organisasi mahasiswa berlabelkan “Islam” pertama di Indonesia dengan dua tujuan dasar.

Pertama, mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia. Kedua, menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam. Dua tujuan inilah yang kelak menjadi pondasi dasar gerakan HMI sebagai organisasi maupun individu-individu yang pernah dikader di HMI.
Lafran Pane, Putera Tapsel Pahlawan Kebanggaan HMI

Pemikiran Lafran Pane Tentang Islam
Mengenai pemikirannya tentang Islam, Lafran Pane mengatakan bahwa Agama Islam bukan hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan (hablumminallah). Melainkan hubungan antara manusia yang satu dengan yang lainnya (hablumminannas). Ia meyakini bahwa Islam berisi peraturan-peraturan dan tuntunan-tuntunan untuk segala aspek kehidupan.

Menurut Lafran Pane, setelah kemerdekaan, dampak kolonialisme Belanda tidak serta-merta lenyap. Dia meyakini jika ajaran Islam dipraktikkan secara sempurna oleh rakyat Indonesia dalam segala hal, Belanda tidak mungkin bisa menjajah dan mengekploitasi Indonesia dalam kurun waktu yang sangat lama.

Penjajahan itu terjadi karena Belanda mengetahui lemahnya pendidikan Islam di Indonesia. Padahal, Islam mengajarkan bahwa semua manusia sama di sisi Tuhan, dan perbudakan tidak dibenarkan dalam agama.
Lafran Pane punya pemikiran sendiri tentang pembaharuan Islam. Menurutnya, tugas umat Islam sejati adalah mengajak umat manusia kepada kebaikan dan menciptakan masyarakat adil makmur baik secara material dan spiritual.

Dengan adanya gagasan pembaharuan pemikiran keislaman, diharapkan pengamalan ajaran Islam dapat dilaksanakan sesuai syariat Islam. Untuk mensosialisasikan gagasan keislaman-keindonesiaanya, pada Kongres Muslimin Indonesia (KMI) 20-25 Desember 1949 di Yogjakarta dihadiri 185 organisasi alim ulama dan Inteleketual seluruh Indonesia, Lafran Pane menulis artikel berjudul “Keadaan dan Kemungkinan Kebudayaan Islam di Indonesia”.

Dalam tulisan itu Lafran membagi masyarakat Islam menjadi empat kelompok. Pertama, golongan awam, yaitu mereka yang mengamalkan ajaran islam itu sebagai kewajiban yang diadatkan seperti upacara kawin, mati dan selamatan. Kedua, golongan alim ulama dan pengikut-pengikutnya yang ingin agama Islam dipraktikkan sesuai dengan yang dilakukan Nabi Muhammad SAW.

Ketiga, golongan alim ulama dan pengikutnya yang terpengaruh oleh mistik. Pengaruh mistik ini menyebabkan mereka berpandangan bahwa hidup hanyalah untuk akhirat saja. Mereka tidak begitu memikirkan lagi kehidupan dunia (ekonomi, politik, pendidikan).

Sedangkan golongan keempat adalah golongan kecil yang mecoba menyesuaikan diri dengan kemauan zaman, selaras dengan wujud dan hakikat agama Islam. Mereka berusaha, supaya agama itu benar-benar dapat dipraktikkan dalam masyarakat Indonesia saat ini.

Aturan Islam dianggapnya sebagai satu kebudayaan yang sempurna, bukan ciptaan manusia. Meskipun banyak perbedaan bangsa, beragam faktor alam dan tradisi dan lain-lain, maka kebudayaan Islam hendaknya disesuaikan dengan keadaan masyarakat itu sendiri.

Sebagai seorang muslim dan warga Negara Indonesia, Lafran Pane menunjukkan semangat nasionalismenya. Pemikirannya tidak lepas dari lingkungannya, yaitu negara Indonesia yang mayoritas beragama Islam dan beragam kebudayaan.

Dari pemikiran itulah lahir HMI, organisasi tempat berkumpulnya banyak golongan dan organisasi Islam. Pada tanggal 5 Februari 1947 Lafran menjadi Ketua Umum Pengurus Besar (PB) HMI karena ia adalah orang yang menggagas HMI bersama beberapa orang temannya. Namun, Lafran mundur dari ketua Umum PB HMI pada 22 Agustus 1947 dan menjadi wakil ketua umum. Ia hanya menjabat sebagai ketua umum selama 7 bulan.

Kemudian posisinya diberikan kepada seorang mahasiswa UGM bernama Mohammad Syafa'at Mintaredja. Siasat ini dilakukannya agar HMI tidak terkesan milik mahasiswa Sekolah Tinggi Islam (STI). Setelah itu, ia memperluas dakwah HMI di kampus-kampus dan memperkuat posisi HMI dalam dunia kemahasiswaan.

Lafran Pane juga pernah menjadi dosen Fisipol UGM, dosen Universitas Islam Indonesia (UII), dosen Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Dosen Akademi Tabligh Muhammadiyah (ATM) yang kemudian menjadi Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).

Atas jasanya mendorong gerakan mahasiswa dan pemikiran pembaruan Islam hingga manfaatnya dirasakan Indonesia saat ini, pemerintah mengangkatnya sebagai Pahlawan Nasional.


Sumber:

[1] Biografiku
[2] Wikipedia
(rhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.6170 seconds (0.1#10.140)