Kisah Ki Ageng Madiyo Pandan, Enggan Jadi Raja Demak Pilih Berdakwah

Senin, 12 Juni 2017 - 05:00 WIB
Kisah Ki Ageng Madiyo Pandan, Enggan Jadi Raja Demak Pilih Berdakwah
Kisah Ki Ageng Madiyo Pandan, Enggan Jadi Raja Demak Pilih Berdakwah
A A A
Bagi warga Kota Semarang, nama Ki Ageng Pandanaran sudah tidak asing lagi. Dia merupakan seorang tokoh yang disebut-sebut sebagai peletak dasar pemerintahan Kota Semarang dan menjadi Bupati pertama di kota tersebut.

Namun, tak banyak yang mengetahui bahwa di balik kesuksesan Ki Ageng Pandanaran menyebarkan Islam di Kota Semarang, ada tokoh lain yang sangat berperan dalam perjalannya.

Karena pentingnya, tokoh tersebut juga dimakamkan berdampingan dengan makam Ki Ageng Pandanaran di pemakaman Mugas Kota Semarang.

Dia adalah Ki Ageng Madiyo Pandan, putra Pangeran Sabrang Lor sekaligus Cucu Raja Demak Raden Patah. Menurut sejumlah literatur, Pangeran Madiyo Pandan merupakan ayah Sunan Pandanaran.

"Menurut silsilah, Pangeran Madiyo Pandan adalah anak Pangeran Sabrang Lor. Dari cerita yang berkembang, Pangeran Madiyo Pandan memilih hidup sebagai seorang sufi dan tidak mau menjadi raja seperti ayahnya, Pangeran Sabrang Lor," kata Agus Krisdiyono, juru kunci makam Ki Ageng Pandanaran, Sabtu 10 Juni 2017.

Karena pilihan hidupnya itu, Pangeran Madiyo Pandan, lanjut Agus, kemudian meninggalkan Demak Bintoro dan memilih menyebarkan Islam di Pulau Tirang, yang sekarang disebut Kota Semarang.

Saat itu, dia mengajak serta anaknya Sunan Pandanaran kecil atau bernama Kanjeng Pangeran Mande Pandan berdakwah ke daerah tersebut.

"Ada cerita versi lain jika sebenarnya Pangeran Madiyo Pandan memang ditugaskan Raden Patah untuk berdakwah di Pulau Tirang," imbuhnya.

Saat meninggal, tugasnya berdakwah dilanjutkan putranya, Pangeran Made Pandan yang dikenal dengan Sunan Pandanaran. Dari situlah kemudian Kota Semarang terus berkembang baik dari sisi keislaman maupun pemerintahan. "Pangeran Pandanaran kemudian membangun Kota Semarang hingga menjadi kota besar seperti saat ini," ucapnya.

Pangeran Madiyo Pandan, lanjut Agus, memiliki nama lain yakni Maulana Ibnu Abdul Salam. Dia dimakamkan bersama dengan anaknya Sunan Pandanaran serta menantunya, Nyi Ageng Sejanila atau Endang Sejanila.

"Makam ini sering dikunjungi masyarakat juga para pejabat di lingkungan Pemkot Semarang. Setiap peringatan hari ulang tahun Kota Semarang, semua pejabat termasuk Wali Kota Semarang selalu berziarah di makam ini," terangnya.

Pengamat Sejarah Kota Semarang, Rukardi mengatakan, sejarah mengenai Pangeran Pandanaran merupakan anak dari Pangeran Madiyo Pandan yang merupakan anak dari Pangeran Sabrang Lor merupakan salah satu versi sejarah.

Namun menurutnya, masih ada cerita lain yang mengungkapkan bahwa Pangeran Pandanaran bukanlah cucu dari Pangeran Sabrang Lor.

"Memang ada naskah yang mengatakan bahwa Pangeran Pandanaran adalah anak Pangeran Madiyo Pandan dan cucu Pangeran Sabrang Lor, yakni naskah yang ditulis Raden Hadisapuetro dan sebuah naskah yang dikutip koran Hetnoorden, koran jaman Belanda," jelasnya.

Namun hal itu lanjut Rukardi dibantah oleh Amen Budiman, penulis buku Semarang Riwayatmu Dulu. Dalam buku tersebut diterangkan, bahwa Pangeran Pandanaran bukanlah keturunan Kerajaan Demak Bintoro.

"Dalam buku itu, Amen membantah bahwa Ki Ageng Pandanaran adalah keturunan Pangeran Sabrang Lor. Dia lebih meyakini bahwa Ki Ageng Pandanaran merupakan putra dari Sunan Ampel," terangnya.

Meski begitu, sejarah mengenai Sunan Pandanaran dan silsilahnya memang masih menjadi misteri. Rukardi mengatakan, sejarah mengenai silsilah Pangeran Pandanaran memang masih perlu diperdebatkan. "Justru hal itu semakin menarik untuk terus dikaji guna mencari siapa sosok sebenarnya pendiri Kota Semarang itu," pungkasnya.
(sms)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4810 seconds (0.1#10.140)