Sejarah dan Asal-usul Kesultanan Yogyakarta
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kesultanan Yogyakarta adalah salah satu dari dua kesultanan di Indonesia yang masih ada hingga saat ini. Terdapat sejarah panjang dari kejayaan kesultanan satu ini.
Kesultanan Yogyakarta didirikan pada tahun 1755 oleh Sultan Hamengkubuwono I. Kesultanan ini berdiri setelah perpecahan dengan Kesultanan Mataram.
Banyak orang yang memercayai bahwa nama Yogyakarta sudah ada jauh sebelum Sultan Hamengku Buwono I mendirikan kerajaan ini.
Cikal bakal nama Yogyakarta ini dapat dilacak kepada sultan kedua Kasunanan Kartasura, yakni Pangeran Puger alias Pakubuwono I. Membuat nama Yogyakarta telah ada sejak zaman paman buyut Sultan Hamengku Buwono I.
Berdasar Sukendra Martha, kata Yogyakarta merupakan pergeseran lafal dari kata bahasa Jawa “Ngayogyokarto”. Kata yang kedua ini (Ngayogyokarto) dibentuk oleh dua suku kata, yakni kata “ngayogya” (“ayogya” atau “ayodya”) dan kata “karta’.
Ayodya sendiri berarti “kedamaian”, “pantas”, “baik”. Dari situ, makna dari ayodya atau ngayodya adalah “memiliki cita-cita yang baik”. Kata ayodya sendiri juga merujuk pada sebuah kota bersejarah di India tempat asal Wiracarita Ramayana.
Dengan demikian, kata ngayogyakarta berarti mencapai kesejahteraan bagi negeri dan rakyatnya. Karena ini pulalah, maka semboyan dari kota Yogyakarta sekarang adalah “Yogya Berhati Nyaman”.
Nama Yogyakarta lantas dijadikan sebagai nama resmi salah satu pecahan Kerajaan Mataram Islam. Bahkan, sampai saat ini, nama Yogyakarta itu tetap digunakan untuk menyebut bekas wilayah Kerajaan Mataram tersebut.
Kesultanan Yogyakarta resmi berdiri pasca ditandatanganinya perjanjian Giyanti antara VOC, Mangkubumi (Sultan Hamengku Buwono I), dan Pakubuwono III.
Setelah didirikan oleh Sultan Hamengkubuwono I, Kesultanan ini mulai berkembang menjadi kerajaan yang besar dan kuat di masanya. Kebesarannya bahkan sempat mengalahkan Kasunanan Surakarta dan VOC di seluruh tanah Jawa.
Meskipun telah menjadi kerajaan tersendiri dan bebas dari Surakarta, Kesultanan Yogyakarta tetap masih berada di bawah kekuasaan dan pengawasan VOC. Hal ini ditandai dengan perjanjian Giyanti, yang menuntut para sultan tidak boleh mengangkat putra mahkota dan patih tanpa persetujuan (atau disetujui) oleh VOC.
Sepanjang sejarahnya, Kesultanan Yogyakarta telah dipimpin oleh 10 Sultan. Mulai dari Sultan Hamengkubuwono I hingga Sultan Hamengkubuwono X. Setiap pemimpin ini pastinya memiliki kisahnya sendiri.
Dimulai dari Sultan Hamengkubuwono II selalu melawan tekanan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial. Karena itu, pihak VOC pun melakukan banyak cara untuk melengserkannya dari tahta Yogyakarta.
Hal tersebut membuat Sultan Hamengkubuwono II harus mengalami dua penurunan tahta ketika memimpin. Setelah digantikan oleh Sultan Hamengkubuwono III, Kesultanan Yogyakarta tidaklah mengalami perubahan drastis, hal tersebut masih bertahan sampai kepemimpinan Sultan Hamengkubuwono IV.
Barulah ketika Sultan Hamengkubuwono V naik menjadi pemimpin, mulai muncul perubahan. Karena pada masanya Kesultanan Yogyakarta dikenal lebih dekat dengan VOC, meski demikian sang sultan tetap memikirkan kesejahteraan rakyatnya.
Dengan adanya kerja sama saling menguntungkan antara Belanda dengan Yogyakarta, ini membuat kesejahteraan dan keamanan rakyat Yogyakarta dapat terpelihara. Itulah strategi politik yang diterapkan Sultan Hamengkubuwono V ketika memerintah Yogyakarta.
Kesultanan Yogyakarta sempat dilanda musibah gempa bumi yang cukup besar yang menghancurkan beberapa bangunan penting ketika masa Sultan Hamengkubuwono VI naik tahta.
Selain diguncang gempa bumi, selama 22 tahun, pemerintahan Sultan Hamengkubuwono VI juga dihadapkan pada berbagai pemberontakan yang muncul. Pemberontakan-pemberontakan itu datang dari orang-orang yang tidak mengakui posisi Sultan Hamengkubuwono VI sebagai raja.
Kemudian, pada masa Sultan Hamengkubuwono VII Kesultanan Yogyakarta sedang mengalami transisi menuju modernisasi. Hal tersebut membuat Yogyakarta berkembang dalam lingkup politik, bidang seni, kebudayaan, maupun organisasi.
Hal tersebut membuat penerusnya, Sri Sultan Hamengku Buwono ke VIII tinggal melanjutkan apa yang dicapai oleh ayahnya, khususnya dalam hal pendidikan dan kebudayaan.
Setelah itu, masuklah masa transisi di era Sultan Hamengkubuwono IX. Kala itu terdapat dua era transisi, yakni transisi Indonesia dari era kolonial ke era kemerdekaan dan transisi Kesultanan Yogyakarta ke Daerah Istimewa Yogyakarta.
Dengan mengalami dua transisi ini, maka posisi Sultan Hamengkubuwono IX juga mengalami transisi, yakni dari sultan ke gubernur. Selain itu, Sultan Hamengkubuwono IX juga menempati beberapa jabatan penting dan strategis, baik di pemerintahan daerah (Yogyakarta) maupun di pemerintahan pusat (Indonesia).
Hingga pada masa kepemimpinan Sultan Hamengkubuwono X, Kesultanan Yogyakarta atau Daerah Istimewa Yogyakarta telah menjadi kota pelajar dan pusat pendidikan. Hal tersebut sesuai apa yang telah dibangun oleh Sultan Hamengkubuwono VII.
Dengan kata lain, di masa Sultan Hamengkubuwono X, Yogyakarta telah berhasil menjelma menjadi sebuah kota tempat para pelajar dari berbagai pelosok negeri untuk belajar.
Kesultanan Yogyakarta didirikan pada tahun 1755 oleh Sultan Hamengkubuwono I. Kesultanan ini berdiri setelah perpecahan dengan Kesultanan Mataram.
Asal-usul Kesultanan Yogyakarta
Banyak orang yang memercayai bahwa nama Yogyakarta sudah ada jauh sebelum Sultan Hamengku Buwono I mendirikan kerajaan ini.
Cikal bakal nama Yogyakarta ini dapat dilacak kepada sultan kedua Kasunanan Kartasura, yakni Pangeran Puger alias Pakubuwono I. Membuat nama Yogyakarta telah ada sejak zaman paman buyut Sultan Hamengku Buwono I.
Baca Juga
Berdasar Sukendra Martha, kata Yogyakarta merupakan pergeseran lafal dari kata bahasa Jawa “Ngayogyokarto”. Kata yang kedua ini (Ngayogyokarto) dibentuk oleh dua suku kata, yakni kata “ngayogya” (“ayogya” atau “ayodya”) dan kata “karta’.
Ayodya sendiri berarti “kedamaian”, “pantas”, “baik”. Dari situ, makna dari ayodya atau ngayodya adalah “memiliki cita-cita yang baik”. Kata ayodya sendiri juga merujuk pada sebuah kota bersejarah di India tempat asal Wiracarita Ramayana.
Dengan demikian, kata ngayogyakarta berarti mencapai kesejahteraan bagi negeri dan rakyatnya. Karena ini pulalah, maka semboyan dari kota Yogyakarta sekarang adalah “Yogya Berhati Nyaman”.
Nama Yogyakarta lantas dijadikan sebagai nama resmi salah satu pecahan Kerajaan Mataram Islam. Bahkan, sampai saat ini, nama Yogyakarta itu tetap digunakan untuk menyebut bekas wilayah Kerajaan Mataram tersebut.
Perkembangan Kesultanan Yogyakarta
Kesultanan Yogyakarta resmi berdiri pasca ditandatanganinya perjanjian Giyanti antara VOC, Mangkubumi (Sultan Hamengku Buwono I), dan Pakubuwono III.
Setelah didirikan oleh Sultan Hamengkubuwono I, Kesultanan ini mulai berkembang menjadi kerajaan yang besar dan kuat di masanya. Kebesarannya bahkan sempat mengalahkan Kasunanan Surakarta dan VOC di seluruh tanah Jawa.
Meskipun telah menjadi kerajaan tersendiri dan bebas dari Surakarta, Kesultanan Yogyakarta tetap masih berada di bawah kekuasaan dan pengawasan VOC. Hal ini ditandai dengan perjanjian Giyanti, yang menuntut para sultan tidak boleh mengangkat putra mahkota dan patih tanpa persetujuan (atau disetujui) oleh VOC.
Sepanjang sejarahnya, Kesultanan Yogyakarta telah dipimpin oleh 10 Sultan. Mulai dari Sultan Hamengkubuwono I hingga Sultan Hamengkubuwono X. Setiap pemimpin ini pastinya memiliki kisahnya sendiri.
Dimulai dari Sultan Hamengkubuwono II selalu melawan tekanan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial. Karena itu, pihak VOC pun melakukan banyak cara untuk melengserkannya dari tahta Yogyakarta.
Hal tersebut membuat Sultan Hamengkubuwono II harus mengalami dua penurunan tahta ketika memimpin. Setelah digantikan oleh Sultan Hamengkubuwono III, Kesultanan Yogyakarta tidaklah mengalami perubahan drastis, hal tersebut masih bertahan sampai kepemimpinan Sultan Hamengkubuwono IV.
Barulah ketika Sultan Hamengkubuwono V naik menjadi pemimpin, mulai muncul perubahan. Karena pada masanya Kesultanan Yogyakarta dikenal lebih dekat dengan VOC, meski demikian sang sultan tetap memikirkan kesejahteraan rakyatnya.
Dengan adanya kerja sama saling menguntungkan antara Belanda dengan Yogyakarta, ini membuat kesejahteraan dan keamanan rakyat Yogyakarta dapat terpelihara. Itulah strategi politik yang diterapkan Sultan Hamengkubuwono V ketika memerintah Yogyakarta.
Kesultanan Yogyakarta sempat dilanda musibah gempa bumi yang cukup besar yang menghancurkan beberapa bangunan penting ketika masa Sultan Hamengkubuwono VI naik tahta.
Selain diguncang gempa bumi, selama 22 tahun, pemerintahan Sultan Hamengkubuwono VI juga dihadapkan pada berbagai pemberontakan yang muncul. Pemberontakan-pemberontakan itu datang dari orang-orang yang tidak mengakui posisi Sultan Hamengkubuwono VI sebagai raja.
Kemudian, pada masa Sultan Hamengkubuwono VII Kesultanan Yogyakarta sedang mengalami transisi menuju modernisasi. Hal tersebut membuat Yogyakarta berkembang dalam lingkup politik, bidang seni, kebudayaan, maupun organisasi.
Hal tersebut membuat penerusnya, Sri Sultan Hamengku Buwono ke VIII tinggal melanjutkan apa yang dicapai oleh ayahnya, khususnya dalam hal pendidikan dan kebudayaan.
Setelah itu, masuklah masa transisi di era Sultan Hamengkubuwono IX. Kala itu terdapat dua era transisi, yakni transisi Indonesia dari era kolonial ke era kemerdekaan dan transisi Kesultanan Yogyakarta ke Daerah Istimewa Yogyakarta.
Dengan mengalami dua transisi ini, maka posisi Sultan Hamengkubuwono IX juga mengalami transisi, yakni dari sultan ke gubernur. Selain itu, Sultan Hamengkubuwono IX juga menempati beberapa jabatan penting dan strategis, baik di pemerintahan daerah (Yogyakarta) maupun di pemerintahan pusat (Indonesia).
Hingga pada masa kepemimpinan Sultan Hamengkubuwono X, Kesultanan Yogyakarta atau Daerah Istimewa Yogyakarta telah menjadi kota pelajar dan pusat pendidikan. Hal tersebut sesuai apa yang telah dibangun oleh Sultan Hamengkubuwono VII.
Dengan kata lain, di masa Sultan Hamengkubuwono X, Yogyakarta telah berhasil menjelma menjadi sebuah kota tempat para pelajar dari berbagai pelosok negeri untuk belajar.
(okt)