Optimalkan Dana Otsus Papua Jilid 2, USAID Kolaborasi Latih ASN Pemerintah Daerah

Rabu, 30 Agustus 2023 - 17:05 WIB
loading...
Optimalkan Dana Otsus Papua Jilid 2, USAID Kolaborasi Latih ASN Pemerintah Daerah
Pelatihan Perencanaan Anggaran Otsus Papua untuk ASN wilayah Kabupaten Sarmi dan Membramo Raya di Hotel Suni, Jayapura, Papua, Rabu (30/8/2023). Foto/Haryudi
A A A
JAYAPURA - Guna mengoptimalkan pengelolaan dana otonomi khusus (Otsus) Papua fase kedua atau jilid II, USAID Kolaborasi Project ikut mengambi peran. Terutama dalam meningkatkan kapasitas tata kelola pemerintahan dan partisipasi masyarakat.

Chief of Party USAID Kolaborasi Project Caroline Tupamahu menjelaskan bersama Wahana Visi Indonesia (WVI) USAID kolaborasi ini merupakan bagian dari program hasil desain Bappenas dan Kementerian Dalam Negeri selama lima tahun (2022-2027).

"Tujuan utama dari program ini adalah bagaimana optimalisasi otsus untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat Papua terutama orang asli Papua dan dilaksanakan melalui penguatan tata kelola," kata Caroline kepada awak media di Papua, baru-baru ini.

"Ada dua hal penting, pertama meningkatkan kapasitas pemerintah atau pemda terkait tata kelola jadi perencanaan, penganggaran, pengelolahan sampai monitoring dan evaluasi. Kedua, bagaimana penguatan masyarakat supaya bisa terlibat dalam proses pembangunan," tambahnya.



Caroline juga menjelaskan WVI bakal memberikan pelatihan bagaimana perencanaan dan penganggaran dana otsus Papua jilid 2. Caroline menerangkan, dana otonomi khusus fase kedua berbeda dari sebelumnya.

Menurutnya Otsus Papua jilid 2 saat ini, rujukannya Undang-undang (UU) Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.

"Kalau yang pertama semua uang itu dari pemerintah pusat di transfer ke provinsi dari provinsi baru dibagi ke kabupaten-kabupaten," kata Caroline.

"Yang kedua ini tidak begitu dari nasional langsung ke kabupaten dan provinsi. Namun provinsi punya kewenangan untuk evaluasi kabupaten-kabupaten supaya apa yang dilakukan benar-benar sesuai tujuan bersama," ujarnya.

Lebih lanjut, Caroline menambahkan tak hanya WVI, proyek kolaborasi ini juga melibatkan beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Jayapura guna menyerap aspirasi dari kelompok-kelompok rentan.

Akhirnya, terbentuklah sebuah Konsorsium GEDSI. Ini adalah upaya agar perspektif GEDSI atau gender equality, disability, and social inclusion dijadikan pertimbangan dalam merumuskan kebijakan.

"Masyarakat Papua itu kan bukan hanya laki-laki saja ada perempuan dan penyandang disabilitas juga. Itu makanya teman-teman ini kita libatkan," jelasnya.

Konsorsium ini menjadi sangat penting karena bisa menjadi penghubung antara pemerintah dengan masyarakat. WVI punya satu pendekatan bernama suara dan aksi warga yaitu pertemukan masyarakat penyedia layanan dan pemerintah setempat.

"Misalnya mau pembangunan sekolah, tetapi dengan itu kita fasilitasi orang dari dinas pendidikan turun langsung ke desa," ujarnya.

Sementara itu, Koordinator Konsorsium GEDSI Siti Akmiati menerangkan, Konsorsium GEDSI terbentuk sejak 18 April 2023.

Sejumlah otoritas di dalamnya seperti LP3AP, KIPRa, Jaring Tiki Papua, KSWD, Pengkajian Pemberdayaan Masyarakat Adat Papua dan lain sebagainya.

Tujuannya, lahirnya konsorsium memastikan prespektif GEDSI masuk dalam perumusan anggaran APBD Provinisi maupun Kota di Papua.

"Kami bersepakat dengan organisasi lain untuk berkolaborasi dalam kerja-kerja mengadvokasi hak perempuan, kaum difabel maupun yang lainnya di Papua," ujar dia.

Siti menerangkan, kebijakan-kebijakan saat ini di Papua dinilai belum sepenuhnya berpihak pada kaum-kaum difabel.

Fakta itu diungkap langsung oleh penyandang difabel saat duduk bareng bersama antara kaum difabel dengan pemerinta setempat. Diskusi ini digagas oleh USAID Kolaborasi

Sejumlah masalah berhasil identifikasi diantaranya masalah kesehatan, pendidikan ekonomi dan hukum.

Dari sisi hukum misalnya, ada penyandang difabel yang mengurus hal-hak atas tanah tidak dilayani dengan baik.

Dari sisi kesehatan, terbatas sarana penunjang bagi difabel seperti kursi roda, alat bantu dengar dan lain-lain. Pun demikian dari sisi ketersediaan infrastruktur. Siti menilai belum ramah terhadap kaum difabel.

"Misalnya agak susah naik tangga," ujarnya.

Menurutnya, hal itu terjadi karena selama ini dalam proses perencanaan dan penganggaran tidak melibatkan kelompok-kelompok difabel.

"Sehingga apa yang menjadi keluhan mereka kemudian tidak terpenuhi. Untuk di otsus fase kedua kami mau kelompok retan dilibatkan dalam proses-proses tersebut yang kemudian pemerintah bisa responsif," ujar dia.

Irianto Yacobus yang mewakili KIPRa menambahkan, pihakmya mendorong pemerintah melibatkan civil society dalam hal perencanaaa, penganggaran supaya kebijakan yang diambil bisa dinikmati semua pihak termasuk kelompok difabel.

Karenanya, Irianto menyambut baik program USAID kolaborasi. Apalagi memfasilitasi terbentuknya Konsorsium GEDSI untuk mempertemukan kaum-kaum rentan dengan pemda.

"Kita dorong secepatnya dimasukkan ke dalam rencana aksi daerah. Jadi ouputnya bentuk rekomendasi berdasarkan data-data di lapangan," pungkasnya.
(hri)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1315 seconds (0.1#10.140)