Bangun Koneksi Jalur Sumatera untuk Indonesia Maju
loading...
A
A
A
BANDUNG - Jalan Tol Trans Sumatera ( JTTS ) diyakini akan menjadi soko guru ekonomi dan pariwisata. Percepatan proyek prestisius sepanjang 2.704 kilometer (km) ini tak hanya mewujudkan mimpi masyarakat, tetapi juga memutus kebuntuan mobilitas masyarakat antardaerah.
Suryanto (65), tak pernah mengira keikutsertaannya pada program transmigrasi di Kabupaten Mukomuko, Provinsi Bengkulu pada 1985 silam, menempatkannya pada masalah akses transportasi yang sangat sulit. Rutinitas tahunan pulang kampung dari Mukomuko ke Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah, harus dibayar mahal.
Saat itu, waktu tempuh perjalanan darat menggunakan DAMRI, mengarungi bukit, gunung, pesisir pantai, lembah, dan hutan belantara setidaknya membutuhkan waktu lima hingga enam hari. (BACA JUGA: Konektivitas Tanpa Batas, Tol Trans Sumatera Mulai Dirasakan Masyarakat )
Sementara, pesawat terbang, masih menjadi moda transportasi mewah. Tak ada kemampuan bagi Suryanto untuk membeli tiket satu keluarga. (BACA JUGA: Di Periode Kedua, Presiden Jin Akan Memperluas Investasi Infrastruktur )
34 tahun berlalu, akses transportasi Mukomuko-Banjarnegara semakin mudah. Namun untuk perjalanan darat menggunakan bus atau travel, masih membutuhkan waktu sekitar tiga hari.
Di tengah masifnya pembangunan infrastruktur dan menjamurnya moda transportasi, waktu tempuh tiga hari dirasa belum efisien. Masih banyak waktu terbuang di perjalanan. (BACA JUGA: Perkuat Jalur Logistik, Tol Baru di Aceh dan Manado Siap Beroperasi )
Beratnya perjalanan lintas Sumatera juga dirasakan Raditya. Walaupun dia dilahirkan saat transportasi makin mudah dapat, namun bagi dia perjalanan darat Sumatera masih cukup melelahkan. Terutama jalur lintas Sumatera yang belum seluruhnya terhubung oleh tol.
Tetapi setidaknya, ruas tol Bakauheni-Terbanggi Besar telah mempersingkat perjalanannya. Kini, Bandung-Bengkulu bisa ditempuh sekitar 22 jam menggunakan bus. Kondisi ini jauh berbeda sebelum dibangun tol. Rute Bandung-Bengkulu pernah ditempuh lebih dari 36 jam.
"Walaupun hanya menghubungkan Bakauheni ke Terbanggi Besar sepanjang 140 kilometer, tetapi sudah cukup mempersingkat waktu perjalanan kami ke Bengkulu. Apalagi kalau nanti ruas tol ke Bengkulu sudah jadi, pasti lebih cepat sampai," ujar dia.
Raditya bermimpi, JTTS bisa segera terealisasi, sehingga mobilitas semakin mudah. Apalagi, Sumatera memiliki kekayaan alam eksotik yang tidak dimiliki daerah lain.
Dia yakin, mobilitas masyarakat antarprovinsi untuk berwisata dan melakukan kegiatan ekonomi akan makin tinggi. "Sumatera itu punya banyak potensi wisata alam yang sangat eksotik dan belum terjamah. Hutan masih asri dengan pegunungan dan perkebunan sawit dan pesisir pantai di sepanjang jalan. Itu menjadi pemandangan indah bagi warga kota seperti saya. Ini potensi besar," tutur Raditya.
Harapan serupa juga diutarakan Suryanto. Rencana pemerintah membangun JTTS bagaikan mimpi di siang bolong. Namun, rampungnya pembangunan ruas Tol Bakauheni-Terbanggi Besar menjadi bukti bahwa mimpi itu bakal terwujud.
Setidaknya, ungkap dia, jalur tersebut telah memudahkan anak cucunya pulang kampung ke Bengkulu lebih cepat dari biasanya. Di sisa usianya yang semakin sepuh, Suryanto berharap bisa menyaksikan terwujudnya ruas Tol Lubuk Linggau-Curup-Bengkulu.
Proyek Strategis Nasional
Berdasarkan rencana jangka panjang pemerintah, proyek JTTS bakal menghubungkan semua provinsi di Sumatera, dari Aceh hingga Lampung. Terdiri dari 24 ruas, membelah Lampung, Palembang, Jambi, Pekanbaru, Dumai, Tebing Tinggi, dan Banda Aceh. Serta menghubungkan Bengkulu, Padang, dan Sibolga.
JTTS menjadi proyek strategis nasional (PSN) yang diamanatkan kepada PT Hutama Karya (Persero). Keseriusan pemerintah membangun tol Sumatera termaftub dalam Peraturan Presiden Nomor 100 Tahun 2014, kemudian diubah dengan Peraturan Presiden No. 117 Tahun 2015. Proyek sepanjang 2.704 km ini ditargetkan akan beroperasi seluruhnya pada 2024.
Saat ini, ruas JTTS yang telah beroperasi yaitu Bakauheni-Terbanggi Besar sepanjang 140 Km. Kemudian Terbanggi Besar-Pematang Panggang sepanjang 112 Km dan ruas Palembang-Simpang Indralaya sepanjang 21 Km.
Ruas tol yang telah masuk tahap proses pembebasan lahan dan pembangunan yaitu ruas Indralaya-Muara Enim; Pekanbaru-Dumai; Indrapura-Kisaran; Kualatanjung-Tebing Tinggi-Parapat; Medan-Binjai; Lubuk Linggau-Curup-Bengkulu; Binjai-Langsa; Muala Enim-Lahat-Lubuk Linggau; Padang-Pekanbaru; Padang-Sicincin, dan Sigli-Banda Aceh.
Sisanya, sebanyak sembilan ruas masih dalam tahap pengajuan desain dan Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol (PPJT). Yaitu ruas Betung-Jambi; Jambi-Rengat; Batu Ampar-Hangnadim; Langsa-Lhoseumawe; Lhokseumawe-Sigli; Rengat-Pekanbaru; Palembang-Tanjung Api api; Prapat-Taruntung-Sibolga; dan Rantau Prapat-Kisaran.
Keseriusan PT Hutama Karya membangun tol di Sumatera, juga didukung penuh pemerintah pusat, melalui komitmen Penyertaan Modal Negara (PMN) tahun 2020 kepada PT Hutama Karya. BUMN ini mendapat suntikan modal senilai Rp11 triliun dari rencana awal hanya Rp3,5 triliun.
Senior Executive Vice President (SEVP) Sekretaris Perusahaan PT Hutama Karya Muhammad Fauzan mengatakan, PMN tahun 2020 akan membantu percepatan pembangunan JTTS.
Dana tersebut akan dipakai untuk membangun ruas Pekanbaru-Dumai sepanjang 131 km, ruas Simpang Indralaya-Muara Enim 119 km, dan Pekanbaru-Pangkalan 95 km.
Menurut dia, pendanaan ini akan memperkuat Global Bonds senilai Rp9 triliun yang sebelumnya telah didapat PT Hutama Karya. Struktur permodalan perseroan juga akan makin solid, dalam rangka mendukung Nawacita pemerintah.
Urat Nadi Ekonomi dan Pariwisata
Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Provinsi Jambi Budi Setiawan mengungkapkan, salah satu persoalan lambatnya pertumbuhan ekonomi Sumatera adalah infrastruktur jalan. Saat ini, arus barang antar daerah masih berbiaya tinggi, akibat membengkaknya ongkos distribusi.
Sedangkan ekonomi Sumatera lebih banyak ditopang hasil sumber daya alam (SDA). Seperti perkebunan, pertambangan, pertanian, dan sebagian hasil produk manufaktur. Barang ekonomi tersebut, mayoritas masih dikirim ke Pulau Jawa, sebagai pangsa pasar utama.
"Kami menghadapi tantangan besar pada proses distribusi barang. Pengiriman produk bisa memakan waktu berjam-jam. Misalnya dari Jambi ke Palembang bisa 16 jam, karena kondisi jalan hancur, macet, dan persoalan lainnya," ungkap Budi.
Lambatnya distribusi barang, ujar dia, berpengaruh terhadap lambatnya perputaran produk. Perputaran uang atau cash flow cenderung lambat. Tak heran, walaupun sumber daya alam melimpah, kontribusi 10 provinsi di Sumatera terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional hanya 22,21% pada tahun 2015.
Data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi di sebagian provinsi di Sumatera pada 2019 di bawah 5%. Provinsi Jambi tercatat sebesar 4,40% (yoy), Provinsi Bengkulu 4,96%, Provinsi Riau 4,89%, dan Provinsi Aceh 4,15%.
Sedangkan provinsi yang mencatat pertumbuhan ekonomi di atas 5%, di antaranya Provinsi Sumatera Barat 5,13% dan Provinsi Lampung 5,27%.
Menurut Budi, ketersediaan infrastruktur jalan yang memadai diyakini akan mempercepat pertumbuhan ekonomi Sumatera yang memiliki populasi penduduk sekitar 55 juta jiwa ini.
Rencana pemerintah membangun Jalan Tol Trans Sumatera, adalah keputusan tepat. Mega proyek ini diharapkan bisa memutus kebuntuan akan solusi mahalnya biaya distribusi.
"Tol Trans Sumatera ini sangat kami butuhkan, karena akan memudahkan distribusi produk dan barang. Tentu, akses antar provinsi dari Lampung, Jambi, Bengkulu, Medan, Pekanbaru, Palembang bisa lebih mudah," tutur pengusaha yang juga menjabat sebagai Ketua Hipmi Kota Jambi ini.
Menurut dia, ruas Tol Trans Sumatera yang kini beroperasi, telah memberi dampak signifikan bagi ekonomi kawasan. Mobilitas masyarakat lebih cepat dari Jawa ke Sumatera atau sebaliknya.
Akses dari Palembang ke Jakarta, bisa ditempuh kurang dari 5 jam. Berbeda saat belum ada tol, membutuhkan waktu lebih dari 12 jam.
Dia berharap, proyek JTTS bisa segera terealisasi. Setidaknya dimulai dengan membangun konektivitas antarprovinsi di Sumatera. Apalagi bila akses tol itu saling terhubung dengan pusat industri di Sumatera.
Harapan serupa juga disampaikan Ketua Association of The Indonesia Tour and Travel Agencies (Asita) Provinsi Sumatera Selatan Anton Wahyudi.
Menurut dia, sektor pariwisata akan sangat diuntungkan dengan adanya JTTS. Pertukaran wisatawan domestik antar provinsi akan meningkat.
"Sekarang kami sudah merasakan dampak positif tol Palembang-Lampung. Sebelum pandemi COVID-19, hampir setiap weekand, masyarakat melakukan perjalanan wisata antar provinsi. Karena jarak tempuh Palembang ke Lampung hanya 3 jam. Ini sangat bagus untuk pengembangan pariwisata kedua provinsi," kata Anton.
Selama ini, karena keterbatasan infrastruktur, wisatawan domestik hanya berkutat di wilayahnya saja. Padahal, semua provinsi punya karakteristik masing-masing.
Antara Lampung dan Palembang dua daerah yang berbeda. Lampung memiliki pantai yang eksotik. Sedangkan Palembang, adalah kota metropolitan dengan banyak sungai.
Perbedaan karakteristik ini, menurut Anton adalah potensi ekonomi yang terpendam. Belum lagi provinsi lainnya seperti Bengkulu, Sumatera Barat, Aceh, dan lainnya. Anton yakin, perputaran wisatawan domestik di Sumatera akan sangat tinggi, bila jalur antar provinsi telah terhubung tol.
Perencanaan Tata Ruang
Pengamat Transportasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Sony Sulaksono mengatakan, ketersediaan infrastruktur jalan tol adalah solusi untuk menekan tingginya harga barang, akibat besarnya komponen biaya transportasi.
Di Indonesia, komponen biaya transportasi terhadap harga produk cukup mendominasi. Apalagi untuk barang antar pulau. Saat ini, komponen transportasi atas harga barang pengaruhnya mencapai 50 hingga 60%. Padahal, idealnya maksimum 30%. Akibatnya, harga jual barang cenderung mahal.
"Jalan Tol Trans Sumatera ini akan menekan biaya transportasi atas barang atau produk lainnya. Namun dengan beberapa catatan. Diantaranya tarif tol yang sesuai dan terkoneksi dengan simpul-simpul industri, logistik, pusat pemasaran, sentra pertanian di Sumatera," kata Sony.
JTTS, kata dia, akan efektif dan termanfaatkan maksimal apabila dimulai dengan perencanaan tata ruang yang matang. Artinya, pemerintah daerah harus melakukan penyesuaian tata ruang, membangun pusat industri atau bisnis tak jauh dari pintu tol.
"Mumpung industri di Sumatera belum banyak, belum besar, jalan tol harus diintegrasikan dengan kawasan industri atau pemasaran. Karena kalau hanya membangun jalan tol saja, tanpa ada penyesuaian tata ruang, tidak akan efektif," jelas dia.
Berbeda dengan kondisi di pulau Jawa, tata ruang telah terbangun. Sehingga pembangunan tol lebih mempertimbangkan ketersediaan lahan. Akibatnya, ada beberapa tol yang kurang diminati.
Menurut Sony, pembangunan tol yang terhubung dengan pusat bisnis, dipastikan akan memberi daya dorong terhadap pertumbuhan ekonomi. Karena, menurut dia, salah satu hambatan pertumbuhan ekonomi di Indonesia adalah biaya transportasi yang mahal.
Selain solusi tata ruang, pembangunan tol Sumatera juga mestinya dibangun berdasarkan sinergi kuat antara investor, operator, dan pemerintah daerah. Sinergi ini penting agar tol yang telah dibangun memberi manfaat luas bagi semua kalangan. Skema ini juga penting untuk menekan tarif tol.
Dia mencontohkan, tarif tol dari Jakarta ke Surabaya dianggap masih cukup membebani. Dia mencontohkan, perjalanan satu truk bisa menghabiskan uang lebih dari Rp1 juta. Idealnya biaya tol untuk rute tersebut tak lebih dari Rp600.000. Sehingga tidak sedikit angkutan barang memilih menggunakan jalan arteri.
Namun, kata dia, mahalnya tarif tol tidak bisa sepenuhnya dibebankan kepada investor. Karena, biaya investasi pembangunan tol sangat mahal. Terlebih, pembangunan JTTS menghadapi tantangan kondisi kontur tanah basah dan ekstrem. Di sisi lain, investor membutuhkan pengembalian keuntungan secepatnya.
Oleh karenanya, kata dia, perlu dibuat skema sinergi dan subsidi. Subsidi, kata Sony, tidak dalam bentuk pengurangan tarif tol, tetapi bagaimana upaya pemerintah daerah mendorong masyarakatnya memanfaatkan tol secara maksimal. Misalnya, memperbaiki jalan yang terhubung dengan pintu tol atau mengundang investor berinvestasi di daerah tersebut.
"Pemerintah daerah harus membuat program sedemikian rupa, agar kegiatan ekonominya bisa mendorong naiknya volume kendaraan menggunakan tol," tutup Sony.
Suryanto (65), tak pernah mengira keikutsertaannya pada program transmigrasi di Kabupaten Mukomuko, Provinsi Bengkulu pada 1985 silam, menempatkannya pada masalah akses transportasi yang sangat sulit. Rutinitas tahunan pulang kampung dari Mukomuko ke Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah, harus dibayar mahal.
Saat itu, waktu tempuh perjalanan darat menggunakan DAMRI, mengarungi bukit, gunung, pesisir pantai, lembah, dan hutan belantara setidaknya membutuhkan waktu lima hingga enam hari. (BACA JUGA: Konektivitas Tanpa Batas, Tol Trans Sumatera Mulai Dirasakan Masyarakat )
Sementara, pesawat terbang, masih menjadi moda transportasi mewah. Tak ada kemampuan bagi Suryanto untuk membeli tiket satu keluarga. (BACA JUGA: Di Periode Kedua, Presiden Jin Akan Memperluas Investasi Infrastruktur )
34 tahun berlalu, akses transportasi Mukomuko-Banjarnegara semakin mudah. Namun untuk perjalanan darat menggunakan bus atau travel, masih membutuhkan waktu sekitar tiga hari.
Di tengah masifnya pembangunan infrastruktur dan menjamurnya moda transportasi, waktu tempuh tiga hari dirasa belum efisien. Masih banyak waktu terbuang di perjalanan. (BACA JUGA: Perkuat Jalur Logistik, Tol Baru di Aceh dan Manado Siap Beroperasi )
Beratnya perjalanan lintas Sumatera juga dirasakan Raditya. Walaupun dia dilahirkan saat transportasi makin mudah dapat, namun bagi dia perjalanan darat Sumatera masih cukup melelahkan. Terutama jalur lintas Sumatera yang belum seluruhnya terhubung oleh tol.
Tetapi setidaknya, ruas tol Bakauheni-Terbanggi Besar telah mempersingkat perjalanannya. Kini, Bandung-Bengkulu bisa ditempuh sekitar 22 jam menggunakan bus. Kondisi ini jauh berbeda sebelum dibangun tol. Rute Bandung-Bengkulu pernah ditempuh lebih dari 36 jam.
"Walaupun hanya menghubungkan Bakauheni ke Terbanggi Besar sepanjang 140 kilometer, tetapi sudah cukup mempersingkat waktu perjalanan kami ke Bengkulu. Apalagi kalau nanti ruas tol ke Bengkulu sudah jadi, pasti lebih cepat sampai," ujar dia.
Raditya bermimpi, JTTS bisa segera terealisasi, sehingga mobilitas semakin mudah. Apalagi, Sumatera memiliki kekayaan alam eksotik yang tidak dimiliki daerah lain.
Dia yakin, mobilitas masyarakat antarprovinsi untuk berwisata dan melakukan kegiatan ekonomi akan makin tinggi. "Sumatera itu punya banyak potensi wisata alam yang sangat eksotik dan belum terjamah. Hutan masih asri dengan pegunungan dan perkebunan sawit dan pesisir pantai di sepanjang jalan. Itu menjadi pemandangan indah bagi warga kota seperti saya. Ini potensi besar," tutur Raditya.
Harapan serupa juga diutarakan Suryanto. Rencana pemerintah membangun JTTS bagaikan mimpi di siang bolong. Namun, rampungnya pembangunan ruas Tol Bakauheni-Terbanggi Besar menjadi bukti bahwa mimpi itu bakal terwujud.
Setidaknya, ungkap dia, jalur tersebut telah memudahkan anak cucunya pulang kampung ke Bengkulu lebih cepat dari biasanya. Di sisa usianya yang semakin sepuh, Suryanto berharap bisa menyaksikan terwujudnya ruas Tol Lubuk Linggau-Curup-Bengkulu.
Proyek Strategis Nasional
Berdasarkan rencana jangka panjang pemerintah, proyek JTTS bakal menghubungkan semua provinsi di Sumatera, dari Aceh hingga Lampung. Terdiri dari 24 ruas, membelah Lampung, Palembang, Jambi, Pekanbaru, Dumai, Tebing Tinggi, dan Banda Aceh. Serta menghubungkan Bengkulu, Padang, dan Sibolga.
JTTS menjadi proyek strategis nasional (PSN) yang diamanatkan kepada PT Hutama Karya (Persero). Keseriusan pemerintah membangun tol Sumatera termaftub dalam Peraturan Presiden Nomor 100 Tahun 2014, kemudian diubah dengan Peraturan Presiden No. 117 Tahun 2015. Proyek sepanjang 2.704 km ini ditargetkan akan beroperasi seluruhnya pada 2024.
Saat ini, ruas JTTS yang telah beroperasi yaitu Bakauheni-Terbanggi Besar sepanjang 140 Km. Kemudian Terbanggi Besar-Pematang Panggang sepanjang 112 Km dan ruas Palembang-Simpang Indralaya sepanjang 21 Km.
Ruas tol yang telah masuk tahap proses pembebasan lahan dan pembangunan yaitu ruas Indralaya-Muara Enim; Pekanbaru-Dumai; Indrapura-Kisaran; Kualatanjung-Tebing Tinggi-Parapat; Medan-Binjai; Lubuk Linggau-Curup-Bengkulu; Binjai-Langsa; Muala Enim-Lahat-Lubuk Linggau; Padang-Pekanbaru; Padang-Sicincin, dan Sigli-Banda Aceh.
Sisanya, sebanyak sembilan ruas masih dalam tahap pengajuan desain dan Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol (PPJT). Yaitu ruas Betung-Jambi; Jambi-Rengat; Batu Ampar-Hangnadim; Langsa-Lhoseumawe; Lhokseumawe-Sigli; Rengat-Pekanbaru; Palembang-Tanjung Api api; Prapat-Taruntung-Sibolga; dan Rantau Prapat-Kisaran.
Keseriusan PT Hutama Karya membangun tol di Sumatera, juga didukung penuh pemerintah pusat, melalui komitmen Penyertaan Modal Negara (PMN) tahun 2020 kepada PT Hutama Karya. BUMN ini mendapat suntikan modal senilai Rp11 triliun dari rencana awal hanya Rp3,5 triliun.
Senior Executive Vice President (SEVP) Sekretaris Perusahaan PT Hutama Karya Muhammad Fauzan mengatakan, PMN tahun 2020 akan membantu percepatan pembangunan JTTS.
Dana tersebut akan dipakai untuk membangun ruas Pekanbaru-Dumai sepanjang 131 km, ruas Simpang Indralaya-Muara Enim 119 km, dan Pekanbaru-Pangkalan 95 km.
Menurut dia, pendanaan ini akan memperkuat Global Bonds senilai Rp9 triliun yang sebelumnya telah didapat PT Hutama Karya. Struktur permodalan perseroan juga akan makin solid, dalam rangka mendukung Nawacita pemerintah.
Urat Nadi Ekonomi dan Pariwisata
Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Provinsi Jambi Budi Setiawan mengungkapkan, salah satu persoalan lambatnya pertumbuhan ekonomi Sumatera adalah infrastruktur jalan. Saat ini, arus barang antar daerah masih berbiaya tinggi, akibat membengkaknya ongkos distribusi.
Sedangkan ekonomi Sumatera lebih banyak ditopang hasil sumber daya alam (SDA). Seperti perkebunan, pertambangan, pertanian, dan sebagian hasil produk manufaktur. Barang ekonomi tersebut, mayoritas masih dikirim ke Pulau Jawa, sebagai pangsa pasar utama.
"Kami menghadapi tantangan besar pada proses distribusi barang. Pengiriman produk bisa memakan waktu berjam-jam. Misalnya dari Jambi ke Palembang bisa 16 jam, karena kondisi jalan hancur, macet, dan persoalan lainnya," ungkap Budi.
Lambatnya distribusi barang, ujar dia, berpengaruh terhadap lambatnya perputaran produk. Perputaran uang atau cash flow cenderung lambat. Tak heran, walaupun sumber daya alam melimpah, kontribusi 10 provinsi di Sumatera terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional hanya 22,21% pada tahun 2015.
Data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi di sebagian provinsi di Sumatera pada 2019 di bawah 5%. Provinsi Jambi tercatat sebesar 4,40% (yoy), Provinsi Bengkulu 4,96%, Provinsi Riau 4,89%, dan Provinsi Aceh 4,15%.
Sedangkan provinsi yang mencatat pertumbuhan ekonomi di atas 5%, di antaranya Provinsi Sumatera Barat 5,13% dan Provinsi Lampung 5,27%.
Menurut Budi, ketersediaan infrastruktur jalan yang memadai diyakini akan mempercepat pertumbuhan ekonomi Sumatera yang memiliki populasi penduduk sekitar 55 juta jiwa ini.
Rencana pemerintah membangun Jalan Tol Trans Sumatera, adalah keputusan tepat. Mega proyek ini diharapkan bisa memutus kebuntuan akan solusi mahalnya biaya distribusi.
"Tol Trans Sumatera ini sangat kami butuhkan, karena akan memudahkan distribusi produk dan barang. Tentu, akses antar provinsi dari Lampung, Jambi, Bengkulu, Medan, Pekanbaru, Palembang bisa lebih mudah," tutur pengusaha yang juga menjabat sebagai Ketua Hipmi Kota Jambi ini.
Menurut dia, ruas Tol Trans Sumatera yang kini beroperasi, telah memberi dampak signifikan bagi ekonomi kawasan. Mobilitas masyarakat lebih cepat dari Jawa ke Sumatera atau sebaliknya.
Akses dari Palembang ke Jakarta, bisa ditempuh kurang dari 5 jam. Berbeda saat belum ada tol, membutuhkan waktu lebih dari 12 jam.
Dia berharap, proyek JTTS bisa segera terealisasi. Setidaknya dimulai dengan membangun konektivitas antarprovinsi di Sumatera. Apalagi bila akses tol itu saling terhubung dengan pusat industri di Sumatera.
Harapan serupa juga disampaikan Ketua Association of The Indonesia Tour and Travel Agencies (Asita) Provinsi Sumatera Selatan Anton Wahyudi.
Menurut dia, sektor pariwisata akan sangat diuntungkan dengan adanya JTTS. Pertukaran wisatawan domestik antar provinsi akan meningkat.
"Sekarang kami sudah merasakan dampak positif tol Palembang-Lampung. Sebelum pandemi COVID-19, hampir setiap weekand, masyarakat melakukan perjalanan wisata antar provinsi. Karena jarak tempuh Palembang ke Lampung hanya 3 jam. Ini sangat bagus untuk pengembangan pariwisata kedua provinsi," kata Anton.
Selama ini, karena keterbatasan infrastruktur, wisatawan domestik hanya berkutat di wilayahnya saja. Padahal, semua provinsi punya karakteristik masing-masing.
Antara Lampung dan Palembang dua daerah yang berbeda. Lampung memiliki pantai yang eksotik. Sedangkan Palembang, adalah kota metropolitan dengan banyak sungai.
Perbedaan karakteristik ini, menurut Anton adalah potensi ekonomi yang terpendam. Belum lagi provinsi lainnya seperti Bengkulu, Sumatera Barat, Aceh, dan lainnya. Anton yakin, perputaran wisatawan domestik di Sumatera akan sangat tinggi, bila jalur antar provinsi telah terhubung tol.
Perencanaan Tata Ruang
Pengamat Transportasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Sony Sulaksono mengatakan, ketersediaan infrastruktur jalan tol adalah solusi untuk menekan tingginya harga barang, akibat besarnya komponen biaya transportasi.
Di Indonesia, komponen biaya transportasi terhadap harga produk cukup mendominasi. Apalagi untuk barang antar pulau. Saat ini, komponen transportasi atas harga barang pengaruhnya mencapai 50 hingga 60%. Padahal, idealnya maksimum 30%. Akibatnya, harga jual barang cenderung mahal.
"Jalan Tol Trans Sumatera ini akan menekan biaya transportasi atas barang atau produk lainnya. Namun dengan beberapa catatan. Diantaranya tarif tol yang sesuai dan terkoneksi dengan simpul-simpul industri, logistik, pusat pemasaran, sentra pertanian di Sumatera," kata Sony.
JTTS, kata dia, akan efektif dan termanfaatkan maksimal apabila dimulai dengan perencanaan tata ruang yang matang. Artinya, pemerintah daerah harus melakukan penyesuaian tata ruang, membangun pusat industri atau bisnis tak jauh dari pintu tol.
"Mumpung industri di Sumatera belum banyak, belum besar, jalan tol harus diintegrasikan dengan kawasan industri atau pemasaran. Karena kalau hanya membangun jalan tol saja, tanpa ada penyesuaian tata ruang, tidak akan efektif," jelas dia.
Berbeda dengan kondisi di pulau Jawa, tata ruang telah terbangun. Sehingga pembangunan tol lebih mempertimbangkan ketersediaan lahan. Akibatnya, ada beberapa tol yang kurang diminati.
Menurut Sony, pembangunan tol yang terhubung dengan pusat bisnis, dipastikan akan memberi daya dorong terhadap pertumbuhan ekonomi. Karena, menurut dia, salah satu hambatan pertumbuhan ekonomi di Indonesia adalah biaya transportasi yang mahal.
Selain solusi tata ruang, pembangunan tol Sumatera juga mestinya dibangun berdasarkan sinergi kuat antara investor, operator, dan pemerintah daerah. Sinergi ini penting agar tol yang telah dibangun memberi manfaat luas bagi semua kalangan. Skema ini juga penting untuk menekan tarif tol.
Dia mencontohkan, tarif tol dari Jakarta ke Surabaya dianggap masih cukup membebani. Dia mencontohkan, perjalanan satu truk bisa menghabiskan uang lebih dari Rp1 juta. Idealnya biaya tol untuk rute tersebut tak lebih dari Rp600.000. Sehingga tidak sedikit angkutan barang memilih menggunakan jalan arteri.
Namun, kata dia, mahalnya tarif tol tidak bisa sepenuhnya dibebankan kepada investor. Karena, biaya investasi pembangunan tol sangat mahal. Terlebih, pembangunan JTTS menghadapi tantangan kondisi kontur tanah basah dan ekstrem. Di sisi lain, investor membutuhkan pengembalian keuntungan secepatnya.
Oleh karenanya, kata dia, perlu dibuat skema sinergi dan subsidi. Subsidi, kata Sony, tidak dalam bentuk pengurangan tarif tol, tetapi bagaimana upaya pemerintah daerah mendorong masyarakatnya memanfaatkan tol secara maksimal. Misalnya, memperbaiki jalan yang terhubung dengan pintu tol atau mengundang investor berinvestasi di daerah tersebut.
"Pemerintah daerah harus membuat program sedemikian rupa, agar kegiatan ekonominya bisa mendorong naiknya volume kendaraan menggunakan tol," tutup Sony.
(awd)