Inggris Diminta Kembalikan Artefak Keraton Yogyakarta yang Dijarah saat Geger Sepehi 1812
loading...
A
A
A
YOGYAKARTA - Indonesia berhak meminta kembali aset dan 40 manuskrip milik Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) II yang dirampas Inggris dari Keraton Yogyakarta dalam Perang Sepehi atau Geger Sepoy pada Juni 1812 silam.
Hal tersebut disampaikan disampaikan peneliti dan penulis sejarah Lilik Suharmaji yang menyatakan demi nasionalime atau kepetingan nasional maka Indonesia berhak meminta aset dan manuskrip milik Sri Sultan HB II dari Inggris.
"Pasalnya, aset dan manuskrip tersebut bisa menjadi sarana untuk pembelajaran tentang masa lalu dan memperkaya khazanah pengetahuan tentang Indonesia, terutama Keraton Yogyakarta," papar pengarang buku Geger Sepoy, Jumat (4/8/2023).
Masalahnya, menurut Lilik, apakah pihak Inggris mau begitu saja mengembalikan aset dan manuskrip asli milik Sri Sultan HB II tersebut. Sebab, beberapa waktu lalu Inggris pernah mengembalikan aset dan manuskrip kepada Keraton Yogyakarta tapi hanya dalam bentuk digital pada tahun 2019.
"Kedua, bila aset dan manuskrip dikembalikan Inggris maka perlu dipikirkan bagaimana cara menyimpan artefak bersejarah tetap awet tersimpan di Indonesia," lanjutnya.
"Indonesia harus memiliki tempat dan teknologi yang memadai agar aset dan manuskrip milik Sri Sultan HB II tetap terpelihara dan tidak rusak," sambung Lilik.
Selain berbicara soal pengembalian aset dan manuskrip milik Sri Sultan HB II, dia juga menyatakan bahwa Sri Sultan HB II layak untuk memperoleh gelar sebagai Pahlawan Nasional.
Lilik menilai Sri Sultan HB II merupakan figur yang anti kolonial dan hal ini sudah diperlihatkan sejak dia menjadi seorang putra mahkota.
Sikap anti penjajah dan perlawanan Sri Sultan HB II itu akhirnya berujung pada Perang Sepehi atau Geger Spoy di mana Keraton Yogyakarta diserbu dan dijarah tentara Inggris yang kala itu dipimpin Sir Thomas Stamford Raffles. Saat itu Raffles bertindak sebagai Gubernur Jenderal Kerajaan Inggris di Hindia Belanda.
"Penetapan Sri Sultan HB II sebagai Pahlawan Nasional sebenarnya tinggal tergantung pada political will Pemerintah Indonesia saat ini," papar Lilik.
Sementara itu, Keluarga Besar Trah Sri Sultan HB II yang kini bernaung di bawah Yayasan Vasiatti Socaning Lokika menyatakan bahwa mereka terus berjuang dan mengupayakan agar aset dan manuskrip Sri Sultan HB II dikembalikan ke Indonesia.
Mereka telah melakukan pendekatan dan koordinasi Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, serta Kedutaan Besar Indonesia untuk Kerajaan Inggris.
"Kami juga sudah mengirimkan surat resmi permohonan kepada penguasa Kerajaan Inggris, Raja Charles III, untuk mengembalikan 40 aset dan manuskrip milik Sri Sultan HB II yang kini berada di Inggris,” ujar Ketua Yayasan Vasiatti Socaning Lokika, Fajar Bagoes Poetranto.
Dalam rangka menjaga aset dan manuskrip Sri Sultan HB II itu tetap terpelihara dan terjaga,Fajar menyatakan bahwa Keluarga Trah Sri Sultan HB II telah bekerja sama Rumah Studi Jawa Makaradhvaja mengembangkan Pusat Skriptorium naskah naskah klasik kuno dari abad 16 sampai dengan abad 18.
Selain itu, mereka siap berkolaborasi dengan Museum Nasional.
Trah Sri Sultan HB II meminta dalam proses pengembalian 40 (repatriasi) manuskrip karya Sri Sultan HB II itu terjadi secara unilateral antara pihak Trah Sri Sultan HB II dengan Kerajaan Inggris.
Artefak, terutama 40 manuskrip karya Sri Sultan HB II bisa dikembalikan Kerajaan Inggris dalam bentuk aslinya dan bukan digital.
Dia kembali menegaskan bahwa Trah Sri Sultan HB II mendorong Kementerian Luar Negeri untuk memfasilitasi upaya pengembalian aset, manuskrip dan benda bersejarah milik Sri Sultan HB II sesuai ketentuan Undang-undang repatriasi yang berlaku.
Apalagi ada momentum yang tepat, karena Kerajaan Inggris baru saja terjadi pergantian kepala negara.
Saat ini yang memerintah adalah Raja Charles III yang menggantikan Ratu Elizabeth II yang mangkat.
Hal ini mesti dimanfaatkan Pemerintah Indonesia untuk melakukan pendekatan pada Kerajaan Inggris agar mengembalikan artefak milik Sri Sultan HB II yang telah dirampas dalam Peristiwa Geger Sepehi.
Merujuk arti repatriasi maka arti repatriasi barang-barang bersejarah memiliki makna sebagai suatu upaya untuk mengembalikan barang-barang bersejarah yang berada di negara lain untuk dikembalikan ke pangkuan Indonesia.
Repatriasi barang-barang bersejarah sudah dilakukan sejah tahun 1970-an. Hinggi kini bila ditotal sudah ada 1.500 koleksi bersejarah yang kembali ke tanah air.
Benda bersejarah tersebut juga diatur dalam undang-undang antara lain UU 11/2010 tentang Cagar Budaya dan UU 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
Dia menambahkan artefak asli itu akan digunakan sebagai pemenuhan syarat utama untuk mengusulkan Sri Sultan HB II sebagai pahlawan nasional. Trah Sri Sultan HB II siap menyediakan infrastruktur untuk menyimpan 40 manuskrip dan benda bersejarah milik Sri Sultan HB II jika dikembalikan oleh Inggris.
“
Hal tersebut disampaikan disampaikan peneliti dan penulis sejarah Lilik Suharmaji yang menyatakan demi nasionalime atau kepetingan nasional maka Indonesia berhak meminta aset dan manuskrip milik Sri Sultan HB II dari Inggris.
"Pasalnya, aset dan manuskrip tersebut bisa menjadi sarana untuk pembelajaran tentang masa lalu dan memperkaya khazanah pengetahuan tentang Indonesia, terutama Keraton Yogyakarta," papar pengarang buku Geger Sepoy, Jumat (4/8/2023).
Masalahnya, menurut Lilik, apakah pihak Inggris mau begitu saja mengembalikan aset dan manuskrip asli milik Sri Sultan HB II tersebut. Sebab, beberapa waktu lalu Inggris pernah mengembalikan aset dan manuskrip kepada Keraton Yogyakarta tapi hanya dalam bentuk digital pada tahun 2019.
"Kedua, bila aset dan manuskrip dikembalikan Inggris maka perlu dipikirkan bagaimana cara menyimpan artefak bersejarah tetap awet tersimpan di Indonesia," lanjutnya.
"Indonesia harus memiliki tempat dan teknologi yang memadai agar aset dan manuskrip milik Sri Sultan HB II tetap terpelihara dan tidak rusak," sambung Lilik.
Selain berbicara soal pengembalian aset dan manuskrip milik Sri Sultan HB II, dia juga menyatakan bahwa Sri Sultan HB II layak untuk memperoleh gelar sebagai Pahlawan Nasional.
Lilik menilai Sri Sultan HB II merupakan figur yang anti kolonial dan hal ini sudah diperlihatkan sejak dia menjadi seorang putra mahkota.
Sikap anti penjajah dan perlawanan Sri Sultan HB II itu akhirnya berujung pada Perang Sepehi atau Geger Spoy di mana Keraton Yogyakarta diserbu dan dijarah tentara Inggris yang kala itu dipimpin Sir Thomas Stamford Raffles. Saat itu Raffles bertindak sebagai Gubernur Jenderal Kerajaan Inggris di Hindia Belanda.
"Penetapan Sri Sultan HB II sebagai Pahlawan Nasional sebenarnya tinggal tergantung pada political will Pemerintah Indonesia saat ini," papar Lilik.
Sementara itu, Keluarga Besar Trah Sri Sultan HB II yang kini bernaung di bawah Yayasan Vasiatti Socaning Lokika menyatakan bahwa mereka terus berjuang dan mengupayakan agar aset dan manuskrip Sri Sultan HB II dikembalikan ke Indonesia.
Mereka telah melakukan pendekatan dan koordinasi Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, serta Kedutaan Besar Indonesia untuk Kerajaan Inggris.
"Kami juga sudah mengirimkan surat resmi permohonan kepada penguasa Kerajaan Inggris, Raja Charles III, untuk mengembalikan 40 aset dan manuskrip milik Sri Sultan HB II yang kini berada di Inggris,” ujar Ketua Yayasan Vasiatti Socaning Lokika, Fajar Bagoes Poetranto.
Dalam rangka menjaga aset dan manuskrip Sri Sultan HB II itu tetap terpelihara dan terjaga,Fajar menyatakan bahwa Keluarga Trah Sri Sultan HB II telah bekerja sama Rumah Studi Jawa Makaradhvaja mengembangkan Pusat Skriptorium naskah naskah klasik kuno dari abad 16 sampai dengan abad 18.
Selain itu, mereka siap berkolaborasi dengan Museum Nasional.
Trah Sri Sultan HB II meminta dalam proses pengembalian 40 (repatriasi) manuskrip karya Sri Sultan HB II itu terjadi secara unilateral antara pihak Trah Sri Sultan HB II dengan Kerajaan Inggris.
Artefak, terutama 40 manuskrip karya Sri Sultan HB II bisa dikembalikan Kerajaan Inggris dalam bentuk aslinya dan bukan digital.
Dia kembali menegaskan bahwa Trah Sri Sultan HB II mendorong Kementerian Luar Negeri untuk memfasilitasi upaya pengembalian aset, manuskrip dan benda bersejarah milik Sri Sultan HB II sesuai ketentuan Undang-undang repatriasi yang berlaku.
Apalagi ada momentum yang tepat, karena Kerajaan Inggris baru saja terjadi pergantian kepala negara.
Saat ini yang memerintah adalah Raja Charles III yang menggantikan Ratu Elizabeth II yang mangkat.
Hal ini mesti dimanfaatkan Pemerintah Indonesia untuk melakukan pendekatan pada Kerajaan Inggris agar mengembalikan artefak milik Sri Sultan HB II yang telah dirampas dalam Peristiwa Geger Sepehi.
Merujuk arti repatriasi maka arti repatriasi barang-barang bersejarah memiliki makna sebagai suatu upaya untuk mengembalikan barang-barang bersejarah yang berada di negara lain untuk dikembalikan ke pangkuan Indonesia.
Repatriasi barang-barang bersejarah sudah dilakukan sejah tahun 1970-an. Hinggi kini bila ditotal sudah ada 1.500 koleksi bersejarah yang kembali ke tanah air.
Benda bersejarah tersebut juga diatur dalam undang-undang antara lain UU 11/2010 tentang Cagar Budaya dan UU 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
Dia menambahkan artefak asli itu akan digunakan sebagai pemenuhan syarat utama untuk mengusulkan Sri Sultan HB II sebagai pahlawan nasional. Trah Sri Sultan HB II siap menyediakan infrastruktur untuk menyimpan 40 manuskrip dan benda bersejarah milik Sri Sultan HB II jika dikembalikan oleh Inggris.
“
(shf)