Cerita Panas Pemilu 1955, Logo Masyumi Dibully sebagai Lambang Kejahatan
loading...
A
A
A
Dikampanyekan oleh Masyumi bahwa menusuk gambar Partai NU yang mengandung huruf Arab yang suci, sama halnya menodai kesuciannya.
NU merupakan organisasi keagamaan yang menganut paham ahlusunnah waljamaah. Jam’iyah NU berdiri pada 31 Januari 1926 dan sempat bergabung dengan Masyumi.
Dipicu perselisihan politik yang tidak terdamaikan, pada 5 April 1952 NU memutuskan hengkang dari Masyumi dan kemudian berdiri sebagai partai politik.
Dalam mendulang suara pemilih, NU dan Masyumi sama-sama memperebutkan suara dari golongan santri atau pondok pesantren. Sementara PNI dan PKI berebut dukungan dari orang-orang yang memiliki pengaruh atas golongan abangan.
“Masyumi dan NU berupaya membangun organisasinya di atas bahu pemuka agama di desa, kiai atau guru ngaji kalau ada, haji kalau ada, pengurus masjid kalau ada atau pejabat agama pada dewan desa,” dikutip dari buku Pemilihan Umum 1955 di Indonesia.
Sebagai parpol, NU mengusung lambang bola bumi yang dikelilingi tali bersimpul dengan deretan sembilan bintang di pinggirnya. Tali melambangkan Islam dan sembilan bintang adalah Wali Songo.
Serangan politik yang tertuju pada gambar partai juga menimpa PNI. PNI yang menahbiskan diri sebagai rumah kaum nasionalis memakai hewan banteng sebagai logo partai.
Rakyat Indonesia diibaratkan sebagai banteng, yakni sabar dan tidak cepat naik darah, namun sekali marah akan mengamuk tanpa ampun. Sementara PSI (Partai Sosialis Indonesia) pimpinan Sutan Sjahrir memakai logo bintang lima segi.
PSI di Jawa Tengah dan Jawa Timur memakai penafsiran takhayul Jawa, yakni mimpi kejatuhan bintang sama halnya akan mendapat rezeki.
Yang mengejutkan adalah terobosan yang dilakukan PKI dengan lambang palu aritnya. Dalam kampanye secara luas di depan rakyat, PKI memakai semboyan paling sederhana. PKI secara tegas menyatakan, “PNI partai priyayi, Masyumi dan NU partai santri, tetapi PKI partai rakyat”.
NU merupakan organisasi keagamaan yang menganut paham ahlusunnah waljamaah. Jam’iyah NU berdiri pada 31 Januari 1926 dan sempat bergabung dengan Masyumi.
Dipicu perselisihan politik yang tidak terdamaikan, pada 5 April 1952 NU memutuskan hengkang dari Masyumi dan kemudian berdiri sebagai partai politik.
Dalam mendulang suara pemilih, NU dan Masyumi sama-sama memperebutkan suara dari golongan santri atau pondok pesantren. Sementara PNI dan PKI berebut dukungan dari orang-orang yang memiliki pengaruh atas golongan abangan.
“Masyumi dan NU berupaya membangun organisasinya di atas bahu pemuka agama di desa, kiai atau guru ngaji kalau ada, haji kalau ada, pengurus masjid kalau ada atau pejabat agama pada dewan desa,” dikutip dari buku Pemilihan Umum 1955 di Indonesia.
Sebagai parpol, NU mengusung lambang bola bumi yang dikelilingi tali bersimpul dengan deretan sembilan bintang di pinggirnya. Tali melambangkan Islam dan sembilan bintang adalah Wali Songo.
Serangan politik yang tertuju pada gambar partai juga menimpa PNI. PNI yang menahbiskan diri sebagai rumah kaum nasionalis memakai hewan banteng sebagai logo partai.
Rakyat Indonesia diibaratkan sebagai banteng, yakni sabar dan tidak cepat naik darah, namun sekali marah akan mengamuk tanpa ampun. Sementara PSI (Partai Sosialis Indonesia) pimpinan Sutan Sjahrir memakai logo bintang lima segi.
PSI di Jawa Tengah dan Jawa Timur memakai penafsiran takhayul Jawa, yakni mimpi kejatuhan bintang sama halnya akan mendapat rezeki.
Yang mengejutkan adalah terobosan yang dilakukan PKI dengan lambang palu aritnya. Dalam kampanye secara luas di depan rakyat, PKI memakai semboyan paling sederhana. PKI secara tegas menyatakan, “PNI partai priyayi, Masyumi dan NU partai santri, tetapi PKI partai rakyat”.