Pentingnya Kejelasan Izin Amdal untuk Antisipasi Maladministrasi
loading...
A
A
A
BOGOR - Izin Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) dinilai perlu ada kejelasan yang pasti. Tentang keluar atau tidaknya izin Amdal, sehingga memberikan kepastian para pengusaha.
Ketua Ombudsman RI Mokhammad Najih menegaskan, seharusnya hal ini dapat diatasi dengan merespons keluhan masyarakat tersebut dengan cepat.
Sebab menurutnya, proses pengurusan Amdal merupakan urusan inti dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Najih juga menyebut, lambannya proses izin Amdal ini dapat berpotensi terjadinya mal administrasi.
"Sebenarnya prosedur dan proses pengurusan Amdal itu kan proses yang bukan hal baru. Itu sudah menjadi core bussiness dari KLHK," kata Najih dalam keterangannya, Selasa (16/5/2023).
"Jadi kalau ada keterlambatan itu berpotensi menimbulkan maladministrasi. Karena itu, yang perlu ditelaah kemudian adalah apa yang menjadi keluhan masyarakat ini, terutama dari pengurus perizinan, perlu direspon secara cepat oleh Kementerian LHK," tambahnya.
Dia menilai, kejelasan proses izin Amdal sehingga menghambat pelaksanaan bisnis merupakan bentuk pola lama yang berpotensi menimbulkan mal administrasi.
Menurut Najih, perubahan yang diperlukan harus dilakukan dengan cara menjelaskan secara terbuka kepada masyarakat tentang bagaimana prosedur mengurus izin Amdal dan berapa lama waktu yang dibutuhkan.
"Ini karena mungkin dalam pelayanan itu masyarakat belum memahami bagaimana proses dan prosedur yang ditetapkan, syarat-syarat pengurusannya seperti apa, kemudian di bagian apa ini contact person yang dikontak untuk melihat perkembangan proses perizinannya sudah sampai mana, dan sebagainya," ungkapnya.
"Memang perlu transparansi seperti itu kalau ingin ada percepatan, sehingga kalau ada proses pengurusan yang berbelit-belit, itu ada indikasi adanya mal administrasi, penyimpangan prosedur, penyalahgunaan wewenang, dan berpotensi terjadi misalnya suap-menyuap, dan sebagainya," sambungnya.
Sebagai informasi, saat ini ada tiga PP turunan UU Cipta Kerja yang terbit berkaitan dengan izin Amdal, yakni PP Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, PP Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta PP 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan.
Terkait hal itu, Najih mulanya menyebutkan, ide dasar pembentukan UU Cipta Kerja yaitu proses perizinan yang serba transparan dan terbuka. Namun, lanjut Najih, jika proses suatu perizinan tidak berdasarkan prinsip tersebut, maka apa yang diharapkan dari UU Cipta Kerja tidaklah berjalan.
"Berarti (UU Cipta Kerja) malah menimbulkan potensi adanya KKN di situ, korupsi, kolusi, nepotisme, kongkalikong, kalau yang dekat diproses lebih cepat, kalau yang bayar diproses lebih cepat, dan sebagainya," tutur Najih.
Ia pun mempertanyakan, apakah mekanisme pelayanan kepada masyarakat yang diatur dalam UU Cipta Kerja sudah lebih transparan, terbuka, tanpa biaya berat, dan dapat dievaluasi.
"Kalau ada informasi seperti itu (Amdal lambat untuk proses izin miliaran rupiah), tentu ada indikasi bahwa proses pelayanan ini tidak ada perbedaan antara sebelum UU Cipta Kerja dan setelahnya," tutupnya.
Ketua Ombudsman RI Mokhammad Najih menegaskan, seharusnya hal ini dapat diatasi dengan merespons keluhan masyarakat tersebut dengan cepat.
Sebab menurutnya, proses pengurusan Amdal merupakan urusan inti dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Najih juga menyebut, lambannya proses izin Amdal ini dapat berpotensi terjadinya mal administrasi.
"Sebenarnya prosedur dan proses pengurusan Amdal itu kan proses yang bukan hal baru. Itu sudah menjadi core bussiness dari KLHK," kata Najih dalam keterangannya, Selasa (16/5/2023).
"Jadi kalau ada keterlambatan itu berpotensi menimbulkan maladministrasi. Karena itu, yang perlu ditelaah kemudian adalah apa yang menjadi keluhan masyarakat ini, terutama dari pengurus perizinan, perlu direspon secara cepat oleh Kementerian LHK," tambahnya.
Dia menilai, kejelasan proses izin Amdal sehingga menghambat pelaksanaan bisnis merupakan bentuk pola lama yang berpotensi menimbulkan mal administrasi.
Menurut Najih, perubahan yang diperlukan harus dilakukan dengan cara menjelaskan secara terbuka kepada masyarakat tentang bagaimana prosedur mengurus izin Amdal dan berapa lama waktu yang dibutuhkan.
"Ini karena mungkin dalam pelayanan itu masyarakat belum memahami bagaimana proses dan prosedur yang ditetapkan, syarat-syarat pengurusannya seperti apa, kemudian di bagian apa ini contact person yang dikontak untuk melihat perkembangan proses perizinannya sudah sampai mana, dan sebagainya," ungkapnya.
"Memang perlu transparansi seperti itu kalau ingin ada percepatan, sehingga kalau ada proses pengurusan yang berbelit-belit, itu ada indikasi adanya mal administrasi, penyimpangan prosedur, penyalahgunaan wewenang, dan berpotensi terjadi misalnya suap-menyuap, dan sebagainya," sambungnya.
Sebagai informasi, saat ini ada tiga PP turunan UU Cipta Kerja yang terbit berkaitan dengan izin Amdal, yakni PP Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, PP Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta PP 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan.
Terkait hal itu, Najih mulanya menyebutkan, ide dasar pembentukan UU Cipta Kerja yaitu proses perizinan yang serba transparan dan terbuka. Namun, lanjut Najih, jika proses suatu perizinan tidak berdasarkan prinsip tersebut, maka apa yang diharapkan dari UU Cipta Kerja tidaklah berjalan.
"Berarti (UU Cipta Kerja) malah menimbulkan potensi adanya KKN di situ, korupsi, kolusi, nepotisme, kongkalikong, kalau yang dekat diproses lebih cepat, kalau yang bayar diproses lebih cepat, dan sebagainya," tutur Najih.
Ia pun mempertanyakan, apakah mekanisme pelayanan kepada masyarakat yang diatur dalam UU Cipta Kerja sudah lebih transparan, terbuka, tanpa biaya berat, dan dapat dievaluasi.
"Kalau ada informasi seperti itu (Amdal lambat untuk proses izin miliaran rupiah), tentu ada indikasi bahwa proses pelayanan ini tidak ada perbedaan antara sebelum UU Cipta Kerja dan setelahnya," tutupnya.
(nag)