Misteri Hilangnya Supriyadi dan Pemberontakan PETA

Sabtu, 27 Februari 2016 - 05:05 WIB
Misteri Hilangnya Supriyadi dan Pemberontakan PETA
Misteri Hilangnya Supriyadi dan Pemberontakan PETA
A A A
PEMBERONTAKAN tentara Pembela Tanah Air (PETA) di Blitar, pada 14 Februari 1945, memiliki nilai historis yang sangat besar bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia melawan fasisme Jepang.

Dalam peristiwa itu, sejumlah tentara PETA yang dipimpin tiga orang perwira dan seorang bintara, terdiri dari Muradi, Supriyadi, Suparjono, dan Sunanto melakukan gerakan bersenjata.

Gerakan ini pada awalnya akan dilakukan secara serempak oleh Daidan Jakarta, Bandung, Semarang dan Surabaya. Namun rencana itu diketahui oleh Jepang dan pemberontakan akhirnya dibatalkan.

Tetapi informasi itu tidak sampai ke Daidan Blitar. Sulitnya komunikasi masa itu, membuat para pemimpin PETA di Blitar tetap melanjutkan rencana mereka untuk melakukan pemberontakan.

Percakapan para pemimpin pemberontak di ruang jaga Kesatrian Daidan Blitar sesaat sebelum pemberontakan di bawah ini membuktikan tidak sampainya informasi tentang rencana pembatalan itu.

"Jadikah malam ini?" tanya Muradi yang langsung dijawab oleh Supriyadi, "Menunggu apalagi? Penderitaan rakyat sudah sampai dipuncak dan sudah tidak tertahankan lagi."

"Bagaimana bapak-bapak dan saudara-saudara lainnya?" sambung Muradi menyangsikan persiapan yang dilakukan daidan lainnya. "Mereka sudah mengetahui semuanya," timpal Suparjono cepat.

"Kalau kita mulai, mereka akan dengan sendirinya mengikuti gerakan kita. Harus ada yang berani memeloporinya," terang Suparjono meyakinkan para pemimpin pemberontakan untuk bergerak terus.

"Dalam perang Bratayuda, Sang Kresna memuji para kesatria yang berani mengorbankan jiwa-raganya dengan tidak menanyakan lebih dahulu, untuk apa?" tambah Supriyadi dengan bersemangat.

"Kresna, Arjuna dan seluruh Bratayuda tidak ada hubungannya dengan kita ini. Bagaimana rencana yang sesungguhnya," sela Sunanto menenangkan suasana yang mulai emosional itu.

"Kita bunuh semua orang Jepang yang ada di sini. Selanjutnya bersama dengan daidan lainnya menyerang tiap pasukan tentara Jepang yang digerakkan untuk menindas kita," terang Supriyadi.

"Apakah daidan lainnya akan mengikuti kita dan mengetahui apa yang kita mulai?" sela yang lainnya dengan cemas. "Tentu!" jawab Supriyadi dengan sangat yakin.

"Kita sudah mengadakan hubungan dengan mereka. Kita harus mengambil siasat yang terbaik, ialah siasat mendahului menyerang," tegas Supriyadi. "Risikonya terlalu besar," sela yang lainnya.

"Risiko apa? Apakah kita mau disamakan dengan orang-orang yang mengaku dan menamakan diri sebagai pemimpin rakyat, tetapi hanya bisa bicara saja?" tanya Supriyadi. "Kita tidak mengetahui bagaimana kekuatan musuh kita," tanya yang lainnya.

"Lebih baik begitu! Sejarah perang penuh dengan contoh yang membuktikan bahwa dalam keadaan yang jelek sekalipun dapat juga dicapai kemenangan-kemenangan," timpal Supriyadi lagi.

"Tanah Air menunggu kapan kita mulai memenuhi kewajiban," katanya menutup pertemuan rahasia itu.

Setelah percakapan itu, masing-masing pemimpin pemberontakan langsung bergerak ke gudang senjata dan misiu, serta peluru-pelurunya dibagi-bagikan kepada masing-masing pasukan pemberontak.

Pembagian senjata pada masa itu merupakan hal yang biasa bagi daidan, karena sering melakukan latihan perang dengan peralatan dan perbekalan lengkap hingga tidak mencurigakan.

Akhirnya, pada 14 Februari 1945 pukul 03.00 Wib, saat Kota Blitar tengah tertidur lelap, para tentara PETA Blitar melakukan sejumlah serangan terhadap orang-orang Jepang.

Warga yang mengetahui adanya suara letusan di pagi buta itu awalnya mengira berondongan senapan yang datang dari timur kesatriyan dan terus mendekat ke Hotel Sentrum sebagai latihan perang.

Namun saat terdengar teriakan "Merdeka! Merdeka!" perkiraan warga langsung berubah. Apalagi setelah terdengar suara lonceng lima kali, warga langsung keluar berhamburan ke luar rumah.

"Salah seorang tetangga mendekat dengan nada setengah berbisik. Di Hotel Sakura ada Jepang yang terbunuh. PETA-PETA menyerukan Merdeka, ikut Jepang atau ikut PETA," cerita salah seorang saksi.

Di sepanjang jalan raya terdapat mayat-mayat tergeletak. Mereka adalah para serdadu Jepang yang tewas dibunuh saat tengah mabuk sake dan mereka yang dianggap sebagai mata-mata Jepang.

Dari Hotel Sakura, para tentara PETA bergerak menuju rumah penjara. Sebanyak 285 narapidana yang terdiri dari para kriminal dibebaskan. Mereka teriak kegirangan "Merdeka! Merdeka!"

Selain menyasar para tentara Jepang dan mereka yang dituduh mata-mata dan kaki tangan Jepang, serangan tentara PETA juga mengarah kepada orang-orang Tionghoa dan orang-orang Indo Belanda.

Dari alun-alun, para tentara PETA bergerak ke kecamatan-kecamatan. Saat di Kecamatan Nglegok, para tentara PETA menemui rakyat yang telah berkumpul dan menyampaikan tujuannya untuk merdeka.

Setelah mengamuk dan membisanakan seluruh orang Jepang di dalam dan luar Kota Blitar, pasukan pemberontak berpencar menjadi tiga ke arah pegunungan dan membentuk benteng pertahanan.

Supriyadi memimpin pasukan di timur dan membuat perbentengan di Kali Putih-Kali Menjangan Kalung. Suparjono ke Barat dan Muradi ke Utara. Keduanya kemudian bertemu di Candi Panataran.

Markas Militer Jepang yang mengetahui adanya pemberontakan langsung mengerahkan seluruh kekuatan militernya ke Blitar. Namun mereka tidak langsung menggempur pertahanan pemberontak.

Langkah pertama yang mereka lakukan adalah memblokade pintu keluar bagi para pemberontak agar tidak bisa melarikan diri. Daidan-daidan yang ada di sekitar Blitar langsung dikerahkan.

Daidan Kediri diperintahkan menjaga perbatasan di Blitar-Tulungagung dan Sungai Brantas di Lodoyo, Kademangan dan Ngunut. Daidan Malang di perbatasan Blitar-Malang dan Kali Lohor.

Operasi militer Jepang ini dipimpin langsung oleh perwira-perwira Jepang yang tangkas di medan perang, dibantu Gyugun Sidubo, Syodanco Yugetikai, dan disaksikan Somubuco Yamato Shojo.

Meski pasukan pemberontak melawan mati-matian, mereka akhirnya bisa dilumpuhkan. Kelompok yang pertama ditumpas adalah pasukan Supriyadi, disusul dengan pasukan Suparjono dan Muradi.

Para pemimpin pemberontak yang berhasil ditangkap kemudian diseret ke Pengadilan Militer Jepang. Dalam sidang di Jakarta, pada 14-16 April 1945, para pemimpin pemberontak dijatuhi vonis mati.

Mereka yang diadili dan divonis mati dengan jalan dipenggal kepalanya berjumlah enam orang, tanpa Supriyadi, terdiri dari Dr Ismail, Muradi, Suparjono, Sunanto, Sudarno, dan Halir.

Sejumlah pemberontak juga dikabarkan tewas dalam penjara Cipinang dan Sukamiskin. Mereka yang tewas tanpa diadili itu berjumlah empat orang, yakni Sumardi, Sunardjo, Atmadja, dan Sukaeni.

Karena lolos dari hukuman mati dan dianggap masih hidup, Supriyadi diangkat Menteri Keamanan Rakyat pada 6 Oktober 1945 dan Panglima Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 20 Oktober 1945.

Tetapi karena sosoknya tidak pernah terlihat, maka posisi Panglima TKR diserahkan kepada Jenderal Soedirman. Tidak diketahuinya keberadaan Supriyadi membuat sosoknya misterius.

Pada Juni 1965, salah satu laporan pers menyebutkan pada 28 Mei 1965 Letnan R Sain kesurupan roh Supriyadi dan menceritakan bahwa dia sudah mati dan kepalanya dipenggal oleh Jepang.

Namun kabar itu tidak bisa dikonfirmasi kebenarannya. Pencarian terhadap diri Supriyadi mulai dilakukan. Jika sudah mati, di mana kuburnya? Jika masih hidup, di mana keberadaannya.

Saat pencarian dilakukan, sedikitnya sudah lima orang lebih yang mengaku sebagai Supriyadi. Di antaranya bahkan telah menemui ayah Supriyadi, mantan Bupati Blitar 1945-1956 Darmadi.

Adik tiri Supriyadi, Ki Utomo Darmadi mengaku pernah ditelepon Wakil Presiden Try Sutrisno yang mengatakan ada orang tua di Yogyakarta mengaku sebagai Supriyadi dan diminta menemuinya.

Setelah ditemui, ternyata orang itu bukan Supriyadi. Dia tidak bisa bahasa Belanda dan Jepang. Supriyadi pernah bersekolah di MULO dan MOSVIA, serta ikut dalam latihan militer Jepang.

Untuk memutus mata rantai pencarian itu, pada 9 Agustus 1975 Presiden Soeharto secara resmi mengangkat Supriyadi sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan surat keterangan No 063/TK/Tahun 1975.

Diangkatnya Supriyadi sebagai pahlawan nasional, gelar yang kerap diberikan kepada orang yang telah meninggal, tidak serta merta memutus pencarian terhadap Supriyadi.

Foto yang dimiliki Supriyadi semasa hidup dan tersebar di publik juga hanya satu. Itu pun mulai mengundang tanda tanya, apakah benar orang yang ada dalam foto itu Supriyadi, tidak jelas.

Sampai di sini ulasan Cerita Pagi tentang Supriyadi dan Pemberontakan Tentara PETA di Blitar, pada 14 Februari 1945 diakhiri. Semoga memberikan manfaat kepada pembaca.

Sumber Tulisan
* Baskara T Wardaya, Mencari Supriyadi, Kesaksian Pembantu Utama Bung Karno, Galang Press, Cetakan I, 2008.
* Sidik Kertapati, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, Penerbit Pustaka Pena, Juli 2000.
* Anton Lucas, Radikalisme Lokal, Oposisi dan Perlawanan Terhadap Pendudukan Jepang di Jawa 1942-1945, Syarikat, 2012.
* Ben Anderson, Revoloesi Pemoeda, Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946, Pustaka Sinar Harapan, jakarta 1988.
* Soehoed Prawiroatmodjo, Perlawanan Bersendjata Terhadap Fasisme Djepang, Jakarta, Merdeka Pres, 1965, dikutip dalam Sidik Kertapati.
(san)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4068 seconds (0.1#10.140)