Sejarah Masjid Agung Demak dan Misteri Pintu Petir yang Melegenda

Jum'at, 14 April 2023 - 05:42 WIB
loading...
Sejarah Masjid Agung...
Penampakan Masjid Agung Demak di tengah kota, meski telah berumur ribuan tahun namun masih tetap berdiri dengan kokoh. Foto: Dok/SINDOnews
A A A
MASJID Agung Demak didirikan sekitar tahun 1388 Saka atau 1466 Masehi oleh Raden Patah bersama Wali Sembilan atau Wali Songo . Hal itu tertera dalam prasasti Condro Sengkolo yang berbunyi Nogo Mulat Saliro Wani, yang disertai gambar kepala naga.

Masjid Agung Demak ini merupakan salah satu masjid tertua di Pulau Jawa. Lokasinya berada di pusat kota Demak, struktur bangunannya pun mempunyai nilai historis seni bangun arsitektur tradisional khas Indonesia.

Wujudnya megah, anggun, indah, karismatik, memesona dan berwibawa. Bukan hanya difungsikan sebagai tempat peribadatan namun juga ramai dikunjungi para peziarah.

Sementara penampilan atap limas piramida masjid ini menunjukkan Aqidah Islamiyah yang terdiri dari tiga bagian ; yakni, Iman, Islam, dan Ihsan. Masjid ini merupakan cikal bakal berdirinya kerajaan Glagahwangi Bintoro Demak.

Sejarah Masjid Agung Demak dan Misteri Pintu Petir yang Melegenda



Di balik keindahan dan kemegahan masjid tersebut terdapat misteri yang melegenda yakni Pintu Petir yang lebih dikenal Pintu Bledeg yang dulunya digunakan sebagai pintu masjid.

Konon menurut cerita masyarakat sekitar bahwa kisah pintu petir tersebut dimulai saat Ki Ageng Selo (salah satu keturunan Raja Majapahit, Brawijaya V) itu pergi bekerja di tengah sawah yang terbentang luas.

Lalu tiba-tiba hari yang cerah menjadi mendung yang gelap gulita dan kemudian hujan turun begitu derasnya. Kemudian karena hujan begitu lebat, maka Ki Ageng Selo pun menghentikan pekerjaannya sambil bergumam "sawah iki kemendungan".

Ki Ageng Selo bergumam demikian karena beberapa meter bagian sawah dari sawah yang kehujanan tersebut tidak ada mendung apalagi hujan, maka Ki Ageng Selo meneruskan pekerjaannya di sawah yang tidak kehujanan.

Namun kemudian setelah pindah ke sawah yang lain, ternyata mendung dan kilat pun juga berpindah dan menghujani sawah tempat Ki Ageng Selo tersebut bekerja. Seakan mendung, petir dan hujan mengikuti kemana Ki Ageng Selo bekerja. Dan kemudian terjadilah pertempuran antara Ki Ageng Selo dan petir yang terus mengancam dan seakan menyambar ke kepala Ki Ageng Selo.

Ki Ageng Selo pun melawan petir tersebut sambil tetap berdiri tegak di tengah sawah sambil mengacungkan dan menunjukkan tangannya ke arah bledeg atau petir yang mengamuk tersebut. Petir yang mangamuk itu pun kemudian menyambar Ki Ageng Selo dengan suara yang memekakkan telinga, Ki Ageng Selo seakan tersambar.



Ada beberapa murid Ki Ageng Selo yang menyaksikan kejadian tersebut dan menyangka bahwa Ki Ageng Selo tidak akan selamat atau hancur berkeping-keping karena sambaran petir tersebut. Namun mendadak mata murid tersebut terbelalak karena menyaksikan sesuatu yang sangat mengejutkan.

Tubuh Ki Ageng Selo sama sekali tidak terluka sedikitpun dan bahkan tampak Ki Ageng Selo mengikat sesuatu yang sangat besar dengan damen (gagang padi kering) yang diikatkan pada pohon Gandri.

Peristiwa yang luar biasa tersebut kemudian cepat tersiar dan pada akhirnya sampai juga kepada pihak Istana Demak. Akhirnya utusan dari Demak meminta tangkapan Ki Ageng Selo tersebut di bawa ke Demak. Kemudian bledeg tersebut dibawa ke Demak dan Ki Ageng Selo juga mempersilakan para prajurit tersebut.

Sesampainya di Demak, bledeg tersebut kemudian langsung dibawa ke Masjid Demak dan banyak masyarakat yang turut menyaksikan bledeg tersebut. Setelah beberapa waktu, kemudian diperintahkan juru lukis untuk menggambar bledeg tersebut. Namun ternyata, menggambar bledeg bukanlah pekerjaan yang semudah yang dibayangkan.

Konon kabarnya, bledeg yang dilukis tersebut selalu menampakkan bentuk yang berbeda-beda setiap waktu. Namun pada akhirnya sang pelukis mampu melukis bledeg tersebut dan masih diselesaikan pada bagian kepalanya saja.

Sayang setelah bagian kepala selesai, datang seorang perempuan tua yang membawa tempurung kelapa yang berisi air yang kemudian disiramkan ke arah bledeg tersebut. Kemudian meledaklah bledeg tersebut disiram perempuan tua tersebut, dan perempuan tersebut tiba-tiba berubah wujud menjadi seorang berjubah putih dan hilang begitu saja.



Menurut kisah yang beredar, laki-laki berjubah putih tersebut adalah Ki Ageng Selo sendiri. Karena dia ternyata tidak tega melihat bledeg tangkapannya tersebut dijadikan sebagai tontonan orang banyak.

Meski pada awalnya bledeg tersebut mengancam nyawanya, namun Ki Ageng Selo melepaskannya karena merasa kasihan. Nah, lukisan yang masih selesai pada bagian kepala itulah yang kemudian dijadikan sebagai hiasan pintu utama Masjid Demak saat itu.

Namun kisah sejarah pintu bledeg yang lain adalah bahwa pintu petir tersebut hanyalah sebuah kiasan. Kiasan yang melambangkan nafsu dan angkara murka yang ada pada setiap manusia. Sehingga, sebelum manusia melaksanakan salat dan mendekatkan diri pada Ilahi, harus bisa menghilangkan sifat jahat dan angkara yang dilambangkan dengan bledeg tersebut.

Sementara dalam pembangunan Masjid Agung Demak, Raden Patah bersama Wali Songo memberi gambar serupa bulus. Ini merupakan candra sengkala memet, dengan arti Sarira Sunyi Kiblating Gusti yang bermakna tahun 1401 Saka.

Gambar bulus terdiri atas kepala yang berarti angka 1, 4 kaki berarti angka 4, badan bulus berarti angka 0, ekor bulus berarti angka 1. Dari simbol ini diperkirakan Masjid Agung Demak berdiri pada tahun 1401 Saka. Masjid ini didirikan pada tanggal 1 Shofar.

Di bagian tiang masjid, yang disebut Soko Majapahit, berjumlah delapan buah terletak di serambi masjid. Benda purbakala hadiah dari Prabu Brawijaya V Raden Kertabumi ini diberikan kepada Raden Fattah ketika menjadi Adipati Notoprojo di Glagahwangi Bintoro Demak 1475 M.

Sementara Pawestren, merupakan bangunan yang khusus dibuat untuk sholat jama’ah wanita. Dibuat menggunakan konstruksi kayu jati, dengan bentuk atap limasan berupa sirap ( genteng dari kayu ) kayu jati. Bangunan ini ditopang 8 tiang penyangga, di mana 4 diantaranya berhias ukiran motif Majapahit. Luas lantai yang membujur ke kiblat berukuran 15 x 7,30 m. Pawestren ini dibuat pada zaman K.R.M.A.Arya Purbaningrat, tercermin dari bentuk dan motif ukiran Maksurah atau Kholwat yang menerakan tahun 1866 M.

Surya Majapahit, merupakan gambar hiasan segi 8 yang sangat populer pada masa Majapahit. Para ahli purbakala menafsirkan gambar ini sebagai lambang Kerajaan Majapahit. Surya Majapahit di Masjid Agung Demak dibuat pada tahun 1401 tahun Saka, atau 1479 M.

Maksurah , merupakan artefak bangunan berukir peninggalan masa lampau yang memiliki nilai estetika unik dan indah. Karya seni ini mendominasi keindahan ruang dalam masjid. Artefak Maksurah didalamnya berukirkan tulisan arab yang intinya memulyakan ke-Esa-an Tuhan Allah SWT. Prasasti di dalam Maksurah menyebut angka tahun 1287 H atau 1866 M, di mana saat itu Adipati Demak dijabat oleh K.R.M.A. Aryo Purbaningrat.

Dampar Kencana , benda arkeologi ini merupakan peninggalan Majapahit abad XV, sebagai hadiah untuk Raden Fattah Sultan Demak I dari ayahanda Prabu Brawijaya ke V Raden Kertabumi. Semenjak tahta Kasultanan Demak dipimpin Raden Trenggono 1521 – 1560 M, secara universal wilayah Nusantara menyatu dan masyhur, seolah mengulang kejayaan Patih Gajah Mada.

Soko Tatal / Soko Guru yang berjumlah 4 ini merupakan tiang utama penyangga kerangka atap masjid yang bersusun tiga. Masing-masing soko guru memiliki tinggi 1630 cm. Formasi tata letak empat soko guru dipancangkan pada empat penjuru mata angin.

Yang berada di barat laut didirikan Sunan Bonang, di barat daya karya Sunan Gunung Jati, di bagian tenggara buatan Sunan Ampel, dan yang berdiri di timur laut karya Sunan Kalijaga Demak. Masyarakat menamakan tiang buatan Sunan Kalijaga ini sebagai Soko Tatal.

Situs Kolam Wudlu . Situs ini dibangun mengiringi awal berdirinya Masjid Agung Demak sebagai tempat untuk berwudlu. Hingga sekarang situs kolam ini masih berada di tempatnya meskipun sudah tidak dipergunakan lagi.

Menara, bangunan sebagai tempat adzan ini didirikan dengan konstruksi baja. Pemilihan konstruksi baja sekaligus menjawab tuntutan modernisasi abad XX. Pembangunan menara diprakarsai para ulama, seperti KH.Abdurrohman (Penghulu Masjid Agung Demak), R.Danoewijoto, H.Moh Taslim, H.Aboebakar, dan H.Moechsin.

Kini Masjid Agung Demak bukan hanya difungsikan sebagai tempat peribadatan namun juga ramai dikunjungi para peziarah dari berbagai daerah.

Sumber:
dok.sindonews/jojgaprov.go.id
(nic)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2033 seconds (0.1#10.140)