Masjid Agung Demak, Kokoh Berdiri Ditopang Tiang Sumbangan Empat Sunan

Rabu, 08 Mei 2019 - 11:25 WIB
Masjid Agung Demak,...
Masjid Agung Demak yang dibangun Walisongo masih berdiri kokoh. Masjid tersebut selain sebagai syiar Islam, juga simbol akulturasi budaya dan toleransi beragama di Pulau Jawa. Foto-Foto/iNews.id/Sukmawijaya
A A A
DEMAK - Masjid Agung Demak yang dibangun Walisongo sejak lima abad lalu hingga kini masih berdiri kokoh. Masjid yang menjadi simbol syiar dan akulturasi Islam di Pulau Jawa itu selalu ramai dikunjungi jamaah, terutama pada bulan Ramadan.

Banyak jamaah menunggu waktu berbuka puasa dengan membaca Alquran atau beriktikaf sambil menunggu waktu berbuka puasa.

Selain membawa kesejukan hati, beriktikaf di dalam masjid pertama di Pulau Jawa ini juga menambah kekhusyukan menjalankan puasa. "Lebih khusyuk kalau iktikaf di masjid ini. Hati terasa adem," kata seorang jamaah, Abdul Hakim, Selasa (7/5/2019).

Masjid Agung Demak, Kokoh Berdiri Ditopang Tiang Sumbangan Empat Sunan


Selain mengaji, banyak umat Islam yang datang untuk mengikuti kuliah atau ceramah yang digelar tiap Ramadan di teras masjid. Teras seluas 31 x 15 meter ini disebut Serambi Majapahit.

Takmir Masjid Agung Demak, Wagiyo menuturkan, serambi dengan delapan tiang berkontruksi ukiran kayu bergaya Majapahit merupakan bantuan dari Sultan Fatah setelah dinobatkan menjadi Sultan Demak Bintoro dengan gelar Sultan Raden Abdul Fatah Al Akbar Sayidin Panotogomo.

Sultan Fatah kemudian merehab masjid tersebut pada 1479 dan mengubah nama masjid menjadi Masjid Ageng Kasultanan Demak Bintoro. Di atas pengimaman, terdapat lambang kulit bulus atau kura-kura.

"Lambang ini mengartikan Candra Sengkala Memet atau Sarira Sunyi Kiblating Gusti yang bermakna berdirinya Masjid Agung Demak pada Tahun 1388 Saka atau 1466 Masehi (887 Hijriah)," katanya.

Masjid Agung Demak, Kokoh Berdiri Ditopang Tiang Sumbangan Empat Sunan


Lambang tersebut juga mengandung prinsip tidak ada paksaan dalam agama. Selain serambi Majapahit, empat soko guru juga menjadi daya tarik pada Masjid Agung Demak.

Empat tiang penyangga ini merupakan hibah dari empat wali terkenal yaitu, Sunan Kalijaga, Sunan Ampel, Sunan Gunungjati, dan Sunan Bonang.

Uniknya soko buatan Sunan Kalijaga, merupakan kumpulan kayu-kayu pendek atau disebut tatal yang diikat menjadi satu tiang. Demi pelestariannya, pemerintah telah membungkus soko tatal dari Sunan Kalijaga dengan kulit kayu.

Sedangkan pada bagian atap masjid berbentuk limasan segitiga yang menggambarkan iman, Islam, dan ihsan. Atap berundak ini menyimbulkan keterikatan iman manusia untuk bertemu Ilahi.

Masjid Agung Demak, Kokoh Berdiri Ditopang Tiang Sumbangan Empat Sunan


Wagiyo menuturkan, pelestarian masjid Islam pertama di Jawa ini dimulai sejak 1466 Masehi. Semula masjid tersebut masih berupa surau kecil Pondok Pesantren Glagahwangi, asuhan Raden Fatah.

Sejak Raden Fatah menjabat Adipati Notoprojo pada 1477 Masehi, masjid dipugar kembali menjadi Masjid Kadipaten Glagawangi dan pada 1479 Masehi setelah Raden Fatah menjadi Sultan Demak Bintoro masjid kembali direhab menjadi Masjid Ageng Kasultanan Demak Bintoro.

Dalam perkembangannya, kata dia, pelestarian Masjid Agung Demak pada 1883 sampai 1986 hanya khusus dilakukan untuk merehab empat soko guru utama lantaran sokoguru menggantung di atas air. Sehingga sokoguru tersebut dipotong dan diganti.

"Pemotongan sepanjang tujuh meter dilakukan untuk sokoguru karya Sunan Kalijaga, Sunan Ampel, dan Sunan Bonang. Untuk sokoguru karya Sunan Gunung Jati hanya dipotong sepanjang empat meter," ujarnya.
(amm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 0.2111 seconds (0.1#10.140)