Kisah Raden Ayu Siti Khotijah, Putri Raja yang Dihukum Mati setelah Kepergok Salat Maghrib
loading...
A
A
A
Makam itu terletak di Jalan Gunung Batukaru, Pemecutan, Kecamatan Denpasar Barat, Kota Denpasar, Bali. Suasananya begitu asri dan rindang, karena masih banyak pohon besar yang berdiri kokoh melindungi makam kuno tersebut.
Bersebelahan dengan makam kuno itu, juga berdiri pura yang lingkungannya juga masih sangat asri. Di makam kuno yang begitu terawat dan asri tersebut tertulis dalam papan keterangan: "Keramat Agung Pamecitan. Makam Raden Ayu Pamecutan. Alias Hajah Raden Ayu Siti Khotijah".
Pohon besar berdiri kokoh menembus cungkup yang melindungi makam. Batang pohon menancap di antara pusaran kuno yang dilindungi cungkup. Makam itu sangat dikeramatkan, dan selalu ramai dikunjungi wisatawan, utamanya dari Jawa.
Banyak penjual buku di sekitar makam, di mana buku-buku tersebut menceritakan tentang sosok Raden Ayu Siti Khotijah yang dimakamkan di makam keramat tersebut. Dalam buku-buku yang diangkat dari cerita rakyat, disebutkan bahwa nama asli Raden Ayu Siti Khotijah adalah Gusti Ayu Made Rai.
Gusti Ayu Made Rai, atau juga dikenal oleh masyarakat setempat sebagai Raden Ayu Pemecutan, adalah seorang putri dari Raja Pemecutan. Namun belum diketahui pasti, Gusti Ayu Made Rai ini keturunan dari Raja Pemecutan yang mana.
Dilansir dari denpasarkota.go.id, kisah Raden Ayu Pemecutan, seperti cerita legenda putri-putri keraton di seluruh nusantara. Di mana, sebagai putri kerajaan, Raden Ayu Pamecutan dikenal memiliki kecantikan yang luar biasa, hingga memikat banyak pembesar kerajaan di Bali.
Dalam perjalanannya, dikisahkan putri cantik jelita tersebut mengalami musibah. Dia disebutkan mengalami sakit kuning yang sulit disembuhkan. Berbagai upaya telah dilakukan oleh Raja Pamecutan, namun tak kunjung membuat putrinya sembuh.
Dalam kekalutan tersebut, Raja Pamecutan akhirnya membuat sayembara. Yakni, barang siapa yang berhasil menyembuhkan puterinya, maka akan diberi hadiah. Bila yang menyembuhkan seorang perempuan, maka akan diangkat menjadi anak oleh Raja Pamecutan, dan jika yang menyembuhkan laki-laki, maka akan dinikahkan dengan Raden Ayu Pamecutan.
Sayembara dari Raja Pamecutan untuk menyembuhkan Raden Ayu Pamecutan, ternyata tersembar ke mana-mana, hingga terdengar oleh seorang ulama di Yogyakarta. Ulama tersebut memiliki adik seorang raja di Pulau Madura, yaitu Cakraningrat IV.
Carkraningrat IV, diminta oleh kakaknya untuk berangkat ke Bali, guna menyebuhkan sakit yang diderita Raden Ayu Pamecutan. Berkat pengobatan yang dilakukan oleh Cakraningrat IV, Raden Ayu Pamecutan akhirnya berhasil sembuh dari sakit kuning yang dideritanya.
Sesuai janji Raja Pamecutan, akhirnya Cakraningrat IV dinikahkan dengan Raden Ayu Pamecutan. Usai pernikahan, Raden Ayu Siti Khotijah akhirnya diboyong Cakraningrat IV ke Madura.
Karena Cakraningrat IV merupakan penganut Islam, akhirnya Raden Ayu Pamecutan menjadi mualaf. Raden Ayu Pamecutan diberi gelar Raden Ayu Siti Khotijah, yang diambil dari nama istri Nabi Muhammad, Siti Kadhijah.
Suatu ketika Raden Ayu Pamecutan yang telah bernama Raden Ayu Siti Khotijah pulang ke Bali. Kepulangannya ke rumah orang tuanya tersebut, dikawal oleh 40 orang prajurit terbaik dari Madura.
Tak hanya itu, Cakraningrat IV juga membekali istrinya yang cantik jelita itu, dengan guci, keris, dan sebuah pusaka tusuk konde emas yang diselipkan di rambut Raden Ayu Siti Khotijah.
Kepulangan Raden Ayu Siti Khotijah, disambut dengan penuh kegembiraan oleh Raja Pamecutan. Raja Pamecutan dan kerabatnya, belum menyadari bahwa putri cantik jelita itu telah memeluk Islam.
Saat berada di tanah kelahirannya, Raden Ayu Siti Khotijah tetap menjalankan salat sesuai ajaran Islam. Saat menjelang petang, Raden Ayu Siti Khotijah mengenakan mukenah, dan melakukan salat maghrip. Hal ini ternyata diketahui oleh salah seorang patih di dalam Puri.
Para patih dan pengawal kerajaan yang tidak menyadari bahwa Raden Ayu Siti Khotijah telah memeluk Islam, menganggap salat yang dijalankan Raden Ayu Siti Khotijah hal aneh, dan dianggap sebagai bentuk penganut aliran ilmu hitam.
Akibat pengawal dan patih yang tidak memahami salat yang dilakukan Raden Ayu Siti Khotijah tersebut, akhirnya kejadian yang mereka anggap aneh itu dilaporkan kepada Raja Pamecutan. Hal ini membuat Raja Pamecutan murka.
Raja Pamecutan yang murka, langsung memerintahkan patihnya membunuh Raden Ayu Siti Khotijah. Putri raja yang cantik jelita itu dibawa ke sebuah pemakaman yang sangat luas. Raden Ayu Siti Khotijah ternyata sudah mengetahui dirinya akan dibunuh.
"Aku sudah punya firasat sebelumnya mengenai hal ini. Karena ini adalah perintah raja, maka laksanakanlah. Dan perlu kau ketahui bahwa aku ketika itu sedang salat atau sembahyang menurut kepercayaan Islam, tidak ada maksud jahat apalagi ngeleak," demikian kata Raden Ayu Siti Khotijah, kepada patih yang akan membunuhnya, dilansir dari denpasarkota.go.id.
Raden Ayu Siti Khotijah juga berpesan kepada patih yang hendak membunhnya, agar tidak membunuhnya dengan senjata tajam, karena senjata tajam tidak akan mempan membunuhnya.
"Bunuhlah aku dengan menggunakan tusuk konde yang diikat dengan daun sirih, serta dililitkan dengan benang tiga warna, merah, putih dan hitam (Tri Datu). Tusukkan ke dadaku. Apabila aku sudah mati, maka dari badanku akan keluar asap. Apabila asap tersebut berbau busuk, maka tanamlah aku. Tetapi apabila mengeluarkan bau yang harum, maka buatkanlah aku tempat suci yang disebut kramat," ucap Raden Ayu Siti Khotijah.
Perintah Raden Ayu Siti Khotijah itu dilaksanakan oleh patih kerajaan. Putri cantik jelita itu akhirnya tewas di tangan sang patih menggunakan tusuk konde emas pemberian Cakraningrat IV.
Kematian Raden Ayu Siti Khotijah membuat seluruh prajurit pengawal, dan patih terkejut, karena dari badan sang putri muncul asap yang aromanya sangat harum. Para prajurit pengawal dan sang patih menangis tak henti, setelah mengetahui hal itu.
Penyesalan yang luar biasa juga rasakan Raja Pamecutan. Jenazah Raden Ayu Siti Khotijah akhirnya dimakamkan di tempat suci, dan sesuai dengan amanat yang diberikan, makam tersebut diberi nama Kramat, dengan dijaga oleh kepala urusan istana di Puri Pamecutan.
Bersebelahan dengan makam kuno itu, juga berdiri pura yang lingkungannya juga masih sangat asri. Di makam kuno yang begitu terawat dan asri tersebut tertulis dalam papan keterangan: "Keramat Agung Pamecitan. Makam Raden Ayu Pamecutan. Alias Hajah Raden Ayu Siti Khotijah".
Pohon besar berdiri kokoh menembus cungkup yang melindungi makam. Batang pohon menancap di antara pusaran kuno yang dilindungi cungkup. Makam itu sangat dikeramatkan, dan selalu ramai dikunjungi wisatawan, utamanya dari Jawa.
Banyak penjual buku di sekitar makam, di mana buku-buku tersebut menceritakan tentang sosok Raden Ayu Siti Khotijah yang dimakamkan di makam keramat tersebut. Dalam buku-buku yang diangkat dari cerita rakyat, disebutkan bahwa nama asli Raden Ayu Siti Khotijah adalah Gusti Ayu Made Rai.
Gusti Ayu Made Rai, atau juga dikenal oleh masyarakat setempat sebagai Raden Ayu Pemecutan, adalah seorang putri dari Raja Pemecutan. Namun belum diketahui pasti, Gusti Ayu Made Rai ini keturunan dari Raja Pemecutan yang mana.
Dilansir dari denpasarkota.go.id, kisah Raden Ayu Pemecutan, seperti cerita legenda putri-putri keraton di seluruh nusantara. Di mana, sebagai putri kerajaan, Raden Ayu Pamecutan dikenal memiliki kecantikan yang luar biasa, hingga memikat banyak pembesar kerajaan di Bali.
Dalam perjalanannya, dikisahkan putri cantik jelita tersebut mengalami musibah. Dia disebutkan mengalami sakit kuning yang sulit disembuhkan. Berbagai upaya telah dilakukan oleh Raja Pamecutan, namun tak kunjung membuat putrinya sembuh.
Dalam kekalutan tersebut, Raja Pamecutan akhirnya membuat sayembara. Yakni, barang siapa yang berhasil menyembuhkan puterinya, maka akan diberi hadiah. Bila yang menyembuhkan seorang perempuan, maka akan diangkat menjadi anak oleh Raja Pamecutan, dan jika yang menyembuhkan laki-laki, maka akan dinikahkan dengan Raden Ayu Pamecutan.
Sayembara dari Raja Pamecutan untuk menyembuhkan Raden Ayu Pamecutan, ternyata tersembar ke mana-mana, hingga terdengar oleh seorang ulama di Yogyakarta. Ulama tersebut memiliki adik seorang raja di Pulau Madura, yaitu Cakraningrat IV.
Carkraningrat IV, diminta oleh kakaknya untuk berangkat ke Bali, guna menyebuhkan sakit yang diderita Raden Ayu Pamecutan. Berkat pengobatan yang dilakukan oleh Cakraningrat IV, Raden Ayu Pamecutan akhirnya berhasil sembuh dari sakit kuning yang dideritanya.
Sesuai janji Raja Pamecutan, akhirnya Cakraningrat IV dinikahkan dengan Raden Ayu Pamecutan. Usai pernikahan, Raden Ayu Siti Khotijah akhirnya diboyong Cakraningrat IV ke Madura.
Karena Cakraningrat IV merupakan penganut Islam, akhirnya Raden Ayu Pamecutan menjadi mualaf. Raden Ayu Pamecutan diberi gelar Raden Ayu Siti Khotijah, yang diambil dari nama istri Nabi Muhammad, Siti Kadhijah.
Suatu ketika Raden Ayu Pamecutan yang telah bernama Raden Ayu Siti Khotijah pulang ke Bali. Kepulangannya ke rumah orang tuanya tersebut, dikawal oleh 40 orang prajurit terbaik dari Madura.
Tak hanya itu, Cakraningrat IV juga membekali istrinya yang cantik jelita itu, dengan guci, keris, dan sebuah pusaka tusuk konde emas yang diselipkan di rambut Raden Ayu Siti Khotijah.
Kepulangan Raden Ayu Siti Khotijah, disambut dengan penuh kegembiraan oleh Raja Pamecutan. Raja Pamecutan dan kerabatnya, belum menyadari bahwa putri cantik jelita itu telah memeluk Islam.
Saat berada di tanah kelahirannya, Raden Ayu Siti Khotijah tetap menjalankan salat sesuai ajaran Islam. Saat menjelang petang, Raden Ayu Siti Khotijah mengenakan mukenah, dan melakukan salat maghrip. Hal ini ternyata diketahui oleh salah seorang patih di dalam Puri.
Para patih dan pengawal kerajaan yang tidak menyadari bahwa Raden Ayu Siti Khotijah telah memeluk Islam, menganggap salat yang dijalankan Raden Ayu Siti Khotijah hal aneh, dan dianggap sebagai bentuk penganut aliran ilmu hitam.
Akibat pengawal dan patih yang tidak memahami salat yang dilakukan Raden Ayu Siti Khotijah tersebut, akhirnya kejadian yang mereka anggap aneh itu dilaporkan kepada Raja Pamecutan. Hal ini membuat Raja Pamecutan murka.
Raja Pamecutan yang murka, langsung memerintahkan patihnya membunuh Raden Ayu Siti Khotijah. Putri raja yang cantik jelita itu dibawa ke sebuah pemakaman yang sangat luas. Raden Ayu Siti Khotijah ternyata sudah mengetahui dirinya akan dibunuh.
"Aku sudah punya firasat sebelumnya mengenai hal ini. Karena ini adalah perintah raja, maka laksanakanlah. Dan perlu kau ketahui bahwa aku ketika itu sedang salat atau sembahyang menurut kepercayaan Islam, tidak ada maksud jahat apalagi ngeleak," demikian kata Raden Ayu Siti Khotijah, kepada patih yang akan membunuhnya, dilansir dari denpasarkota.go.id.
Raden Ayu Siti Khotijah juga berpesan kepada patih yang hendak membunhnya, agar tidak membunuhnya dengan senjata tajam, karena senjata tajam tidak akan mempan membunuhnya.
"Bunuhlah aku dengan menggunakan tusuk konde yang diikat dengan daun sirih, serta dililitkan dengan benang tiga warna, merah, putih dan hitam (Tri Datu). Tusukkan ke dadaku. Apabila aku sudah mati, maka dari badanku akan keluar asap. Apabila asap tersebut berbau busuk, maka tanamlah aku. Tetapi apabila mengeluarkan bau yang harum, maka buatkanlah aku tempat suci yang disebut kramat," ucap Raden Ayu Siti Khotijah.
Perintah Raden Ayu Siti Khotijah itu dilaksanakan oleh patih kerajaan. Putri cantik jelita itu akhirnya tewas di tangan sang patih menggunakan tusuk konde emas pemberian Cakraningrat IV.
Kematian Raden Ayu Siti Khotijah membuat seluruh prajurit pengawal, dan patih terkejut, karena dari badan sang putri muncul asap yang aromanya sangat harum. Para prajurit pengawal dan sang patih menangis tak henti, setelah mengetahui hal itu.
Penyesalan yang luar biasa juga rasakan Raja Pamecutan. Jenazah Raden Ayu Siti Khotijah akhirnya dimakamkan di tempat suci, dan sesuai dengan amanat yang diberikan, makam tersebut diberi nama Kramat, dengan dijaga oleh kepala urusan istana di Puri Pamecutan.
(eyt)