Keunikan Aturan Wajib Pajak Era Kerajaan Majapahit
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kerajaan Majapahit ternyata mengenal dan menerapkan konsep pajak sebelum kedatangan bangsa Eropa ke nusantara. Hal itu membuat kerajaan yang bermarkas di Jawa Timur menjadi cermin atas kemajuan sebuah negara terutama dari segi perekonomian.
Pajak pada umumnya memang diberlakukan untuk pembangunan daerah. Proses timbal balik antara pemerintah dan masyarakat ini akan melahirkan hak dan kewajiban yang saling dipenuhi.
Sejarah Kerajaan Majapahit sendiri selalu diidentikkan sebagai kerajaan maju yang penuh dengan sistem pemerintahan dan ekonomi mumpuni. Adanya kekuatan ekonomi ini rupanya berasal dari aturan pajak yang diberlakukan.
Melansir dari jurnal bertajuk "Analis Sejarah Perpajakan Majapahit dalam Meningkatkan Ekonomi di Era Otonomi", kemajuan pembangunan Kerajaan Majapahit tidak terlepas dari pajak yang memberikan solusi terhadap perekonomian masyarakat, melalui membuat aturan tentang pajak.
Kerajaan Majapahit sudah mengenal bentuk pajak tanah dan pajak tidak langsung terhadap barang dagangan. Pejabat yang memungut pajak biasanya tidak digaji oleh kerajaan.
Oleh karenanya mereka kerap melebihkan penetapan pajak demi meraih keuntungan. Pajak yang kala itu bisa disebut Upeti ini dipersembahkan untuk Raja sebagai bentuk penghormatan.
Upeti tersebut biasanya berupa hasil bumi dan pemajakan barang perdagangan. Sebagai imbalannya maka rakyat akan mendapat pelayanan keamanan dan jaminan ketertiban.
Selain mendapat hasil pajak dari rakyatnya sendiri, Majapahit juga menerapkan pajak bagi setiap warga asing yang berkunjung untuk melakukan proses perdagangan. Para pelancong yang ditarik pajak ini adalah mereka yang bermalam di wilayah Jawa.
Dalam perundang-undangan Majapahit terdapat beberapa jenis pajak yang diberlakukan, di antaranya, pajak tanah, pajak usaha, pajak profesi, pajak profesi, pajak orang asing, dan pajak eksploitasi sumber daya alam.
Esensi dari kebijakan otonomi pajak zaman Kerajaan Majapahit terletak pada kemandirian daerah untuk membuat regulasi dan perencanaan berkaitan dengan pajak yang telah diotonomikan.
Untuk praktiknya, pusat akan memberikan kewenangan pada daerah untuk meraup objek pajak yang semakin luas. Dengan pemberian kewenangan ini juga memicu partisipasi rakyat yang lebih terbuka dan dapat menimbulkan demokrasi.
Pajak pada umumnya memang diberlakukan untuk pembangunan daerah. Proses timbal balik antara pemerintah dan masyarakat ini akan melahirkan hak dan kewajiban yang saling dipenuhi.
Sejarah Kerajaan Majapahit sendiri selalu diidentikkan sebagai kerajaan maju yang penuh dengan sistem pemerintahan dan ekonomi mumpuni. Adanya kekuatan ekonomi ini rupanya berasal dari aturan pajak yang diberlakukan.
Melansir dari jurnal bertajuk "Analis Sejarah Perpajakan Majapahit dalam Meningkatkan Ekonomi di Era Otonomi", kemajuan pembangunan Kerajaan Majapahit tidak terlepas dari pajak yang memberikan solusi terhadap perekonomian masyarakat, melalui membuat aturan tentang pajak.
Kerajaan Majapahit sudah mengenal bentuk pajak tanah dan pajak tidak langsung terhadap barang dagangan. Pejabat yang memungut pajak biasanya tidak digaji oleh kerajaan.
Oleh karenanya mereka kerap melebihkan penetapan pajak demi meraih keuntungan. Pajak yang kala itu bisa disebut Upeti ini dipersembahkan untuk Raja sebagai bentuk penghormatan.
Upeti tersebut biasanya berupa hasil bumi dan pemajakan barang perdagangan. Sebagai imbalannya maka rakyat akan mendapat pelayanan keamanan dan jaminan ketertiban.
Selain mendapat hasil pajak dari rakyatnya sendiri, Majapahit juga menerapkan pajak bagi setiap warga asing yang berkunjung untuk melakukan proses perdagangan. Para pelancong yang ditarik pajak ini adalah mereka yang bermalam di wilayah Jawa.
Dalam perundang-undangan Majapahit terdapat beberapa jenis pajak yang diberlakukan, di antaranya, pajak tanah, pajak usaha, pajak profesi, pajak profesi, pajak orang asing, dan pajak eksploitasi sumber daya alam.
Esensi dari kebijakan otonomi pajak zaman Kerajaan Majapahit terletak pada kemandirian daerah untuk membuat regulasi dan perencanaan berkaitan dengan pajak yang telah diotonomikan.
Untuk praktiknya, pusat akan memberikan kewenangan pada daerah untuk meraup objek pajak yang semakin luas. Dengan pemberian kewenangan ini juga memicu partisipasi rakyat yang lebih terbuka dan dapat menimbulkan demokrasi.
(bim)