Cerita Selir Raja Mataram yang Banyak Dipasok Perempuan Jawa Timur
loading...
A
A
A
BLITAR - Tradisi mengambil perempuan sebagai selir oleh raja Jawa kerap disalahartikan berbeda oleh kolonial Belanda. Selir yang berasal dari kata sineliran atau yang dipilih, ditafsirkan Belanda secara serampangan sebagai bijwijf atau concubine alias gundik atau perempuan simpanan.
Belanda kurang memahami lebih dalam dari berkembangnya tradisi selir. Kolonial Belanda sepintas melihat seolah melulu untuk memenuhi kebutuhan seksual raja. Padahal di dalam tradisi selir tersimpan misi politik.
Pada masa kerajaan Mataram Islam misalnya. Pengambilan selir yang kelak dijadikan permaisuri merupakan salah satu taktik untuk mempertahankan kekuasaan.
Selir yang diambil seringkali berasal dari putri para bangsawan bawahan. Selir menjadi tanda loyalitas bangsawan terhadap raja. Tak heran, tidak sedikit bangsawan yang menyerahkan puteri mereka sebagai upeti, tanda takluk.
Kendati demikian, banyak rakyat biasa yang sukarela menyerahkan putrinya sebagai selir. Jika si anak melahirkan keturunan raja, keluarga dari rakyat jelata itu berharap derajat sosialnya akan ikut terangkat.
Baca juga: Asal Usul dan Sejarah Lamongan, Wilayah yang Disahkan Kanjeng Sunan Giri
“Upaya mengambil selir atau kelak dijadikan permaisuri merupakan salah satu strategi kekuasaan raja-raja Mataram. Hal itu dikenal juga sebagai perkawinan politik. Suatu perpaduan antara motif politik dan seksual,” demikian dikutip dari buku Bukan Tabu Nusantara (2018).
Dalam kebiasaannya, selir-selir raja, yakni terutama Mataram diambil dari daerah yang dikenal memiliki banyak perempuan cantik. Pesona wanita dari daerah itu sudah menjadi buah bibir di lingkungan istana.
Sejak era kerajaan Mataram Islam, ada 11 kabupaten di Jawa yang dikenal sebagai wilayah pemasok perempuan menawan untuk kerajaan. Di antaranya adalah Blitar, Malang, Banyuwangi dan Lamongan di wilayah Jawa Timur.
Kemudian, Pati, Jepara, Grobogan dan Wonogiri di Jawa Tengah, serta Indramayu, Karawang dan Kuningan di Jawa Barat.
Belanda kurang memahami lebih dalam dari berkembangnya tradisi selir. Kolonial Belanda sepintas melihat seolah melulu untuk memenuhi kebutuhan seksual raja. Padahal di dalam tradisi selir tersimpan misi politik.
Pada masa kerajaan Mataram Islam misalnya. Pengambilan selir yang kelak dijadikan permaisuri merupakan salah satu taktik untuk mempertahankan kekuasaan.
Selir yang diambil seringkali berasal dari putri para bangsawan bawahan. Selir menjadi tanda loyalitas bangsawan terhadap raja. Tak heran, tidak sedikit bangsawan yang menyerahkan puteri mereka sebagai upeti, tanda takluk.
Kendati demikian, banyak rakyat biasa yang sukarela menyerahkan putrinya sebagai selir. Jika si anak melahirkan keturunan raja, keluarga dari rakyat jelata itu berharap derajat sosialnya akan ikut terangkat.
Baca juga: Asal Usul dan Sejarah Lamongan, Wilayah yang Disahkan Kanjeng Sunan Giri
“Upaya mengambil selir atau kelak dijadikan permaisuri merupakan salah satu strategi kekuasaan raja-raja Mataram. Hal itu dikenal juga sebagai perkawinan politik. Suatu perpaduan antara motif politik dan seksual,” demikian dikutip dari buku Bukan Tabu Nusantara (2018).
Dalam kebiasaannya, selir-selir raja, yakni terutama Mataram diambil dari daerah yang dikenal memiliki banyak perempuan cantik. Pesona wanita dari daerah itu sudah menjadi buah bibir di lingkungan istana.
Sejak era kerajaan Mataram Islam, ada 11 kabupaten di Jawa yang dikenal sebagai wilayah pemasok perempuan menawan untuk kerajaan. Di antaranya adalah Blitar, Malang, Banyuwangi dan Lamongan di wilayah Jawa Timur.
Kemudian, Pati, Jepara, Grobogan dan Wonogiri di Jawa Tengah, serta Indramayu, Karawang dan Kuningan di Jawa Barat.