Kesaktian Sunan Geseng, Mampu Selamat dari Kobaran Api hingga Munculkan Makanan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kisah kesaktian Sunan Geseng diceritakan turun temurun. Kesaktiannya bukan soal raga yang tidak dapat ditembus tombak musuh. Kesaktian itu soal tubuh sang Sunan yang tidak terbakar saat api ilalang yang berkobar mengepungnya. Dikisahkan, Sunan Geseng bersama tongkatnya tidak terbakar api. Padahal si jago merah melalap semua pohon yang ada di sekitarnya.
Cerita kesaktian Sunan Geseng bermula pada perjumpaannya dengan Sunan Kalijaga. Sunan Geseng sering juga disebut Raden Mas Cakrajaya atau Cokrojoyo. Berdasarkan silsilah Jawa, Raden Mas Cokrojoyo adalah keturunan Prabu Brawijaya dengan Dewi Rengganis.
Pasangan ini melahirkan Raden Rara Rengganis II. Kemudian Ki Ageng Pakotesan menikah dengan Raden Rara Rengganis II melahirkan Pangeran Semono atau sering disebut Pangeran Muryo. Dari hasil pernikahan Pangeran Semono ini lahir Raden Mas Cokrojoyo.
Berdasarkan Babad Tanah Jawi, pertemuan Cokrojoyo dengan Sunan Kalijaga terjadi saat Kanjeng Sunan melakukan perjalanan syiar ke daerah Bagelan (kini masuk Purworejo) untuk menyebarkan agama Islam di daerah tersebut.
Setiba di daerah Bagelan, Sunan Kalijaga singgah di rumah Cokrojoyo. Kesehariannya, Cokrojoyo bekerja sebagai penyadap aren untuk dijadikan gula. Cokrojoyo, konon memiliki kebiasaan nembang (bernyanyi) saat membuat gula aren. Mendengar suara nyanyian Cokrojoyo, Sunan Kalijaga sangat takjub. Sunan Kalijaga lalu memanggilnya.
Dia ditanya oleh Kalijaga mengenai hasil penjualan dari gula aren tersebut. Cokrojoyo pun menjawab bahwa hasil gulanya bisa digunakan untuk fakir miskin. Mendengar jawaban tersebut Sunan Kalijaga kemudian memerintahkan Cokrojoyo untuk mengubah syair tembangnya dengan bacaan-bacaan dzikir dan pujian kepada Allah serta memintanya untuk memperlihatkan hasil gulanya kepada dia nanti.
Setelah memerintahkan hal tersebut kepada Cokrojoyo, Sunan Kalijaga melanjutkan perjalanan ke tempat lain. Singkat cerita Cokrojoyo kembali melakukan kegiatan membuat gula aren dengan bernyanyi menggunakan syair barunya yang didapat dari Kanjeng Sunan.
Cokrojoyo sangat terkejut melihat gula hasil olahannya ternyata menjadi emas batangan. Sesaat setelah menyadari mukjizat tersebut Cokrojoyo memutuskan untuk mencari Sunan Kalijaga hendak menyampaikan terimakasih sekaligus memohon untuk dapat diterima sebagai murid Sunan Kalijaga.
Setelah menemukan keberadaan Kanjeng Sunan, Cokrojoyo mengutarakan maksud dan tujuannya. Mendengar apa yang disampaikan oleh Cokrojoyo kepada dia, Sunan Kalijaga memberikan syarat pada Cokrojoyo untuk tinggal di hutan hingga Kalijaga kembali ke tempat tersebut.
Dengan menancapkan tongkatnya, Sunan Kalijaga berpesan kepada Cokrojoyo agar menunggui tongkat tersebut sambil berdzikir kepada Allah SWT hingga mereka bertemu kembali. Bulan demi bulan telah lewat, sehingga tempat di mana Cokrojoyob berdzikir sambil menunggu tongkat Sunan Kalijaga telah ditumbuhi ilalang.
Seiring dengan waktu kemudian Sunan Kalijaga yang telah lama berkelana, teringat kepada calon muridnya yang telah lama dia tinggalkan. Maka dia pun kembali ke hutan tempat dia dulu memerintahkan Cokrojoyo menunggui tongkatnya. Tapi Sunan tak menemukannya karena keadaan telah banyak berubah.
Dia mencari kesana-kemari, dibantu beberapa muridnya yang lain. Karena tak kunjung menemukan yang dicari, Sunan pun memerintahkan membakar ilalang yang lebat di hutan itu untuk memudahkan pencarian. Maka dibakarlah ilalang yang lebat itu oleh murid-murid Sunan Kalijaga.
Api membubung tinggi, dan ilalang pun musnah. Setelah api reda, dan lembah yang semula penuh dengan ilalang itu terang benderang dan tampaklah Cokrojoyo. Sekalipun api membakar ilalang di sekelilingnya.
Tapi, ajaib tubuh Cokrojoyo dan tongkat sang Sunan tak terbakar sedikitpun, hanya beberapa bagian bajunya yang terbakar. Betapa terharunya Sunan Kalijaga menyaksikan kesetiaan dan kekuatan hati Cokrojoyo. Konon sejak saat itu Cokrojoyo diberi gelar Sunan Geseng oleh Sunan Kalijaga.
Setelah itu Sunan Geseng ditugasi berdakwah dan menjadi imam di daerah Lowanu, Purworejo, Jawa Tengah. Beberapa waktu tinggal di Lowanu, kemudian dia menetap di Jolosytro, Bantul, Yogyakarta sampai akhir hayatnya.
Sampai kini makam Sunan Geseng masih sering diziarahi banyak orang. Kisah mengenai karomah Sunan Geseng juga terkenal di daerah Jatinom, Klaten. Mereka mengenal Sunan Geseng dengan sebutan Ki Ageng Gribik. Julukan itu berangkat dari pilihan Sunan Geseng untuk tinggal di rumah beratap gribik –anyaman daun nyiur.
Menurut legenda setempat, ketika Ki Ageng Gribik pulang dari menunaikan ibadah haji, dia melihat penduduk Jatinom kelaparan. Dia membawa sepotong kue apem, dibagikan kepada ratusan orang yang kelaparan. Semuanya kebagian. Ki Ageng Gribik meminta warga yang kelaparan makan secuil kue apem seraya mengucapkan zikir: Ya-Qowiyyu (Allah Mahakuat).
Mereka pun kenyang dan sehat. Sampai kini, masyarakat Jatinom menghidupkan legenda Ki Ageng Gribik itu dengan menyelenggarakan upacara ”Ya-Qowiyyu” pada setiap bulan Syafar. Setelah tersohor dengan nama Sunan Geseng, Sunan Kalijaga mengikut sertakan dalam majelis wali di Demak.
Majelis Walipun mengangkat Sunan Geseng sebagai bendahara Kerajaan Demak Bintoro. Sunan Gesengpun diperintah untuk mempersiapkan makanan dan minuman untuk jamuan para tamu pelantikan Raden Fatah sebagai Sultan Demak.
Tinggal satu hari lagi hari pelantikan tiba, Sunan Kalijaga melihat ke dapur tempat persiapan jamuan. Alangkah terkejutnya, Sunan Kalijaga melihat tidak ada persiapan apa-apa. Para juru masak segera ditanya Sunan Kalijaga, dan mereka mengatakan belum menerima segala keperluan untuk jamuan dari Sunan Geseng.
Sesegera mungkin Sunan Kalijaga mencari Sunan Geseng untuk diminta pertanggung jawaban. Sunan Geseng yang sedang asyik berdzikir kepada Allah SWT di masjid kaget akan datangnya gurunya. Setelah Sunan Kalijaga menceritakan semuanya kepada Sunan Geseng, diapun terkejut dan memohon maaf karena dia lupa akan tugasnya sebab keasyikan berdzikir.
Segera mungkin Sunan Geseng pergi ke hutan, dia bingung apa yang harus dilakukan. Sementara acara tinggal besok pagi. Diapun berdoa agar segera diberikan petunjuk. Ilham pun datang, Sunan Geseng segera mencari bambu dan memotongnya menjadi bagian pendek.
Setelah mendapatkan apa yang dicarinya Sunan Geseng segera bertemu dengan Sunan Kalijaga untuk melaporkan bahwa pekerjaannya hampir beres. Setelah bertemu dengan Sunan Kalijaga, Sunan Kalijaga bingung dan bertanya,” Bagaimana bisa jamuan semua tersedia dengan hanya sebuah bambu pendek”.
Sunan Geseng menjawab,” Tunggu dulu kanjeng, lihat dulu apa yang terjadi”. Sesegera mungkin Sunan Geseng berdoa, dan tiba-tiba dari lubang bambu muncul suara dan keluar tempe yang cukup banyak. “hmmmm, hebat sekali. Apa bisa muncul tahu dari bambumu?”.
Sunan Kalijaga bergumam. Segera Sunan Geseng berdoa dan walhasil tahupun keluar dari bambunya. Sunan Kalijaga berkata,” Lho...ini kan acara pelantikan raja masak lauknya cuma tahu tempe, apa bisa dari lubang kecil itu keluar kambing atau sapi?”.
Sunan Gesengpun berdoa, kambing dan sapipun keluar dari bambu. Akhirnya Semua keperluan untuk jamuan tercukupi dan acara pelantikan Raden Patah sebagai sultan pun sukses digelar.
Cerita kesaktian Sunan Geseng bermula pada perjumpaannya dengan Sunan Kalijaga. Sunan Geseng sering juga disebut Raden Mas Cakrajaya atau Cokrojoyo. Berdasarkan silsilah Jawa, Raden Mas Cokrojoyo adalah keturunan Prabu Brawijaya dengan Dewi Rengganis.
Baca Juga
Pasangan ini melahirkan Raden Rara Rengganis II. Kemudian Ki Ageng Pakotesan menikah dengan Raden Rara Rengganis II melahirkan Pangeran Semono atau sering disebut Pangeran Muryo. Dari hasil pernikahan Pangeran Semono ini lahir Raden Mas Cokrojoyo.
Berdasarkan Babad Tanah Jawi, pertemuan Cokrojoyo dengan Sunan Kalijaga terjadi saat Kanjeng Sunan melakukan perjalanan syiar ke daerah Bagelan (kini masuk Purworejo) untuk menyebarkan agama Islam di daerah tersebut.
Setiba di daerah Bagelan, Sunan Kalijaga singgah di rumah Cokrojoyo. Kesehariannya, Cokrojoyo bekerja sebagai penyadap aren untuk dijadikan gula. Cokrojoyo, konon memiliki kebiasaan nembang (bernyanyi) saat membuat gula aren. Mendengar suara nyanyian Cokrojoyo, Sunan Kalijaga sangat takjub. Sunan Kalijaga lalu memanggilnya.
Dia ditanya oleh Kalijaga mengenai hasil penjualan dari gula aren tersebut. Cokrojoyo pun menjawab bahwa hasil gulanya bisa digunakan untuk fakir miskin. Mendengar jawaban tersebut Sunan Kalijaga kemudian memerintahkan Cokrojoyo untuk mengubah syair tembangnya dengan bacaan-bacaan dzikir dan pujian kepada Allah serta memintanya untuk memperlihatkan hasil gulanya kepada dia nanti.
Setelah memerintahkan hal tersebut kepada Cokrojoyo, Sunan Kalijaga melanjutkan perjalanan ke tempat lain. Singkat cerita Cokrojoyo kembali melakukan kegiatan membuat gula aren dengan bernyanyi menggunakan syair barunya yang didapat dari Kanjeng Sunan.
Cokrojoyo sangat terkejut melihat gula hasil olahannya ternyata menjadi emas batangan. Sesaat setelah menyadari mukjizat tersebut Cokrojoyo memutuskan untuk mencari Sunan Kalijaga hendak menyampaikan terimakasih sekaligus memohon untuk dapat diterima sebagai murid Sunan Kalijaga.
Setelah menemukan keberadaan Kanjeng Sunan, Cokrojoyo mengutarakan maksud dan tujuannya. Mendengar apa yang disampaikan oleh Cokrojoyo kepada dia, Sunan Kalijaga memberikan syarat pada Cokrojoyo untuk tinggal di hutan hingga Kalijaga kembali ke tempat tersebut.
Dengan menancapkan tongkatnya, Sunan Kalijaga berpesan kepada Cokrojoyo agar menunggui tongkat tersebut sambil berdzikir kepada Allah SWT hingga mereka bertemu kembali. Bulan demi bulan telah lewat, sehingga tempat di mana Cokrojoyob berdzikir sambil menunggu tongkat Sunan Kalijaga telah ditumbuhi ilalang.
Seiring dengan waktu kemudian Sunan Kalijaga yang telah lama berkelana, teringat kepada calon muridnya yang telah lama dia tinggalkan. Maka dia pun kembali ke hutan tempat dia dulu memerintahkan Cokrojoyo menunggui tongkatnya. Tapi Sunan tak menemukannya karena keadaan telah banyak berubah.
Dia mencari kesana-kemari, dibantu beberapa muridnya yang lain. Karena tak kunjung menemukan yang dicari, Sunan pun memerintahkan membakar ilalang yang lebat di hutan itu untuk memudahkan pencarian. Maka dibakarlah ilalang yang lebat itu oleh murid-murid Sunan Kalijaga.
Api membubung tinggi, dan ilalang pun musnah. Setelah api reda, dan lembah yang semula penuh dengan ilalang itu terang benderang dan tampaklah Cokrojoyo. Sekalipun api membakar ilalang di sekelilingnya.
Tapi, ajaib tubuh Cokrojoyo dan tongkat sang Sunan tak terbakar sedikitpun, hanya beberapa bagian bajunya yang terbakar. Betapa terharunya Sunan Kalijaga menyaksikan kesetiaan dan kekuatan hati Cokrojoyo. Konon sejak saat itu Cokrojoyo diberi gelar Sunan Geseng oleh Sunan Kalijaga.
Setelah itu Sunan Geseng ditugasi berdakwah dan menjadi imam di daerah Lowanu, Purworejo, Jawa Tengah. Beberapa waktu tinggal di Lowanu, kemudian dia menetap di Jolosytro, Bantul, Yogyakarta sampai akhir hayatnya.
Sampai kini makam Sunan Geseng masih sering diziarahi banyak orang. Kisah mengenai karomah Sunan Geseng juga terkenal di daerah Jatinom, Klaten. Mereka mengenal Sunan Geseng dengan sebutan Ki Ageng Gribik. Julukan itu berangkat dari pilihan Sunan Geseng untuk tinggal di rumah beratap gribik –anyaman daun nyiur.
Menurut legenda setempat, ketika Ki Ageng Gribik pulang dari menunaikan ibadah haji, dia melihat penduduk Jatinom kelaparan. Dia membawa sepotong kue apem, dibagikan kepada ratusan orang yang kelaparan. Semuanya kebagian. Ki Ageng Gribik meminta warga yang kelaparan makan secuil kue apem seraya mengucapkan zikir: Ya-Qowiyyu (Allah Mahakuat).
Mereka pun kenyang dan sehat. Sampai kini, masyarakat Jatinom menghidupkan legenda Ki Ageng Gribik itu dengan menyelenggarakan upacara ”Ya-Qowiyyu” pada setiap bulan Syafar. Setelah tersohor dengan nama Sunan Geseng, Sunan Kalijaga mengikut sertakan dalam majelis wali di Demak.
Majelis Walipun mengangkat Sunan Geseng sebagai bendahara Kerajaan Demak Bintoro. Sunan Gesengpun diperintah untuk mempersiapkan makanan dan minuman untuk jamuan para tamu pelantikan Raden Fatah sebagai Sultan Demak.
Tinggal satu hari lagi hari pelantikan tiba, Sunan Kalijaga melihat ke dapur tempat persiapan jamuan. Alangkah terkejutnya, Sunan Kalijaga melihat tidak ada persiapan apa-apa. Para juru masak segera ditanya Sunan Kalijaga, dan mereka mengatakan belum menerima segala keperluan untuk jamuan dari Sunan Geseng.
Sesegera mungkin Sunan Kalijaga mencari Sunan Geseng untuk diminta pertanggung jawaban. Sunan Geseng yang sedang asyik berdzikir kepada Allah SWT di masjid kaget akan datangnya gurunya. Setelah Sunan Kalijaga menceritakan semuanya kepada Sunan Geseng, diapun terkejut dan memohon maaf karena dia lupa akan tugasnya sebab keasyikan berdzikir.
Segera mungkin Sunan Geseng pergi ke hutan, dia bingung apa yang harus dilakukan. Sementara acara tinggal besok pagi. Diapun berdoa agar segera diberikan petunjuk. Ilham pun datang, Sunan Geseng segera mencari bambu dan memotongnya menjadi bagian pendek.
Setelah mendapatkan apa yang dicarinya Sunan Geseng segera bertemu dengan Sunan Kalijaga untuk melaporkan bahwa pekerjaannya hampir beres. Setelah bertemu dengan Sunan Kalijaga, Sunan Kalijaga bingung dan bertanya,” Bagaimana bisa jamuan semua tersedia dengan hanya sebuah bambu pendek”.
Sunan Geseng menjawab,” Tunggu dulu kanjeng, lihat dulu apa yang terjadi”. Sesegera mungkin Sunan Geseng berdoa, dan tiba-tiba dari lubang bambu muncul suara dan keluar tempe yang cukup banyak. “hmmmm, hebat sekali. Apa bisa muncul tahu dari bambumu?”.
Sunan Kalijaga bergumam. Segera Sunan Geseng berdoa dan walhasil tahupun keluar dari bambunya. Sunan Kalijaga berkata,” Lho...ini kan acara pelantikan raja masak lauknya cuma tahu tempe, apa bisa dari lubang kecil itu keluar kambing atau sapi?”.
Sunan Gesengpun berdoa, kambing dan sapipun keluar dari bambu. Akhirnya Semua keperluan untuk jamuan tercukupi dan acara pelantikan Raden Patah sebagai sultan pun sukses digelar.
(don)