Cerita Kolonial Belanda Ajarkan Gaya Hidup Tenggak Miras dan Makan Kentang
loading...
A
A
A
Maraknya hobi menenggak minuman keras (miras) di masyarakat Hindia Belanda (Indonesia), yakni utamanya Batavia (Jakarta) banyak dipengaruhi oleh gaya hidup orang-orang kolonial Belanda.
Kebiasaan menenggak miras juga datang dari kelas sosial menengah. Dalam setiap pertemuan, kehadiran miras dengan kandungan alkohol tinggi nyaris tidak pernah tertinggal. Alkohol membuat obrolan jadi lebih rileks.
Begitu juga pada acara perjamuan atau pesta yang digelar oleh kalangan mereka. Miras selalu ada. Gaya hidup yang selalu menyertakan miras itu sekaligus untuk memperlihatkan status sosial.
“Pada masa kolonial minuman keras merupakan simbol status masyarakat,” demikian dikutip dari buku Minuman Keras di Batavia Akhir Abad XIX (2016).
Baca juga: Pria Tulungagung Koleksi Tali Pocong Orang Meninggal Selasa Kliwon, Patahkan Mitos Kesaktian
Pada masa kolonial Belanda, miras berbagai jenis, merek dan kadar alkohol, beredar luas di Batavia. Masuknya minuman impor secara tidak langsung meminggirkan arak hasil penyulingan fermentasi air tebu pribumi.
Dalam catatan J Kats berjudul Bahaja Minoeman Keras serta Daja Oepaja Mendjaoehinja Teroetama Bagi Hindia Belanda (1920) ada sejumlah miras impor yang beredar luas di Batavia.
Di antaranya bir Inggris dengan kadar alkohol 5-7 %, anggur asam dengan alkohol 7-11 %, anggur Bordeaux 12 %, anggur Italia 14 %, anggur Port 17 %, liqeur (sopi manis) 25-30%, Jenewer 30-40%, Brandewijn 30-40 % , Cognag 40-45%, Rum 45-75% dan Whiskey 60%.
“Sedangkan arak sebagai minuman keras lokal memiliki kandungan alkohol 60%,” tulisnya.
Kebanyakan minuman keras impor, yakni terutama yang datang dari Paris merupakan minuman mahal. Anggur, whiskey atau cognag banyak muncul di pesta-pesta mewah dan bergengsi kaum elit di Batavia, utamanya orang-orang Eropa.
Kebiasaan menenggak miras juga datang dari kelas sosial menengah. Dalam setiap pertemuan, kehadiran miras dengan kandungan alkohol tinggi nyaris tidak pernah tertinggal. Alkohol membuat obrolan jadi lebih rileks.
Begitu juga pada acara perjamuan atau pesta yang digelar oleh kalangan mereka. Miras selalu ada. Gaya hidup yang selalu menyertakan miras itu sekaligus untuk memperlihatkan status sosial.
“Pada masa kolonial minuman keras merupakan simbol status masyarakat,” demikian dikutip dari buku Minuman Keras di Batavia Akhir Abad XIX (2016).
Baca juga: Pria Tulungagung Koleksi Tali Pocong Orang Meninggal Selasa Kliwon, Patahkan Mitos Kesaktian
Pada masa kolonial Belanda, miras berbagai jenis, merek dan kadar alkohol, beredar luas di Batavia. Masuknya minuman impor secara tidak langsung meminggirkan arak hasil penyulingan fermentasi air tebu pribumi.
Dalam catatan J Kats berjudul Bahaja Minoeman Keras serta Daja Oepaja Mendjaoehinja Teroetama Bagi Hindia Belanda (1920) ada sejumlah miras impor yang beredar luas di Batavia.
Di antaranya bir Inggris dengan kadar alkohol 5-7 %, anggur asam dengan alkohol 7-11 %, anggur Bordeaux 12 %, anggur Italia 14 %, anggur Port 17 %, liqeur (sopi manis) 25-30%, Jenewer 30-40%, Brandewijn 30-40 % , Cognag 40-45%, Rum 45-75% dan Whiskey 60%.
“Sedangkan arak sebagai minuman keras lokal memiliki kandungan alkohol 60%,” tulisnya.
Kebanyakan minuman keras impor, yakni terutama yang datang dari Paris merupakan minuman mahal. Anggur, whiskey atau cognag banyak muncul di pesta-pesta mewah dan bergengsi kaum elit di Batavia, utamanya orang-orang Eropa.