Penyiksaan Romusha Bikin Darah Shodanco Soeprijadi Mendidih dan Meletuskan Pemberontakan saat Valentine
loading...
A
A
A
Pemuda dan pemudi dengan penuh semangat, berdiri berjajar di pesisir Pantai Serang. Para pemuda dan pemudi dari Desa Serang, Kecamatan Panggungrejo, Kabupaten Blitar tersebut, dengan khusyuk memanjatkan doa, lalu dengan langkah tegap mulai melangkahkan kaki menyusuri jalan desa.
Mereka berjalan penuh semangat, menuju Kota Blitar, yang jaraknya sekitar 42 km. Jarak yang begitu membentang tak membuat nyali mereka surut. Dari pagi saat matahari baru saja terbit, mereka berjalan kaki hingga metahari itu terbenam di barat.
Hujan deras membasahi tubuh mereka, namun tak juga membuat langkah mereka surut dan semangatnya luntur. Di antara para pemuda dan pemudi Desa Serang tersebut, nampak Kepala Desa (Kades) Serang, Dwi Handoko berjalan di barisan depan.
Berbagai foto dan video perjalanan para pemuda dan pemudi dari Pantai Serang, hingga ke Kota Blitar tersebut, banyak diunggah oleh Dwi Handoko di akun media sosialnya. Mereka berjalan kaki menyusuri perbukitan terjal, lembah, hingga sampai di tengah kota, Senin (13/2/2023).
Jalan kaki puluhan kilometer itu, sengaja digelar oleh para pemuda dan pemudi di Blitar, bukan untuk menyambut Hari Valentine atau hari kasih sayang pada Selasa (14/2/2023). Namun, sebagai sebuah penanda semangat memperingati sosok Shodanco Soeprijadi.
Semangat itu masih menyala, meskipun peristiwanya telah berlalu 78 tahun silam, dan sang shodanco hingga kini lenyap bak ditelan bumi. Ya, tepat di tanggal 14 Februari 1945, saat semua masih terlelap menantikan perayaan hari kasih sayang, Shodanco Soeprijadi dengan penuh keberanian, dan semangat, memimpin anggotanya meledakkan pemberontakan terhadap Jepang.
Pemberontakan itu dilakukan oleh Shodanco Soeprijadi, bersama pasukannya yang tergabung dalam Pembela Tanah Air (PETA). Sebelum memasuki Kota Blitar, tempat markas tentara Jepang berada, Sudhanco Soeprijadi memimpin pasukannya berjalan kaki dari markas PETA di Pantai Serang.
Shodanco merupakan komandan peleton yang membawahi 26-55 personel. Dalam militer Jepang, Shodanco termasuk golongan perwira yang struktur kepangkatannya di bawah Chudanco atau komandan kompi yang memiliki 80-225 personel.
Bersama anak buahnya, Shodanco Soeprijadi oleh Jepang ditempatkan di pantai selatan Serang. Keberadaan markas PETA pimpinan Shodanco Soeprijadi di Pantai Serang, juga diyakini oleh warga Desa Serang. Sayangnya, sisa-sisa markas tersebut telah musnah seiring berkembangnya permukiman warga.
Tiga bulan setelah menaklukkan Belanda, yakni Juni 1942, Jepang melakukan penguatan pasukan sekaligus menjaga seluruh kawasan Indonesia. Terutama perairan yang berpotensi menjadi pintu masuk musuh.
Organisasi sukarelawan Jawa Boei Giyugun (Giyugun) atau lebih dikenal dengan PETA langsung didirikan. Rekrutmen besar-besaran seketika digelar. PETA yang diisi putra-putra Indonesia, di awal pendiriannya memiliki 33 batalyon dengan masing-masing 522 prajurit dan perwira.
Perwira PETA atau setingkat Shodanco sebagian besar berasal dari golongan priyayi, yakni baik priyayi rendah maupun priyayi tinggi, termasuk bangsawan. Bahkan dalam seleksi sebanyak 2.088 calon perwira (1942-1943) PETA di Bogor, Jawa Barat, terdapat 11 pangeran muda Jawa, yang 10 di antaranya datang dari Solo dan satu orang dari Yogyakarta.
Selain alasan latar belakang pendidikan yang lebih maju, sehat jasmani dan rohani, kedudukan sosial tinggi di masyarakat menjadi pertimbangan pemilihan perwira PETA. Kedudukan sosial tinggi dianggap akan menguntungkan Jepang.
Para komandan daidancho atau batalyon, komandan chudanco dan komandan shodanco seluruhnya orang Indonesia. Begitu juga dengan prajurit PETA, sebagian besar orang Jawa dan Sunda.
Kendati demikian, di setiap pasukan tetap ditempatkan sebanyak dua atau tiga orang perwira dan empat sampai lima orang bintara Jepang. Mereka ditugaskan di bidang adminsitrasi, penghubung dan pelatihan.
Dalam tempo dua tahun, PETA berkembang menjadi 69 batalyon, dengan sebanyak 37.500 orang personel yang terpusat di Pulau Jawa, dan Bali, serta 20.000 personel lain di Pulau Sumatera.
Di sisi lain, dari 55.000 tentara Jepang yang ada di Indonesia, hanya disisakan 15.000 personel. Selebihnya ditarik pulang ke Tokyo. Di Pantai Serang, selama tiga tahun (1942-1945) Soeprijadi diperintahkan menjaga pertahanan laut selatan.
Hal itu sesuai dokumen tentara ke-16 Angkatan Darat Jepang, bahwa pasukan PETA memang tidak ditempatkan di garis depan. PETA hanya ditugasi mengawasi kawasan pantai dari udara. Kemudian juga menjaga objek-objek vital, dan melakukan kerjasama untuk membangun benteng pertahanan.
Ketika terjadi perang, pasukan PETA tidak ikut ambil bagian di garda depan. Mereka tetap ditempatkan di garis belakang dan hanya melakukan tugas penjagaan. Versi lain menyebut PETA dipersiapkan Jepang untuk menghadapi perang gerilya dalam jangka panjang.
Perang jangka panjang ini diprediksi Jepang, bisa terjadi ketika sekutu kembali mendarat di wilayah Indonesia. Namun perhitungan itu meleset. Sekutu tidak masuk Indonesia. Justru langsung menyerbu Jepang dengan memotong jalan dari Papua, dan langsung ke Filipina. Dan terjadilah insiden bom atom Hiroshima dan Nagasaki pada 6 dan 9 Agustus 1945 yang seketika Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu.
Di saat berbarengan, Jepang juga membangun tanggul pertahanan di Pantai Serang dan Pantai Tambakrejo, dengan mengerahkan tenaga romusha. Romusha merupakan sistem kerja paksa di zaman penjajahan Jepang yang kekejamannya setara kerja rodi Belanda.
Para pemuda dari berbagai daerah dikumpulkan, diangkut untuk diperas tenaganya tanpa bayaran. Tidak jarang, mereka yang sakit dan tua mati karena siksaan. Melihat ragam penyiksaan itu, Soeprijadi timbul ide pemberontakan yang kemudian dia letuskan pada 14 Februari 1945.
Di kawasan Pantai Serang juga terdapat pohon beringin tua. Tanaman tua yang dicungkupi itu. Yakni, bagian pinggirnya dilindungi pagar tembok dengan satu pintu masuk di sisi depan, diyakini sebagai petilasan Soeprijadi. Untuk menegaskan itu sebuah tulisan pada kayu dipasang di atasnya.
Dari informasi yang berkembang di masyarakat, diyakini Soeprijadi memang pernah singgah di lokasi pohon beringin itu berada. Namun sifatnya hanya mampir, tidak sampai menginap berhari-hari. Soeprijadi juga disebut gemar bermiditasi di atas karang yang berlokasi di Pantai Serang.
Jauh sebelum memimpin pemberontakan PETA, Shodanco Seoprijadi sudah lama tidak mempercayai Jepang. Sejak mengikuti pelatihan Beppan di Tangerang, dan berlanjut pelatihan calon perwira PETA di Bogor (1944), dia sudah memperlihatkan ketidakpercayaanya kepada Jepang.
Zulkifli Lubis, teman dekat sekaligus rekan seangkatan Supriyadi yang kelak dianugerahi gelar Bapak Intelijen Indonesia menangkap isyarat ketidaksukaan itu. "Ketika kami berada di Bogor, ia (Seoprijadi) sering mengatakan: 'kita tidak dapat mempercayai Jepang'," kata Zulkifli Lubis seperti yang ditulis David Jenkins dalam buku "Soeharto di Bawah Militer Jepang".
Seoprijadi satu angkatan dengan Zulkifli Lubis, Daan Mogot, Kemal Idris, dan Sudirman yang kelak menjadi Panglima Besar TNI. Soeharto yang bekas tentara KNIL juga ikut dalam pelatihan angkatan kedua itu. Pada pelatihan angkatan pertama yang berlangsung dua bulan (1943) ia sudah pernah ikut. Namun Soeharto yang kelak menjadi Presiden ke-2 Indonesia, kembali ikut.
Selama empat bulan di Bogor, Jepang menggembleng para calon perwira PETA dengan keras. Jepang menonjolkan tiga karakter utama, yakni ketangguhan, semangat juang, dan ketrampilan taktik dalam kesatuan kecil infanteri.
Perwira Jepang Letnan Satu Tsuchiya Kiso di akhir latihan membuat peringkat kemampuan peserta didiknya. Seoprijadi bukan lulusan terbaik. Begitu juga dengan Soeharto maupun Sudirman. Lulusan terbaik disandang Zulfikli Lubis yang sejak pelatihan di Tangerang, sudah memperlihatkan kecakapannya.
"Dengan mudah Lubis (Zulkifli Lubis) meraih nomor satu, dan nomor dua adalah Daan Mogot. Mereka berada di peringkat atas berkat kemampuanya. Mereka ini hampir seperti perwira Jepang," demikian yang tertulis dalam "Soeharto di Bawah Militer Jepang".
Teman-teman Seoprijadi selama menjalani pelatihan calon perwira PETA, melihat sosok Seoprijadi sebagai pemuda penyendiri sekaligus eksentrik. Sifat serta tabiat tersebut diketahui terlihat sejak Seoprijadi masih sekolah.
Seoprijadi kerap melakukan sesuatu yang kontroversial. Ia biasa berenang sendiri di laut selatan yang terkenal berbahaya. Saat berenang Seoprijadi sengaja mengenakan celana pendek warna hijau.
"Padahal menurut legenda setempat, siapapun yang mengenakan pakaian berwarna hijau akan membuat marah Nyi Roro Kidul dan akan tenggelam," tulis David Jenkins. Seoprijadi merupakan putra seorang pejabat pemerintah. Sesudah perang, ayah Seoprijadi diangkat menjadi Bupati Blitar.
Seorang investigator militer Jepang, mencatat bahwa Seoprijadi seorang yang aneh, mudah dipengaruhi tetapi punya jiwa kepemimpinan yang kuat. Seoprijadi suka menyamakan dirinya dengan Pangeran Diponegoro. Seoprijadi juga suka menyamakan diri dengan penasihat mistik Diponegoro.
Pada tahun 1945, ketidakpercayaan Shodanco Seoprijadi terhadap Jepang, semakin menguat. Pagi hari 14 Feberuari 1945. Shodanco Seoprijadi yang masih berusia 21 tahun, memimpin 360 prajurit untuk keluar barak.
Bersama pasukan serta dukungan hampir seluruh perwira di batalyon PETA, Seoprijadi menyerang Hotel Sakura Blitar yang menjadi markas perwira Jepang. Baku tembak, dan lemparan mortir tidak terelakkan.
Mereka membunuh empat orang Jepang, dan tujuh orang etnis Tionghoa yang dianggap pro Jepang. Seluruh anggota batalyon PETA di Blitar, ikut ambil bagian dalam pemberontakan bersenjata dan untuk pertama kalinya suatu kesatuan Indonesia mengarahkan senjata kepada pembinanya.
Sayang, pemberontakan yang sudah disiapkan berbulan-bulan itu, masih penuh kekurangan. Bantuan kekuatan dari batalyon PETA lain tidak sesuai harapan. Pemberontakan Seoprijadi di Blitar, dalam sekejap berhasil dipadamkan.
Karena situasi yang tidak menguntungkan, Seoprijadi bersama pasukannya menyingkir ke luar kota. Tiga rombongan menuju ke arah utara dan satu rombongan ke selatan. Pada 17 Februari 1945 atau tiga hari paska pemberontakan, unit-unit batalyon yang terlibat pemberontakan kembali ke Blitar.
Salah satunya adalah Muradi. Mereka bersedia kembali ke Blitar, setelah Jepang memberi jaminan tidak akan membawa ke pengadilan militer. Namun janji tinggal janji. Khawatir pemberontakan tersebar luas, Jepang melucuti batalyon dan menahan kurang lebih 55 orang perwira beserta anak buahnya.
Jepang mengirim mereka ke Jakarta, untuk disidangkan di Pengadilan Militer. Semua dinyatakan terbukti bersalah. Enam orang dijatuhi hukuman mati, dipenggal kepalanya di Ancol, Jakarta. Sejak itu nasib Shodanco Seoprijadi tidak diketahui rimbanya.
Dari Pantai Serang, Soeprijadi benar-benar mewujudkan gagasan pemberontakannya. Meski kalah dan banyak tentara PETA yang dihukum gantung, termasuk Soeprijadi sendiri tidak jelas rimbanya, perlawanan itu dicatat dalam sejarah kemerdekaaan bangsa Indonesia.
Untuk mengenang peristiwa itu, sebuah monumen berupa patung setengah badan Soeprijadi didirikan di lapangan Desa Serang, sebelah utara kawasan pantai. Hal ini juga yang membuat warga Blitar, selalu mengenang perjuangan PETA di bawah pimpinan Shodanco Soeprijadi, dengan menggelar aksi napak tilas pemberontakan PETA dari Pantai Serang, setiap 14 Februari.
Lihat Juga: Bintang Porno Jepang yang Pasang Tarif Rp306 Juta untuk Seks Ditangkap dalam Operasi Hong Kong
Mereka berjalan penuh semangat, menuju Kota Blitar, yang jaraknya sekitar 42 km. Jarak yang begitu membentang tak membuat nyali mereka surut. Dari pagi saat matahari baru saja terbit, mereka berjalan kaki hingga metahari itu terbenam di barat.
Hujan deras membasahi tubuh mereka, namun tak juga membuat langkah mereka surut dan semangatnya luntur. Di antara para pemuda dan pemudi Desa Serang tersebut, nampak Kepala Desa (Kades) Serang, Dwi Handoko berjalan di barisan depan.
Baca Juga
Berbagai foto dan video perjalanan para pemuda dan pemudi dari Pantai Serang, hingga ke Kota Blitar tersebut, banyak diunggah oleh Dwi Handoko di akun media sosialnya. Mereka berjalan kaki menyusuri perbukitan terjal, lembah, hingga sampai di tengah kota, Senin (13/2/2023).
Jalan kaki puluhan kilometer itu, sengaja digelar oleh para pemuda dan pemudi di Blitar, bukan untuk menyambut Hari Valentine atau hari kasih sayang pada Selasa (14/2/2023). Namun, sebagai sebuah penanda semangat memperingati sosok Shodanco Soeprijadi.
Semangat itu masih menyala, meskipun peristiwanya telah berlalu 78 tahun silam, dan sang shodanco hingga kini lenyap bak ditelan bumi. Ya, tepat di tanggal 14 Februari 1945, saat semua masih terlelap menantikan perayaan hari kasih sayang, Shodanco Soeprijadi dengan penuh keberanian, dan semangat, memimpin anggotanya meledakkan pemberontakan terhadap Jepang.
Pemberontakan itu dilakukan oleh Shodanco Soeprijadi, bersama pasukannya yang tergabung dalam Pembela Tanah Air (PETA). Sebelum memasuki Kota Blitar, tempat markas tentara Jepang berada, Sudhanco Soeprijadi memimpin pasukannya berjalan kaki dari markas PETA di Pantai Serang.
Shodanco merupakan komandan peleton yang membawahi 26-55 personel. Dalam militer Jepang, Shodanco termasuk golongan perwira yang struktur kepangkatannya di bawah Chudanco atau komandan kompi yang memiliki 80-225 personel.
Bersama anak buahnya, Shodanco Soeprijadi oleh Jepang ditempatkan di pantai selatan Serang. Keberadaan markas PETA pimpinan Shodanco Soeprijadi di Pantai Serang, juga diyakini oleh warga Desa Serang. Sayangnya, sisa-sisa markas tersebut telah musnah seiring berkembangnya permukiman warga.
Tiga bulan setelah menaklukkan Belanda, yakni Juni 1942, Jepang melakukan penguatan pasukan sekaligus menjaga seluruh kawasan Indonesia. Terutama perairan yang berpotensi menjadi pintu masuk musuh.
Organisasi sukarelawan Jawa Boei Giyugun (Giyugun) atau lebih dikenal dengan PETA langsung didirikan. Rekrutmen besar-besaran seketika digelar. PETA yang diisi putra-putra Indonesia, di awal pendiriannya memiliki 33 batalyon dengan masing-masing 522 prajurit dan perwira.
Perwira PETA atau setingkat Shodanco sebagian besar berasal dari golongan priyayi, yakni baik priyayi rendah maupun priyayi tinggi, termasuk bangsawan. Bahkan dalam seleksi sebanyak 2.088 calon perwira (1942-1943) PETA di Bogor, Jawa Barat, terdapat 11 pangeran muda Jawa, yang 10 di antaranya datang dari Solo dan satu orang dari Yogyakarta.
Selain alasan latar belakang pendidikan yang lebih maju, sehat jasmani dan rohani, kedudukan sosial tinggi di masyarakat menjadi pertimbangan pemilihan perwira PETA. Kedudukan sosial tinggi dianggap akan menguntungkan Jepang.
Para komandan daidancho atau batalyon, komandan chudanco dan komandan shodanco seluruhnya orang Indonesia. Begitu juga dengan prajurit PETA, sebagian besar orang Jawa dan Sunda.
Kendati demikian, di setiap pasukan tetap ditempatkan sebanyak dua atau tiga orang perwira dan empat sampai lima orang bintara Jepang. Mereka ditugaskan di bidang adminsitrasi, penghubung dan pelatihan.
Dalam tempo dua tahun, PETA berkembang menjadi 69 batalyon, dengan sebanyak 37.500 orang personel yang terpusat di Pulau Jawa, dan Bali, serta 20.000 personel lain di Pulau Sumatera.
Di sisi lain, dari 55.000 tentara Jepang yang ada di Indonesia, hanya disisakan 15.000 personel. Selebihnya ditarik pulang ke Tokyo. Di Pantai Serang, selama tiga tahun (1942-1945) Soeprijadi diperintahkan menjaga pertahanan laut selatan.
Hal itu sesuai dokumen tentara ke-16 Angkatan Darat Jepang, bahwa pasukan PETA memang tidak ditempatkan di garis depan. PETA hanya ditugasi mengawasi kawasan pantai dari udara. Kemudian juga menjaga objek-objek vital, dan melakukan kerjasama untuk membangun benteng pertahanan.
Baca Juga
Ketika terjadi perang, pasukan PETA tidak ikut ambil bagian di garda depan. Mereka tetap ditempatkan di garis belakang dan hanya melakukan tugas penjagaan. Versi lain menyebut PETA dipersiapkan Jepang untuk menghadapi perang gerilya dalam jangka panjang.
Perang jangka panjang ini diprediksi Jepang, bisa terjadi ketika sekutu kembali mendarat di wilayah Indonesia. Namun perhitungan itu meleset. Sekutu tidak masuk Indonesia. Justru langsung menyerbu Jepang dengan memotong jalan dari Papua, dan langsung ke Filipina. Dan terjadilah insiden bom atom Hiroshima dan Nagasaki pada 6 dan 9 Agustus 1945 yang seketika Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu.
Di saat berbarengan, Jepang juga membangun tanggul pertahanan di Pantai Serang dan Pantai Tambakrejo, dengan mengerahkan tenaga romusha. Romusha merupakan sistem kerja paksa di zaman penjajahan Jepang yang kekejamannya setara kerja rodi Belanda.
Para pemuda dari berbagai daerah dikumpulkan, diangkut untuk diperas tenaganya tanpa bayaran. Tidak jarang, mereka yang sakit dan tua mati karena siksaan. Melihat ragam penyiksaan itu, Soeprijadi timbul ide pemberontakan yang kemudian dia letuskan pada 14 Februari 1945.
Di kawasan Pantai Serang juga terdapat pohon beringin tua. Tanaman tua yang dicungkupi itu. Yakni, bagian pinggirnya dilindungi pagar tembok dengan satu pintu masuk di sisi depan, diyakini sebagai petilasan Soeprijadi. Untuk menegaskan itu sebuah tulisan pada kayu dipasang di atasnya.
Baca Juga
Dari informasi yang berkembang di masyarakat, diyakini Soeprijadi memang pernah singgah di lokasi pohon beringin itu berada. Namun sifatnya hanya mampir, tidak sampai menginap berhari-hari. Soeprijadi juga disebut gemar bermiditasi di atas karang yang berlokasi di Pantai Serang.
Jauh sebelum memimpin pemberontakan PETA, Shodanco Seoprijadi sudah lama tidak mempercayai Jepang. Sejak mengikuti pelatihan Beppan di Tangerang, dan berlanjut pelatihan calon perwira PETA di Bogor (1944), dia sudah memperlihatkan ketidakpercayaanya kepada Jepang.
Zulkifli Lubis, teman dekat sekaligus rekan seangkatan Supriyadi yang kelak dianugerahi gelar Bapak Intelijen Indonesia menangkap isyarat ketidaksukaan itu. "Ketika kami berada di Bogor, ia (Seoprijadi) sering mengatakan: 'kita tidak dapat mempercayai Jepang'," kata Zulkifli Lubis seperti yang ditulis David Jenkins dalam buku "Soeharto di Bawah Militer Jepang".
Seoprijadi satu angkatan dengan Zulkifli Lubis, Daan Mogot, Kemal Idris, dan Sudirman yang kelak menjadi Panglima Besar TNI. Soeharto yang bekas tentara KNIL juga ikut dalam pelatihan angkatan kedua itu. Pada pelatihan angkatan pertama yang berlangsung dua bulan (1943) ia sudah pernah ikut. Namun Soeharto yang kelak menjadi Presiden ke-2 Indonesia, kembali ikut.
Selama empat bulan di Bogor, Jepang menggembleng para calon perwira PETA dengan keras. Jepang menonjolkan tiga karakter utama, yakni ketangguhan, semangat juang, dan ketrampilan taktik dalam kesatuan kecil infanteri.
Perwira Jepang Letnan Satu Tsuchiya Kiso di akhir latihan membuat peringkat kemampuan peserta didiknya. Seoprijadi bukan lulusan terbaik. Begitu juga dengan Soeharto maupun Sudirman. Lulusan terbaik disandang Zulfikli Lubis yang sejak pelatihan di Tangerang, sudah memperlihatkan kecakapannya.
"Dengan mudah Lubis (Zulkifli Lubis) meraih nomor satu, dan nomor dua adalah Daan Mogot. Mereka berada di peringkat atas berkat kemampuanya. Mereka ini hampir seperti perwira Jepang," demikian yang tertulis dalam "Soeharto di Bawah Militer Jepang".
Teman-teman Seoprijadi selama menjalani pelatihan calon perwira PETA, melihat sosok Seoprijadi sebagai pemuda penyendiri sekaligus eksentrik. Sifat serta tabiat tersebut diketahui terlihat sejak Seoprijadi masih sekolah.
Seoprijadi kerap melakukan sesuatu yang kontroversial. Ia biasa berenang sendiri di laut selatan yang terkenal berbahaya. Saat berenang Seoprijadi sengaja mengenakan celana pendek warna hijau.
"Padahal menurut legenda setempat, siapapun yang mengenakan pakaian berwarna hijau akan membuat marah Nyi Roro Kidul dan akan tenggelam," tulis David Jenkins. Seoprijadi merupakan putra seorang pejabat pemerintah. Sesudah perang, ayah Seoprijadi diangkat menjadi Bupati Blitar.
Baca Juga
Seorang investigator militer Jepang, mencatat bahwa Seoprijadi seorang yang aneh, mudah dipengaruhi tetapi punya jiwa kepemimpinan yang kuat. Seoprijadi suka menyamakan dirinya dengan Pangeran Diponegoro. Seoprijadi juga suka menyamakan diri dengan penasihat mistik Diponegoro.
Pada tahun 1945, ketidakpercayaan Shodanco Seoprijadi terhadap Jepang, semakin menguat. Pagi hari 14 Feberuari 1945. Shodanco Seoprijadi yang masih berusia 21 tahun, memimpin 360 prajurit untuk keluar barak.
Bersama pasukan serta dukungan hampir seluruh perwira di batalyon PETA, Seoprijadi menyerang Hotel Sakura Blitar yang menjadi markas perwira Jepang. Baku tembak, dan lemparan mortir tidak terelakkan.
Mereka membunuh empat orang Jepang, dan tujuh orang etnis Tionghoa yang dianggap pro Jepang. Seluruh anggota batalyon PETA di Blitar, ikut ambil bagian dalam pemberontakan bersenjata dan untuk pertama kalinya suatu kesatuan Indonesia mengarahkan senjata kepada pembinanya.
Sayang, pemberontakan yang sudah disiapkan berbulan-bulan itu, masih penuh kekurangan. Bantuan kekuatan dari batalyon PETA lain tidak sesuai harapan. Pemberontakan Seoprijadi di Blitar, dalam sekejap berhasil dipadamkan.
Baca Juga
Karena situasi yang tidak menguntungkan, Seoprijadi bersama pasukannya menyingkir ke luar kota. Tiga rombongan menuju ke arah utara dan satu rombongan ke selatan. Pada 17 Februari 1945 atau tiga hari paska pemberontakan, unit-unit batalyon yang terlibat pemberontakan kembali ke Blitar.
Salah satunya adalah Muradi. Mereka bersedia kembali ke Blitar, setelah Jepang memberi jaminan tidak akan membawa ke pengadilan militer. Namun janji tinggal janji. Khawatir pemberontakan tersebar luas, Jepang melucuti batalyon dan menahan kurang lebih 55 orang perwira beserta anak buahnya.
Jepang mengirim mereka ke Jakarta, untuk disidangkan di Pengadilan Militer. Semua dinyatakan terbukti bersalah. Enam orang dijatuhi hukuman mati, dipenggal kepalanya di Ancol, Jakarta. Sejak itu nasib Shodanco Seoprijadi tidak diketahui rimbanya.
Dari Pantai Serang, Soeprijadi benar-benar mewujudkan gagasan pemberontakannya. Meski kalah dan banyak tentara PETA yang dihukum gantung, termasuk Soeprijadi sendiri tidak jelas rimbanya, perlawanan itu dicatat dalam sejarah kemerdekaaan bangsa Indonesia.
Untuk mengenang peristiwa itu, sebuah monumen berupa patung setengah badan Soeprijadi didirikan di lapangan Desa Serang, sebelah utara kawasan pantai. Hal ini juga yang membuat warga Blitar, selalu mengenang perjuangan PETA di bawah pimpinan Shodanco Soeprijadi, dengan menggelar aksi napak tilas pemberontakan PETA dari Pantai Serang, setiap 14 Februari.
Lihat Juga: Bintang Porno Jepang yang Pasang Tarif Rp306 Juta untuk Seks Ditangkap dalam Operasi Hong Kong
(eyt)