Kisah Soedirman jadi Panglima TKR di Tengah Perang Dingin Perwira PETA dan KNIL
loading...
A
A
A
Pemilihan Panglima Tentara Keamanan Rakyat (TKR), diwarnai dengan persaingan sengit. Persaingan itu terjadi, antara bekas perwira PETA (Pembela Tanah Air) dan KNIL (Koninklijke Nederlands Indische Leger).
KNIL adalah tentara kerajaan Hindia Belanda, yang didirikan Belanda pada tahun 1830. Sedangkan PETA, merupakan bentukan militer Jepang (1942-1945) untuk menangkis serangan Sekutu dalam perang Asia Timur Raya, pada 3 Oktober 1943. PETA didirikan dengan memakai sumber daya para pemuda Indonesia.
Meski sudah menjadi satu di dalam TKR, para bekas perwira didikan PETA dan KNIL diam-diam tetap bersaing. Perang dingin itu, bahkan telah meluas ke dalam tubuh pemerintahan Republik Indonesia yang belum lama merdeka.
Sebagai Kepala Staf Umum, yakni jabatan tertinggi di TKR, Oerip Soemohardjo yang berpangkat jenderal berkewajiban membenahi persoalan itu. Pada 12 November 1945, rapat para perwira TKR pun digelar di Gondokusuman, Yogyakarta.
"Dari sekian banyak perwira TKR di Jawa, Oerip tergolong senior. Oerip sebenarnya yang paling berpengalaman sebagai perwira militer. Lebih dari dua puluh tahun ia berkarir di KNIL," demikian dikutip dari buku Sejarah Nusantara yang Disembunyikan (2019).
Oerip Soemohardjo lahir di Purworejo Jawa Tengah 23 Februari 1893. Ia menyandang predikat perwira teladan dalam pendidikan militer Hindia Belanda. Di KNIL Oerip berpangkat letnan dua.
Oerip sadar, jumlah bekas perwira PETA di dalam TKR lebih banyak. Namun ia juga tahu pengalaman militer yang dimiliki para bekas perwira PETA masih di bawah KNIL. Minimnya pengalaman itu, yang membuat Sutan Sjahrir dan Amir Sjarifuddin sempat meragukan kemampuan tempur para eks perwira PETA.
Bahkan sebagai menteri keamanan, posisi Amir lebih dekat dengan bekas perwira KNIL daripada PETA. Tugas Oerip sebagai pimpinan TKR adalah membenahi persoalan yang terjadi di dalam institusinya.
Dalam rapat di Yogyakarta, seluruh perwira berpangkat letnan kolonel ke atas atau komandan resimen, hadir. Suasana rapat sejak awal tidak memperlihatkan suasana kedisiplinan sebuah institusi militer.
Para peserta yang hadir bergaya ala koboi dengan pistol terselip di pinggang. Rapat berubah panas saat kolonel Holland Iskandar, mantan perwira PETA tiba-tiba melontarkan interupsi.
Holland meminta dilakukan pemilihan panglima atau pimpinan tertinggi TKR yang baru berumur seminggu. Oerip tak mampu mengendalikan situasi. Tujuan rapat yang awalnya untuk menyelesaikan persaingan antara bekas perwira PETA dan KNIL bergeser menjadi pemilihan pimpinan tertinggi TKR.
Mekanisme pemilihan votingpun digelar. Sejumlah nama kandidat bermunculan, yakni Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Nasir (mantan pelaut yang pernah bekerja di angkatan laut Jepang), Wijoyo Suryokusumo, dan GPH Purwonegoro.
Kemudian juga Laksamana M. Pardi (Kepala TKR Laut), Suryadi Suryadarma, Soedirman dan Oerip sendiri. Dari hasil pemilihan awal mengerucut menjadi dua nama, yakni Soedirman yang merupakan komandan resimen TKR Banyumas dan Oerip Soemohardjo.
Proses pemilihan dilanjut. Hasilnya, Oerip yang lebih senior dan dianggap lebih berpengalaman hanya mengantongi 21 suara. Sedangkan Soedirman memperoleh dukungan 23 suara.
Sebanyak enam suara dukungan kepada Soedirman di antaranya disumbang dari resimen TKR di Sumatera. Para perwira TKR Sumatera sebagian besar adalah bekas Gyugun, yakni tentara sukarela semacam PETA.
Pada 18 Desember 1945, Soedirman resmi diangkat atau ditetapkan sebagai Panglima Besar TKR. Sementara Oerip Soemohardjo tetap menjadi kepala staf, yakni jabatan setingkat lebih rendah dari panglima.
Meski demikian, Oerip tetap loyal. Dengan diplomatis ia mengatakan Soedirman lebih cocok sebagai panglima dibanding dirinya. Karena sebagian besar prajurit TKR merupakan bekas anggota PETA.
Jenderal Soedirman merupakan satu-satunya Panglima Besar TNI yang dipilih berdasarkan mekanisme voting. Sebab setelah itu penunjukkan Panglima TNI menjadi hak prerogatif Presiden.
Baca Juga
KNIL adalah tentara kerajaan Hindia Belanda, yang didirikan Belanda pada tahun 1830. Sedangkan PETA, merupakan bentukan militer Jepang (1942-1945) untuk menangkis serangan Sekutu dalam perang Asia Timur Raya, pada 3 Oktober 1943. PETA didirikan dengan memakai sumber daya para pemuda Indonesia.
Meski sudah menjadi satu di dalam TKR, para bekas perwira didikan PETA dan KNIL diam-diam tetap bersaing. Perang dingin itu, bahkan telah meluas ke dalam tubuh pemerintahan Republik Indonesia yang belum lama merdeka.
Sebagai Kepala Staf Umum, yakni jabatan tertinggi di TKR, Oerip Soemohardjo yang berpangkat jenderal berkewajiban membenahi persoalan itu. Pada 12 November 1945, rapat para perwira TKR pun digelar di Gondokusuman, Yogyakarta.
"Dari sekian banyak perwira TKR di Jawa, Oerip tergolong senior. Oerip sebenarnya yang paling berpengalaman sebagai perwira militer. Lebih dari dua puluh tahun ia berkarir di KNIL," demikian dikutip dari buku Sejarah Nusantara yang Disembunyikan (2019).
Oerip Soemohardjo lahir di Purworejo Jawa Tengah 23 Februari 1893. Ia menyandang predikat perwira teladan dalam pendidikan militer Hindia Belanda. Di KNIL Oerip berpangkat letnan dua.
Oerip sadar, jumlah bekas perwira PETA di dalam TKR lebih banyak. Namun ia juga tahu pengalaman militer yang dimiliki para bekas perwira PETA masih di bawah KNIL. Minimnya pengalaman itu, yang membuat Sutan Sjahrir dan Amir Sjarifuddin sempat meragukan kemampuan tempur para eks perwira PETA.
Bahkan sebagai menteri keamanan, posisi Amir lebih dekat dengan bekas perwira KNIL daripada PETA. Tugas Oerip sebagai pimpinan TKR adalah membenahi persoalan yang terjadi di dalam institusinya.
Baca Juga
Dalam rapat di Yogyakarta, seluruh perwira berpangkat letnan kolonel ke atas atau komandan resimen, hadir. Suasana rapat sejak awal tidak memperlihatkan suasana kedisiplinan sebuah institusi militer.
Para peserta yang hadir bergaya ala koboi dengan pistol terselip di pinggang. Rapat berubah panas saat kolonel Holland Iskandar, mantan perwira PETA tiba-tiba melontarkan interupsi.
Holland meminta dilakukan pemilihan panglima atau pimpinan tertinggi TKR yang baru berumur seminggu. Oerip tak mampu mengendalikan situasi. Tujuan rapat yang awalnya untuk menyelesaikan persaingan antara bekas perwira PETA dan KNIL bergeser menjadi pemilihan pimpinan tertinggi TKR.
Mekanisme pemilihan votingpun digelar. Sejumlah nama kandidat bermunculan, yakni Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Nasir (mantan pelaut yang pernah bekerja di angkatan laut Jepang), Wijoyo Suryokusumo, dan GPH Purwonegoro.
Kemudian juga Laksamana M. Pardi (Kepala TKR Laut), Suryadi Suryadarma, Soedirman dan Oerip sendiri. Dari hasil pemilihan awal mengerucut menjadi dua nama, yakni Soedirman yang merupakan komandan resimen TKR Banyumas dan Oerip Soemohardjo.
Baca Juga
Proses pemilihan dilanjut. Hasilnya, Oerip yang lebih senior dan dianggap lebih berpengalaman hanya mengantongi 21 suara. Sedangkan Soedirman memperoleh dukungan 23 suara.
Sebanyak enam suara dukungan kepada Soedirman di antaranya disumbang dari resimen TKR di Sumatera. Para perwira TKR Sumatera sebagian besar adalah bekas Gyugun, yakni tentara sukarela semacam PETA.
Pada 18 Desember 1945, Soedirman resmi diangkat atau ditetapkan sebagai Panglima Besar TKR. Sementara Oerip Soemohardjo tetap menjadi kepala staf, yakni jabatan setingkat lebih rendah dari panglima.
Meski demikian, Oerip tetap loyal. Dengan diplomatis ia mengatakan Soedirman lebih cocok sebagai panglima dibanding dirinya. Karena sebagian besar prajurit TKR merupakan bekas anggota PETA.
Jenderal Soedirman merupakan satu-satunya Panglima Besar TNI yang dipilih berdasarkan mekanisme voting. Sebab setelah itu penunjukkan Panglima TNI menjadi hak prerogatif Presiden.
(eyt)