Kisah Telaga Sarangan Magetan, Jadi Surga Dunia Orang-orang Jerman
Sabtu, 24 Desember 2022 - 10:08 WIB
Pada akhir 1942, semua ibu-ibu beserta anak-anak Jerman itu diperintahkan hijrah ke Sarangan, Magetan. Mereka dikumpulkan di Sarangan. Secara topografi, Sarangan Magetan terletak pada ketinggian 1.400 meter.
Berada di kaki Gunung Lawu setinggi 3.200 meter, pemandangan Sarangan begitu elok dan memikat. Terlihat bukit-bukit yang tertutup hutan tropis. Kemudian juga panorama aliran lidah lava yang turun menuju lembah.
Ditambah lagi Danau Telaga Pasir yang berair bening sekaligus berhawa sejuk dan nyaman. Pada masa kolonial Belanda, Sarangan Magetan menjadi tempat peristirahatan para pejabat Belanda.
Di Sarangan banyak dibangun hotel-hotel kecil untuk keluarga serta wisma-wisma untuk menerima tamu. ”Di akhir 1942, daerah yang tertidur ini (Sarangan Magetan) mendadak berubah aktif dan kehidupan mulai menggeliat,” tulis Horst H. Geerken.
“Setelah masa yang kacau, tidak pasti dan dipermalukan oleh Belanda, para perempuan dan anak-anak Jerman seperti tinggal di taman firdaus,” tambahnya.
Ratusan perempuan dan anak-anak kebangsaan Jerman itu hidup nyaman di Sarangan, Magetan. Anak-anak juga bersekolah dengan tenang. Para tua mampu mencukupi kebutuhan hidup sendiri melalui sektor peternakan dan pertanian.
Padang rumput luas yang berada di atas Sarangan, mereka pakai untuk peternakan sapi perah dan oleh para petani Jerman diambil susunya. Susu sapi itu didistribusikan kepada kaum ibu yang memiliki anak kecil.
Orang-orang Jerman itu juga mengolah lahan perkebunan sayur-mayur. Para tukang kebun didorong membuka lebih banyak perkebunan. Kentang, wortel, tomat, kubis, bawang bombay dan selada, dihasilkan sendiri. Banyak buah-buahan murah yang juga dijual ke desa.
Begitu juga dengan kebutuhan daging segar, sosis dan roti juga diproduksi sendiri. Soal distribusi pangan tak ada perbedaan antara warga Reich Jerman dengan warga Volk Jerman.
tulis komentar anda