Langkah Tak Seiring 2 Ibu Dalam Kendalikan Pandemi Covid-19
Jum'at, 03 Juli 2020 - 08:02 WIB
Sayangnya, mereka tidak menjadi kekuatan, justru konflik dan ketidakakuran antarpemimpin yang diperagakan dan dipraktikkan. Dalam situasi perang dua gajah ini, masyarakat yang terkena dampak secara langsung di tengah pendemi. “Pada saat masyarakat mendambakan kepemimpinan empatik dan mengayomi di tengah pandemi ini, keduanya malah memperagakan gaya kepemimpinan melow konfliktual,” jelasnya.
Parahnya, dalam berbagai situasi yang membutuhkan keduanya saling menguatkan, mereka malah saling melemahkan. “Sungguh patut disesalkan pilihan seperti ini, kepemimpinan nurturant politics harus didorong untuk keduanya agar bisa saling respek, saling bisa memahami, dan bisa sinergi untuk gotong royong,” ucapnya.
Baik Khofifah maupun Risma harus saling menguatkan untuk memberi contoh guna memantik partisipasi publik. Momentum ini sungguh tepat untuk kepemimpinan feminis yang nurturant dan empatik. (Baca juga: Isu Bank Bermasalah, Nasabah Diminta Jangan termakan Hoaks)
“Sangat disesalkan keduanya lebih memilih ego sektoral dan saling mengunci yang potensial dan bisa merugikan keduanya. Bagi saya, praktik ini bukan promosi kepemimpinan perempuan feminis yang diharapkan dan malah meruntuhkan reputasi kepemimpinan perempuan yang rewel dan egois,” sambungnya.
Makanya, kata Surokim, wajar jika elektabilitas keduanya tidak bisa naik signifikan dan jika terus-menerus hal ini yg diperagakan, maka keduanya akan sulit beredar di level yang lebih tinggi. “Lagi-lagi momentum ini tidak bisa dimanfaatkan dengan baik jika model kepemimpinan begitu yang dikembangkan,” kata Surokim yang juga peneliti di Surabaya Survey Center.
Di satu sisi, masyarakat di Jawa Timur yang didominasi banyak kelompok urban memiliki cukup literate. Khususnya mereka di kalangan kelas menengah yang kini kian kritis. Masyarakat sangat bisa memahami konflik terbuka keduanya di berbagai panggung.
Apalagi, katanya, penggunaan media sosial pada era pendemi dan work from home (WFH) memberi peluang kelas menengah untuk kritis. Mereka juga mengakses pemberitaan media cukup signifikan, baik dari durasi maupun intensitas sehingga membuat perseteruan itu menjadi konsumsi terbuka para netizen kelas menengah.
Surokim juga menjelaskan, baik Risma maupun Khofifah memiliki langkah strategis di ruang politik Indonesia. Pada masa pendemi ini, aksi autentik lebih manjur daripada pencitraan. “Saya pikir publik akan tahu mana yang lebih mementingkan kerja autentik dan mana yang hanya artifisial. Semua paham keduanya terlibat kontes di udara untuk kepentingan kontestasi itu dan semua berjalan kasatmata dan terlihat meniadakan satu sama lainnya,” ungkapnya. (Baca juga: Penambahan Kasus Covid-19 Masih Tinggi, Yuri Minta Protokol Kesehatan Diperketat)
Makanya, lanjutnya, jika dosisnya berlebihan itu akan merugikan keduanya. Baik Risma maupun Khofifah harus kembali ke model kepemimpinan autentik nurturant. “Mumpung momentumnya masih tepat dan belum terlambat. Kepemimpinan saling menguatkan dan tidak saling meniadakan itu yang dinanti masyarakat,” jelasnya.
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya Universitas Trunojoyo ini menambahkan, kedua tokoh perempuan di Jatim ini merupakan sosok idola bagi masyarakat. Makanya, aksi yang mereka lakukan tentu bisa memengaruhi kedewasaan masyarakat dalam pendidikan politik. Pada masa pendemi yang sangat dibutuhkan adalah virtue empatik, virtue respek, virtue pengayom dan gotong royong.
Parahnya, dalam berbagai situasi yang membutuhkan keduanya saling menguatkan, mereka malah saling melemahkan. “Sungguh patut disesalkan pilihan seperti ini, kepemimpinan nurturant politics harus didorong untuk keduanya agar bisa saling respek, saling bisa memahami, dan bisa sinergi untuk gotong royong,” ucapnya.
Baik Khofifah maupun Risma harus saling menguatkan untuk memberi contoh guna memantik partisipasi publik. Momentum ini sungguh tepat untuk kepemimpinan feminis yang nurturant dan empatik. (Baca juga: Isu Bank Bermasalah, Nasabah Diminta Jangan termakan Hoaks)
“Sangat disesalkan keduanya lebih memilih ego sektoral dan saling mengunci yang potensial dan bisa merugikan keduanya. Bagi saya, praktik ini bukan promosi kepemimpinan perempuan feminis yang diharapkan dan malah meruntuhkan reputasi kepemimpinan perempuan yang rewel dan egois,” sambungnya.
Makanya, kata Surokim, wajar jika elektabilitas keduanya tidak bisa naik signifikan dan jika terus-menerus hal ini yg diperagakan, maka keduanya akan sulit beredar di level yang lebih tinggi. “Lagi-lagi momentum ini tidak bisa dimanfaatkan dengan baik jika model kepemimpinan begitu yang dikembangkan,” kata Surokim yang juga peneliti di Surabaya Survey Center.
Di satu sisi, masyarakat di Jawa Timur yang didominasi banyak kelompok urban memiliki cukup literate. Khususnya mereka di kalangan kelas menengah yang kini kian kritis. Masyarakat sangat bisa memahami konflik terbuka keduanya di berbagai panggung.
Apalagi, katanya, penggunaan media sosial pada era pendemi dan work from home (WFH) memberi peluang kelas menengah untuk kritis. Mereka juga mengakses pemberitaan media cukup signifikan, baik dari durasi maupun intensitas sehingga membuat perseteruan itu menjadi konsumsi terbuka para netizen kelas menengah.
Surokim juga menjelaskan, baik Risma maupun Khofifah memiliki langkah strategis di ruang politik Indonesia. Pada masa pendemi ini, aksi autentik lebih manjur daripada pencitraan. “Saya pikir publik akan tahu mana yang lebih mementingkan kerja autentik dan mana yang hanya artifisial. Semua paham keduanya terlibat kontes di udara untuk kepentingan kontestasi itu dan semua berjalan kasatmata dan terlihat meniadakan satu sama lainnya,” ungkapnya. (Baca juga: Penambahan Kasus Covid-19 Masih Tinggi, Yuri Minta Protokol Kesehatan Diperketat)
Makanya, lanjutnya, jika dosisnya berlebihan itu akan merugikan keduanya. Baik Risma maupun Khofifah harus kembali ke model kepemimpinan autentik nurturant. “Mumpung momentumnya masih tepat dan belum terlambat. Kepemimpinan saling menguatkan dan tidak saling meniadakan itu yang dinanti masyarakat,” jelasnya.
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya Universitas Trunojoyo ini menambahkan, kedua tokoh perempuan di Jatim ini merupakan sosok idola bagi masyarakat. Makanya, aksi yang mereka lakukan tentu bisa memengaruhi kedewasaan masyarakat dalam pendidikan politik. Pada masa pendemi yang sangat dibutuhkan adalah virtue empatik, virtue respek, virtue pengayom dan gotong royong.
tulis komentar anda