Fahri Bachmid: Presidential Threshold Ditiadakan Sejalan dengan Spirit Konstitusi
Rabu, 01 Juli 2020 - 19:59 WIB
MAKASSAR - Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Dr Fahri Bachmid menilai, ambang batas pencalonan presiden atau Presidential Threshold untuk calon presiden dan calon wakil presiden pada Pemilu 2024 dan seterusnya idealnya ditiadakan.
Menurutnya, ambang batas pencalonan presiden 20 persen tidak sejalan dengan spirit konstitusi dan tidak konstitusional. Karenanya, MK juga tak boleh membiarkan adanya pelanggaran konstitusi yang dilakukan penyelenggara negara, terkait UU Pemilu ini. (Baca juga: Bila PT Dihapus, Refly Harun Tak Melihat Ada Masalah Kontestan Pilpres Banyak )
"Kedepan jika norma serta pranata “presidential threshold” masih tetap dipertahankan dalam rumusan RUU Pemilu yang akan datang, dan pada saat yang sama ada warga negara yang berkehendak men-challenge ke pengadilan, maka berharap MK sebagai penjaga konstitusi dapat merubah pendiriannya untuk tidak lagi mentolerir adanya pelanggaran konstitusi oleh penyelengara negara, termasuk DPR dan pemerintah yang sedang menggodok RUU Pemilu ini," ujar Fahri Bachmid.
Fahri yang juga Ketua Peradi Ambon mengatakan, rakyat telah rindu dengan suguhan menu calon-calon Presiden yang berkualitas serta negarawan. Untuk itu, katanya, sistem yang dibangun hendaknya lebih akomodatif serta memastikan untuk munculnnya calon-calon presiden alternatif agar rakyat mempunyai banyak preferensi politik atas kandidat presiden yang dimunculkan partai politik, sebagaimana yang dikehendaki oleh konstitusi.
"Saatnya kita tinggalkan paradigma monopolistik partai dalam pengajuan capres dan cawapres. Biarlah rakyat memilih dengan banyak kandidat capres-cawapres serta hentikan praktik politik yang bercorak oligarkis agar demokrasi yang terbangun adalah benar-benar demokrasi yang substantif," pungkasnya. (Baca juga: Fahri Sebut RUU Cipta Kerja Solusi Tumpang Tindih Regulasi )
Hal tersebut disampaikan Fahri Bachmid saat menjadi pembicara/narasumber dalam kegiatan Webinar yang diselengarakan Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar yang bertajuk "RUU Pemilu Dan Presidential Threshold Dilihat Dari Aspek Konstitusi, pada Senin (29/6/2020).
Dalam Webinar itu, juga menghadirkan beberapa pakar hukum tata negara dan Intelektual Indonesia, yaitu Prof Dr Yusril Ihza Mahendra, kemudian Refly Harun, Dekan Fakultas Hukum UMI Makassar Prof Dr H. Said Sampara dan Prof Dr H. La Ode Husen. serta sebagai moderator adalah Wakil Dekan III FH UMI Makassar Dr Muh Rinaldy Bima.
Lebih lanjut Fahri katakan, menghapus ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden penting dilakukan dalam rangka dan sebagai sebuah upaya “ikhtiar” yang sunguh-sungguh untuk menegakkan prinsip negara hukum yang demokratis dan penegakan supremasi konstitusi serta paham konstitusionalisme yang dianut saat ini.
Menurutnya, berdasarkan desain konstitusional terkait Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang diatur dalam ketentuan norma pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 menyebutkan “Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh Partai Politik atau gabungan partai politik peserta Pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum” dan ketentuan pasal 22E ayat (2) dan (3),
Menurutnya, ambang batas pencalonan presiden 20 persen tidak sejalan dengan spirit konstitusi dan tidak konstitusional. Karenanya, MK juga tak boleh membiarkan adanya pelanggaran konstitusi yang dilakukan penyelenggara negara, terkait UU Pemilu ini. (Baca juga: Bila PT Dihapus, Refly Harun Tak Melihat Ada Masalah Kontestan Pilpres Banyak )
"Kedepan jika norma serta pranata “presidential threshold” masih tetap dipertahankan dalam rumusan RUU Pemilu yang akan datang, dan pada saat yang sama ada warga negara yang berkehendak men-challenge ke pengadilan, maka berharap MK sebagai penjaga konstitusi dapat merubah pendiriannya untuk tidak lagi mentolerir adanya pelanggaran konstitusi oleh penyelengara negara, termasuk DPR dan pemerintah yang sedang menggodok RUU Pemilu ini," ujar Fahri Bachmid.
Fahri yang juga Ketua Peradi Ambon mengatakan, rakyat telah rindu dengan suguhan menu calon-calon Presiden yang berkualitas serta negarawan. Untuk itu, katanya, sistem yang dibangun hendaknya lebih akomodatif serta memastikan untuk munculnnya calon-calon presiden alternatif agar rakyat mempunyai banyak preferensi politik atas kandidat presiden yang dimunculkan partai politik, sebagaimana yang dikehendaki oleh konstitusi.
"Saatnya kita tinggalkan paradigma monopolistik partai dalam pengajuan capres dan cawapres. Biarlah rakyat memilih dengan banyak kandidat capres-cawapres serta hentikan praktik politik yang bercorak oligarkis agar demokrasi yang terbangun adalah benar-benar demokrasi yang substantif," pungkasnya. (Baca juga: Fahri Sebut RUU Cipta Kerja Solusi Tumpang Tindih Regulasi )
Hal tersebut disampaikan Fahri Bachmid saat menjadi pembicara/narasumber dalam kegiatan Webinar yang diselengarakan Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar yang bertajuk "RUU Pemilu Dan Presidential Threshold Dilihat Dari Aspek Konstitusi, pada Senin (29/6/2020).
Dalam Webinar itu, juga menghadirkan beberapa pakar hukum tata negara dan Intelektual Indonesia, yaitu Prof Dr Yusril Ihza Mahendra, kemudian Refly Harun, Dekan Fakultas Hukum UMI Makassar Prof Dr H. Said Sampara dan Prof Dr H. La Ode Husen. serta sebagai moderator adalah Wakil Dekan III FH UMI Makassar Dr Muh Rinaldy Bima.
Lebih lanjut Fahri katakan, menghapus ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden penting dilakukan dalam rangka dan sebagai sebuah upaya “ikhtiar” yang sunguh-sungguh untuk menegakkan prinsip negara hukum yang demokratis dan penegakan supremasi konstitusi serta paham konstitusionalisme yang dianut saat ini.
Menurutnya, berdasarkan desain konstitusional terkait Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang diatur dalam ketentuan norma pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 menyebutkan “Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh Partai Politik atau gabungan partai politik peserta Pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum” dan ketentuan pasal 22E ayat (2) dan (3),
tulis komentar anda