Kisah Kiai Sadrach, Jebolan Pesantren yang Jadi Penginjil di Tanah Jawa
Sabtu, 26 Maret 2022 - 05:16 WIB
Kiai Sadrach adalah seorang penyebar Kristen di tanah Jawa. Disebut juga sebagai penginjil. Lahir pada 1835 di daerah Jepara, Jawa Tengah. Sumber lain menyebut, Kiai Sadrach mempunyai nama kecil Radin itu dilahirkan di wilayah Demak, Jawa Tengah.
Meski menjadi penginjil, namun gelar kiai tersebut masih melekat hingga kini. Sebelum menjadi penginjil, dia adalah muslim yang mempunyai banyak pengikut. Dalam perjalanan hidupnya, Sadrach juga pernah menjadi santri di sebuah pesantren di Jombang, Jawa Timur.
Baca juga: Kiai Zainal Mustafa, Kerap Diturunkan dari Mimbar saat Ceramah oleh Penjajah karena Dianggap Radikal
Mengutip Biokristi, situs biografi kristiani, pada masa hidupnya, Sadrach pernah menjadi seorang pemimpin Jawa yang terhormat dari gereja terbesar di Jawa. Sadrach merupakan contoh kepemimpinan Kristen mandiri dengan mengembangkan jemaat pribumi yang sangat erat kaitannya dengan kebudayaan Jawa.
Sadrach dikisahkan berasal dari keluarga petani miskin di Desa Loering, Karesidenan Semarang. Sejak masa mudanya, dia bertekat meninggalkan rumah untuk mengembara. Tekat tersebut didorong semangat untuk belajar, sekaligus menemukan tempat tinggal dan menyambung hidup. Salah satu pilihan dia keluar masuk pesantren.
Kala itu, pesantren menjadi tempat orang-orang untuk belajar agama secara utuh. Maksudnya, ya belajar ilmu sekaligus menyambung hidup dan mencari makan. Semua dilakukan secara total di dalam pesantren. Pesantren juga tidak pernah menolak siapa pun yang mau nyantri, walau tak punya bekal untuk biaya pendidikan selama di pesantren.
Saat menjadi santri di Jombang, Radin menambahkan nama belakangnya Abas. Namanya menjadi Radin Abas. Ada yang menyebut penambahan nama ini terpengaruh nama-nama Arab.
Dia juga menjadi seorang pengkhotbah di daerah-daerah yang menjadi persinggahan. Radin Abbas mencari pengikut. Sejak aktif memberi khutbah-khutbah itu, dia mendapat julukan baru sebagai kiai. Kiai Sadrach Surapranata, lengkapnya.
Sebagai kiai, Sadrach juga banyak meninggalkan kenangan berupa warisan ilmu. Salah satunya buku catatan setebal 200 halaman yang disimpan di Karangjoso, Purworejo, Jawa Tengah. Konon, buku tersebut dia tulis dalam bahasa Arab.
Meski menjadi penginjil, namun gelar kiai tersebut masih melekat hingga kini. Sebelum menjadi penginjil, dia adalah muslim yang mempunyai banyak pengikut. Dalam perjalanan hidupnya, Sadrach juga pernah menjadi santri di sebuah pesantren di Jombang, Jawa Timur.
Baca juga: Kiai Zainal Mustafa, Kerap Diturunkan dari Mimbar saat Ceramah oleh Penjajah karena Dianggap Radikal
Mengutip Biokristi, situs biografi kristiani, pada masa hidupnya, Sadrach pernah menjadi seorang pemimpin Jawa yang terhormat dari gereja terbesar di Jawa. Sadrach merupakan contoh kepemimpinan Kristen mandiri dengan mengembangkan jemaat pribumi yang sangat erat kaitannya dengan kebudayaan Jawa.
Sadrach dikisahkan berasal dari keluarga petani miskin di Desa Loering, Karesidenan Semarang. Sejak masa mudanya, dia bertekat meninggalkan rumah untuk mengembara. Tekat tersebut didorong semangat untuk belajar, sekaligus menemukan tempat tinggal dan menyambung hidup. Salah satu pilihan dia keluar masuk pesantren.
Kala itu, pesantren menjadi tempat orang-orang untuk belajar agama secara utuh. Maksudnya, ya belajar ilmu sekaligus menyambung hidup dan mencari makan. Semua dilakukan secara total di dalam pesantren. Pesantren juga tidak pernah menolak siapa pun yang mau nyantri, walau tak punya bekal untuk biaya pendidikan selama di pesantren.
Saat menjadi santri di Jombang, Radin menambahkan nama belakangnya Abas. Namanya menjadi Radin Abas. Ada yang menyebut penambahan nama ini terpengaruh nama-nama Arab.
Dia juga menjadi seorang pengkhotbah di daerah-daerah yang menjadi persinggahan. Radin Abbas mencari pengikut. Sejak aktif memberi khutbah-khutbah itu, dia mendapat julukan baru sebagai kiai. Kiai Sadrach Surapranata, lengkapnya.
Sebagai kiai, Sadrach juga banyak meninggalkan kenangan berupa warisan ilmu. Salah satunya buku catatan setebal 200 halaman yang disimpan di Karangjoso, Purworejo, Jawa Tengah. Konon, buku tersebut dia tulis dalam bahasa Arab.
tulis komentar anda