Kisah Pertempuran 5 Hari di Semarang, Eyang Giri Nyaris Dipenggal, Muncul Jagal Jepang

Rabu, 13 Oktober 2021 - 12:00 WIB
Sugiarno yang sembunyi di bawah kolong langsung diseret keluar. Melihat itu, ibunya meronta-ronta hingga melepaskan seluruh pakaiannya hanya untuk berbelas kasihan kepada Jepang agar anaknya dilepaskan.

"Saat itu sebilah samurai sudah menempel di leher saya, kemudian ibu saya berlari ke pekarangan rumah menemui salah satu tentara sambil menunjukkan sebuah foto adik perempuan saya yang sedang digendong seorang Mayor tentara Jepang di Surabaya,” kata Sugiarno.

“Ibu saya mengatakan bahwa saya adalah anak satu-satunya yang tertinggal, karena adik saya sudah diangkat menjadi anak angkat seorang Mayor tentara Jepang di Surabaya. Jepang tersebut kemudian membaca huruf kanji yang ditulis di belakang foto oleh mayor tersebut. Lalu dia melepaskan saya dan tidak jadi membunuh saya dengan samurainya,” cerita Sugiarno.

Sebab itu, saat mengenang awal Pertempuran 5 Hari Semarang yang terjadi pada 14 Oktober, Sugiarno yang akrab dipanggil Eyang Giri ini selalu membuat bubur 2 warna, putih dan merah kecokelatan sebagai bentuk rasa bersyukur kepada Allah SWT atas keselamatan dari kejadian menggetirkan tersebut.

"Ya Jepang saat itu memang kejam, mereka membabi buta dengan melakukan pembunuhan terhadap setiap pemuda. Pemuda Semarang kala itu juga tidak kalah bengisnya dengan Jepang. Hal ini karena mereka tidak tahan dengan perlakuan Jepang, sehingga mereka membalasnya pula dengan sikap sama,” katanya.

Sugiarno juga mengisahkan, banyak kampung yang jadi sasaran amuk Jepang. Hal ini disebabkan setiap ada Jepang lewat dan dihadang pemuda, langsung ditangkap dan dianiaya. Jika itu ternyata tentara atau polisi Jepang, maka langsung dibunuh dan ditusuki bambu runcing lalu mayatnya ditinggal begitu saja di pinggir kampung.

Mereka yang melakukan pencegatan umumnya pemuda dari berbagai penjuru kampung yang patroli keliling kota dengan menyusuri jalan-jalan kampung.

Saat menemukan temannya mati di kampung, maka Jepang melampiaskan kemarahannya pada pemuda dan penduduk kampung setempat.

"Ini lah yang membuat banyak warga dan pemuda yang mati di tangan Jepang. Umumnya mereka adalah yang tidak tahu apa-apa jadi sasaran kemarahan Jepang. Yang benar-benar berjuang bergerilya dari kampung-ke kampung,” ungkap Sugiarno.

Kemarahan pemuda, kata dia, dipicu saat Mayor Kido pada Minggu (14/10/1045) berjanji memberikan sebagian senjata kepada pemuda sebagai bekal mempertahankan kemerdekaan dari kemungkinan penguasaan Belanda kembali. Mengingat pada 17 Agustus sudah diproklamirkan Kemerdekaan Indonesia oleh Soekarno-Hatta di Jakarta.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More Content