Rumah Lenyap karena Terjerat Rentenir, Warga Depok Malah Menghadapi Hukum
Selasa, 21 April 2020 - 12:00 WIB
DEPOK - Lantaran terjerat rentenir, sebuah keluarga di Kecamatan Beji, Depok kehilangan rumah tempat tinggal. Kini, keluarga itu juga harus menghadapi masalah hukum.
Peristiwa bermula ketika Eni Kartini meminjam uang kepada seorang wanita berinisial N sebesar Rp250 juta. Peminjaman pada Februari 2013 untuk biaya pengobatan sang suami yang sedang sakit keras.
"Minjamnya Rp250 juta, tapi disetujui Rp130 juta. Ternyata, yang diterima cuma sekitar Rp60 juta karena sisanya Rp70 juta sudah dipotong sebagai bunga yang dibayar di depan,” kata Anita Wulandari, anak Eni, Selasa (21/4/2020).
Sebagai jaminan, Eni kemudian menyerahkan sertifikat rumah pada N. Eni diminta membubuhkan tanda tangan di atas kertas kosong dengan janji salinan dari isi surat akan diserahkan kemudian hari. Singkat cerita Eni tak mampu melunasi utang dan menjual rumah pada Waluyo. "Singkatnya kita jual rumah mau untuk sertifikat. Kita pindah dan menutupi utang serta mengobati ayah,” ucapnya.
Tapi Anita dan keluarganya kaget bukan kepalang setelah diinformasikan N bahwa bunga utang telah naik mencapai Rp385 juta. Anita menduga N sengaja menaikkan bunga karena tahu rumah telah dijual kepada Waluyo. Hal ini berlarut-larut terus. Menurut Anita, salah satu yang memperburuk kondisi ayahnya hingga akhirnya meninggal juga karena ikut memikirkan utang. Dia dan ibunya kini pun harus meninggalkan rumah.
"Karena merasa Pak Waluyo sudah memberi Rp610 juta, akhirnya kita keluar dari rumah. Itu itikad baik kita. Tapi ternyata setelah kita keluar, tiba-tiba N datang ke rumah, dia bilang pada Pak Waluyo kalau ini rumah dia (N)," ceritanya.
Tak hanya di situ, Anita pun harus berhadapan dengan hukum. Pasalnya, keluarganya dilaporkan ke polisi oleh Waluyo yang merasa telah ditipu. Waluyo melaporkan Anita ke polisi pada tahun 2015. "Akhirnya ibu saya dipenjara 1 tahun lebih," ucapnya sedih.
Eni pun kini telah meninggal dunia. Namun kasus itu masih terus berlanjut hinga akhirnya sejumlah pihak yang berseteru berproses di Pengadilan Negeri Depok. Sebabnya, N bersikeras jika rumah itu adalah miliknya, namun disisi lain, Waluyo merasa telah membayar pada keluarga Anita. "Intinya kami selama ini tidak pernah menjual rumah pada N. Kami hanya jual pada Pak Waluyo," katanya meluruskan.
Terkait hal itu, Anita dan Waluyo berharap ada keadilan atas kasus ini. Karena mereka khawatir rumah itu bakal jatuh ke-tangan N. Kedua korban pun telah membuat surat terbuka untuk Presiden RI, Joko Widodo. "Saya tidak pernah menjual rumah ini selain ke Pak Waluyo. Saya minta ke Pak Presiden untuk penegakkan seadil-adilnya," tambahnya.
Ditempat yang sama, Waluyo mengaku ingin adanya hukum yang jelas. Menurut dia, kurang bisa memeriksa jual beli dari N. "Saya menginginkan pengadilan memutuskan dengan sejujur-jujurnya dengan teliti. Saya mohon yang berwenang membantu, agar lebih jelas hak jual beli rumah saya," katanya.
Sementara itu, kuasa hukum Anita, Erizal berharap hakim bisa melihat kasus ini secara detil dan jeli. Sebab, dirinya menilai, Akta Jual Beli (AJB) sebagai bukti terdapat kecacatan hukum. "Kami melihat di sini ada cacat administrasi yang harus dilihat hakim," katanya.
Peristiwa bermula ketika Eni Kartini meminjam uang kepada seorang wanita berinisial N sebesar Rp250 juta. Peminjaman pada Februari 2013 untuk biaya pengobatan sang suami yang sedang sakit keras.
"Minjamnya Rp250 juta, tapi disetujui Rp130 juta. Ternyata, yang diterima cuma sekitar Rp60 juta karena sisanya Rp70 juta sudah dipotong sebagai bunga yang dibayar di depan,” kata Anita Wulandari, anak Eni, Selasa (21/4/2020).
Sebagai jaminan, Eni kemudian menyerahkan sertifikat rumah pada N. Eni diminta membubuhkan tanda tangan di atas kertas kosong dengan janji salinan dari isi surat akan diserahkan kemudian hari. Singkat cerita Eni tak mampu melunasi utang dan menjual rumah pada Waluyo. "Singkatnya kita jual rumah mau untuk sertifikat. Kita pindah dan menutupi utang serta mengobati ayah,” ucapnya.
Tapi Anita dan keluarganya kaget bukan kepalang setelah diinformasikan N bahwa bunga utang telah naik mencapai Rp385 juta. Anita menduga N sengaja menaikkan bunga karena tahu rumah telah dijual kepada Waluyo. Hal ini berlarut-larut terus. Menurut Anita, salah satu yang memperburuk kondisi ayahnya hingga akhirnya meninggal juga karena ikut memikirkan utang. Dia dan ibunya kini pun harus meninggalkan rumah.
"Karena merasa Pak Waluyo sudah memberi Rp610 juta, akhirnya kita keluar dari rumah. Itu itikad baik kita. Tapi ternyata setelah kita keluar, tiba-tiba N datang ke rumah, dia bilang pada Pak Waluyo kalau ini rumah dia (N)," ceritanya.
Tak hanya di situ, Anita pun harus berhadapan dengan hukum. Pasalnya, keluarganya dilaporkan ke polisi oleh Waluyo yang merasa telah ditipu. Waluyo melaporkan Anita ke polisi pada tahun 2015. "Akhirnya ibu saya dipenjara 1 tahun lebih," ucapnya sedih.
Eni pun kini telah meninggal dunia. Namun kasus itu masih terus berlanjut hinga akhirnya sejumlah pihak yang berseteru berproses di Pengadilan Negeri Depok. Sebabnya, N bersikeras jika rumah itu adalah miliknya, namun disisi lain, Waluyo merasa telah membayar pada keluarga Anita. "Intinya kami selama ini tidak pernah menjual rumah pada N. Kami hanya jual pada Pak Waluyo," katanya meluruskan.
Terkait hal itu, Anita dan Waluyo berharap ada keadilan atas kasus ini. Karena mereka khawatir rumah itu bakal jatuh ke-tangan N. Kedua korban pun telah membuat surat terbuka untuk Presiden RI, Joko Widodo. "Saya tidak pernah menjual rumah ini selain ke Pak Waluyo. Saya minta ke Pak Presiden untuk penegakkan seadil-adilnya," tambahnya.
Ditempat yang sama, Waluyo mengaku ingin adanya hukum yang jelas. Menurut dia, kurang bisa memeriksa jual beli dari N. "Saya menginginkan pengadilan memutuskan dengan sejujur-jujurnya dengan teliti. Saya mohon yang berwenang membantu, agar lebih jelas hak jual beli rumah saya," katanya.
Sementara itu, kuasa hukum Anita, Erizal berharap hakim bisa melihat kasus ini secara detil dan jeli. Sebab, dirinya menilai, Akta Jual Beli (AJB) sebagai bukti terdapat kecacatan hukum. "Kami melihat di sini ada cacat administrasi yang harus dilihat hakim," katanya.
(muh)
tulis komentar anda