Cerita Kusni Kasdut, Perampok Legendaris yang Pernah Terlibat Pertempuran 10 November Surabaya
Senin, 14 Juni 2021 - 05:00 WIB
Namun ia mendapati jawaban yang mengecewakan. Nama-nama yang disebut ibunya, tidak pernah ada. Kecurigaanya terlahir sebagai anak haram , makin berlipat. Kecewanya ditumpahkan dengan ancaman tidak sudi pulang sebelum ibunya bercerita yang sebenarnya.
Dalam buku "Kusni Kasdut", Parakitri menulis, Kusni Kasdut ternyata memang bukan berasal dari Blitar. Juga bukan dari Malang. Kusni lahir di Desa Bayan Patikrejo Kabupaten Tulungagung. Sekitar 20 kilometer dari Kabupaten Blitar.
Wonomejo, ayahnya bukan kepala desa. Ayahnya seorang petani biasa. Sebelum menikahi Kastun dan memiliki anak Kusni Kasdut , Wonomejo sudah memiliki istri dengan delapan anak. Sementara Kastun sebelumnya adalah istri adik kandung Wonomejo, yang dari pernikahannnya dikaruniai satu anak perempuan yang diberi nama Kuntring.
Setelah suaminya meninggal, Kastun menjanda. Tidak berlangsung lama, istri Wonomejo juga meninggal. Diam-diam Wonomejo kemudian menikahi Kastun yang sebelumnya adalah adik iparnya. Pernikahan yang disembunyikan itu yang membuat mereka digunjingkan warga. Apalagi saat itu Kastun mengandung Kusni Kasdut .
Saat Kusni berumur enam tahun, Wonomejo meninggal dunia karena sakit. Bukan disiksa tentara Jepang. Sebelum pindah ke Malang, Kastun bersama Kusni kecil dan Kuntring kakak Kusni beda bapak, lebih dulu singgah di Desa Jatituri, Blitar. Di rumah teman Kastun yang sudah dianggap saudara, Kuntring dititipkan. Sementara Kusni dibawanya ke Malang. Untuk menyambung hidup, Kastun berjualan pecel di teras rumah kontrakan di Gang Jangkrik, Wetan Pasar.
Sekitar bulan Oktober 1945. Rombongan Kusni Kasdut tiba di Surabaya. Rombongan pejuang dari Malang datang saat insiden penyobekan bendera Belanda di Hotel Yamato, belum lama terjadi.
Saat itu situasi perlawanan arek-arek Surabaya tengah memuncak. Perlawanan dipimpin Dr Moestopo. Seorang doktor yang juga dokter gigi kelahiran Ngadiluwih, Kediri, bekas komandan PETA Sidoarjo. Di siaran RRI, Bung Tomo terus berorasi. Semangat tempur para pejuang dan rakyat , terus dibakar. Tak ada kata menyerah.
Slogan Merdeka atau Mati terus digelorakan di mana-mana. Dari pada dijajah lagi, lebih baik mati. Dalam sebuah insiden di dekat Jembatan Merah, Brigadir Jendral AWS Mallaby Komandan Brigade 49 Divisi India Ke- XXIII, tewas. Inggris marah . Dari atas pesawat selebaran berisi ultimatum untuk menyerah, disebar.
Inggris mengancam akan meluluhlantakkan Surabaya. Arek-arek Surabaya marah. Kusni Kasdut marah. Semua marah. "Arek-arek Surabaya telah mencium bau mesiu . Kita tidak bisa digertak. Rapatkan barisan saudara-saudara, Inggris kita linggis! Inggris kita linggis! Saudara-saudara dengar?, Inggris kita linggis!".
Dalam buku "Kusni Kasdut", Parakitri menulis, Kusni Kasdut ternyata memang bukan berasal dari Blitar. Juga bukan dari Malang. Kusni lahir di Desa Bayan Patikrejo Kabupaten Tulungagung. Sekitar 20 kilometer dari Kabupaten Blitar.
Wonomejo, ayahnya bukan kepala desa. Ayahnya seorang petani biasa. Sebelum menikahi Kastun dan memiliki anak Kusni Kasdut , Wonomejo sudah memiliki istri dengan delapan anak. Sementara Kastun sebelumnya adalah istri adik kandung Wonomejo, yang dari pernikahannnya dikaruniai satu anak perempuan yang diberi nama Kuntring.
Setelah suaminya meninggal, Kastun menjanda. Tidak berlangsung lama, istri Wonomejo juga meninggal. Diam-diam Wonomejo kemudian menikahi Kastun yang sebelumnya adalah adik iparnya. Pernikahan yang disembunyikan itu yang membuat mereka digunjingkan warga. Apalagi saat itu Kastun mengandung Kusni Kasdut .
Saat Kusni berumur enam tahun, Wonomejo meninggal dunia karena sakit. Bukan disiksa tentara Jepang. Sebelum pindah ke Malang, Kastun bersama Kusni kecil dan Kuntring kakak Kusni beda bapak, lebih dulu singgah di Desa Jatituri, Blitar. Di rumah teman Kastun yang sudah dianggap saudara, Kuntring dititipkan. Sementara Kusni dibawanya ke Malang. Untuk menyambung hidup, Kastun berjualan pecel di teras rumah kontrakan di Gang Jangkrik, Wetan Pasar.
Sekitar bulan Oktober 1945. Rombongan Kusni Kasdut tiba di Surabaya. Rombongan pejuang dari Malang datang saat insiden penyobekan bendera Belanda di Hotel Yamato, belum lama terjadi.
Saat itu situasi perlawanan arek-arek Surabaya tengah memuncak. Perlawanan dipimpin Dr Moestopo. Seorang doktor yang juga dokter gigi kelahiran Ngadiluwih, Kediri, bekas komandan PETA Sidoarjo. Di siaran RRI, Bung Tomo terus berorasi. Semangat tempur para pejuang dan rakyat , terus dibakar. Tak ada kata menyerah.
Slogan Merdeka atau Mati terus digelorakan di mana-mana. Dari pada dijajah lagi, lebih baik mati. Dalam sebuah insiden di dekat Jembatan Merah, Brigadir Jendral AWS Mallaby Komandan Brigade 49 Divisi India Ke- XXIII, tewas. Inggris marah . Dari atas pesawat selebaran berisi ultimatum untuk menyerah, disebar.
Inggris mengancam akan meluluhlantakkan Surabaya. Arek-arek Surabaya marah. Kusni Kasdut marah. Semua marah. "Arek-arek Surabaya telah mencium bau mesiu . Kita tidak bisa digertak. Rapatkan barisan saudara-saudara, Inggris kita linggis! Inggris kita linggis! Saudara-saudara dengar?, Inggris kita linggis!".
Lihat Juga :
tulis komentar anda