Kisruh Pilkada Malaka: MK Didesak Abaikan Keterangan Saksi Hendrikus Bria Seran, Ini Alasannya
Sabtu, 13 Maret 2021 - 15:13 WIB
JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) didesak agar mengabaikan keterangan Hendrikus Bria Seran, saksi dalam perkara sengketa Pilkada Kabupaten Malaka , Nusa Tenggara Timur (NTT). Alasannya, saksi yang diajukan oleh pihak terkait dalam sengketa perselisihan suara itu dinilai telah melakukan kebohongan publik.
Dalam perkara sengketa perselisinan suara Pilkada Malaka , paslon Stef Bria Seran-Wendelinus Taolin ( selaku pemohon) yang meraih suara 49.906 dari total 100.796 menggugat KPU Kabupaten Malaka (selaku Termohon) ke MK. Sedangkan pasangan Dr.Simon Nahak, SH, MH - Louise Lucky Taolin, S,Sos yang meraih suara 50.890 dari 100.796 adalah selaku terkait dalam perkara ini.
Pada persidangan tanggal 23 Februari 2021 lalu, MK mendengarkan keterangan saksi Hendrikus Bria Seran. Para kuasa hukum pemohon yakni Maxi Dj A Hayer, Nicolas B. B. Bangngoe, dan Joae Meco mendesak agar MK mengabaikan saksinya tersebut.
Menurut Maxi, kesaksian Hendrikus Bria Seran harus diabaikan karena dia telah melakukan kebohongan atau memberikan keterangan palsu di dalam persidangan tanggal 23 Pebruari 2021.Sebelum memberi keterangan, Hendrikus mengaku sebagai masyarakat biasa. Namun, faktanya dia seorang PNS yang menjabat sebagai Sekretaris Desa Leunkklot, Kecamatan Rinhat, Kabupaten Malaka, NTT.
“Henderikus Bria Seran adalan seorang PNS yang kini menduduki jabatan sebagai Sekretaris Muke, Golongan IIC, NIP: 196601022007011033.Aturannya, kalau seorang PNS, datang memberi kesaksian di pengadilan harus seizin dari atasannya yaitu camat. Setelah kami cek, ternyata dia (Hendrikus, red) tidak mempunyai izin dari camat,” ujar Maxi. Baca juga: Komnas HAM Soroti Longgarnya Penerapan Protokol Kesehatan Pada Pilkada 2020
Selain itu, sebelum memberikan kesaksian, Hendrikus bersumpah dengan memegang Kitab Suci, namun menurut informasi ternyata orang yang membantu memandu dan menyodorkan Kitab Suci adalah bukan seorang rohaniawan tetapi seorang sopir. Padahal, sebelum sidang Hakim bertanya kepada pihak terkait apakah sudah disiapkan rohaniwan untuk penyumpahan saksi dan pihak terkait mengiyakan.
“Penipuan telah dilakukan oleh orang yang mendampingi saksi Ferdinandus Rame (Kepala Dinas Dukcapil Kabupaten Malaka) dalam pengambilan janjisumpah saksi sebelum saksi menyampaikan keterangannya, yang dipandu oleh Yang Mulia Dr. Manahan Sitompul. Orang itu, saat pengucapan janji/sumpah tersebut bertindak seolah sebagai rohaniawan Katolik," beber kuasa hukum pemohon.
Padahal, lanjutnya, dalam peraturan perundang-undangan, yang menyodorkan atau menumpangkan Kitab Suci kepada saksi dalam persidangan. "Kalau bukan rohaniwan adalah petugas di pengadilan seperti panitera atau juru sita atau pejabat lain yang karena jabatannya berwenang untuk itu,” kata Maxi dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu (13/3/2021).
Maxi menambahkan, substansi keterangan Hendrikus dalam pengadilan berbanding lurus dengan kebohongan mengenai statusnya yakni dia memberikan keterangan tidak sesuai dengan fakta. “Karena itulah, kami meminta MK agar kesaksian Hendrikus diabaikan,” pungkas Maxi.
Joao Meco menambahkan dalam permohonan ke MK, pemohon meminta MK agar membatalkann hasil Pilkada Malaka pada tanggal 9 Desember 2020 dan memutuskan agar dilakukan pemungutan suara ulang (PSU).
Sebab, Pilkada Malaka pada 9 Desembe r itu, telah terjadi pelanggaran terstruktur, sistematis dan masif yang dilakukan oleh pihak termohon dan juga pihak terkait. Salah satu pelanggaran yang dilakukan pihak terkait seperti menjanjikan akan memberi gaji kepada semua tetua adat (fukun) di Kabupaten Malaka. “Janji seperti ini ‘kan money politic (politik uang, red),” tambah Joao Meco.
Dalam perkara sengketa perselisinan suara Pilkada Malaka , paslon Stef Bria Seran-Wendelinus Taolin ( selaku pemohon) yang meraih suara 49.906 dari total 100.796 menggugat KPU Kabupaten Malaka (selaku Termohon) ke MK. Sedangkan pasangan Dr.Simon Nahak, SH, MH - Louise Lucky Taolin, S,Sos yang meraih suara 50.890 dari 100.796 adalah selaku terkait dalam perkara ini.
Pada persidangan tanggal 23 Februari 2021 lalu, MK mendengarkan keterangan saksi Hendrikus Bria Seran. Para kuasa hukum pemohon yakni Maxi Dj A Hayer, Nicolas B. B. Bangngoe, dan Joae Meco mendesak agar MK mengabaikan saksinya tersebut.
Menurut Maxi, kesaksian Hendrikus Bria Seran harus diabaikan karena dia telah melakukan kebohongan atau memberikan keterangan palsu di dalam persidangan tanggal 23 Pebruari 2021.Sebelum memberi keterangan, Hendrikus mengaku sebagai masyarakat biasa. Namun, faktanya dia seorang PNS yang menjabat sebagai Sekretaris Desa Leunkklot, Kecamatan Rinhat, Kabupaten Malaka, NTT.
“Henderikus Bria Seran adalan seorang PNS yang kini menduduki jabatan sebagai Sekretaris Muke, Golongan IIC, NIP: 196601022007011033.Aturannya, kalau seorang PNS, datang memberi kesaksian di pengadilan harus seizin dari atasannya yaitu camat. Setelah kami cek, ternyata dia (Hendrikus, red) tidak mempunyai izin dari camat,” ujar Maxi. Baca juga: Komnas HAM Soroti Longgarnya Penerapan Protokol Kesehatan Pada Pilkada 2020
Selain itu, sebelum memberikan kesaksian, Hendrikus bersumpah dengan memegang Kitab Suci, namun menurut informasi ternyata orang yang membantu memandu dan menyodorkan Kitab Suci adalah bukan seorang rohaniawan tetapi seorang sopir. Padahal, sebelum sidang Hakim bertanya kepada pihak terkait apakah sudah disiapkan rohaniwan untuk penyumpahan saksi dan pihak terkait mengiyakan.
“Penipuan telah dilakukan oleh orang yang mendampingi saksi Ferdinandus Rame (Kepala Dinas Dukcapil Kabupaten Malaka) dalam pengambilan janjisumpah saksi sebelum saksi menyampaikan keterangannya, yang dipandu oleh Yang Mulia Dr. Manahan Sitompul. Orang itu, saat pengucapan janji/sumpah tersebut bertindak seolah sebagai rohaniawan Katolik," beber kuasa hukum pemohon.
Padahal, lanjutnya, dalam peraturan perundang-undangan, yang menyodorkan atau menumpangkan Kitab Suci kepada saksi dalam persidangan. "Kalau bukan rohaniwan adalah petugas di pengadilan seperti panitera atau juru sita atau pejabat lain yang karena jabatannya berwenang untuk itu,” kata Maxi dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu (13/3/2021).
Maxi menambahkan, substansi keterangan Hendrikus dalam pengadilan berbanding lurus dengan kebohongan mengenai statusnya yakni dia memberikan keterangan tidak sesuai dengan fakta. “Karena itulah, kami meminta MK agar kesaksian Hendrikus diabaikan,” pungkas Maxi.
Joao Meco menambahkan dalam permohonan ke MK, pemohon meminta MK agar membatalkann hasil Pilkada Malaka pada tanggal 9 Desember 2020 dan memutuskan agar dilakukan pemungutan suara ulang (PSU).
Sebab, Pilkada Malaka pada 9 Desembe r itu, telah terjadi pelanggaran terstruktur, sistematis dan masif yang dilakukan oleh pihak termohon dan juga pihak terkait. Salah satu pelanggaran yang dilakukan pihak terkait seperti menjanjikan akan memberi gaji kepada semua tetua adat (fukun) di Kabupaten Malaka. “Janji seperti ini ‘kan money politic (politik uang, red),” tambah Joao Meco.
(don)
tulis komentar anda