Kunjungan Wisman Anjlok 75 Persen, Industri Penerbangan Butuh Insentif Pemerintah
Jum'at, 26 Februari 2021 - 13:20 WIB
Pemulihan industri penerbangan Indonesia dari keterpurukan imbas pandemi COVID-19 membutuhkan bantuan dan dukungan pemerintah melalui berbagai insentif.
Apalagi, industri penerbangan adalah salah satu kontributor utama perekonomian Indonesia yang memberikan sumbangan lebih dari 2,6% produk domestik bruto (PDB) serta menyediakan sekitar 4,2 juta pekerjaan.
Ketua Umum Indonesia National Air Carries Association (INACA) Denon Prawiraatmadja mengatakan, maskapai penerbangan membutuhkan insentif perpajakan. Seluruh maskapai nasional sudah mengajukan permohonan kepada Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Kementerian Keuangan sejak Maret 2020. Namun, hingga kini persetujuan pemerintah atas permintaan insentif ini belum turun.
“Keputusan insentif perpajakan ini ada di tangan Kemenko Perekonomian. Saya berharap insentif ini bisa segera direalisasikan, karena ini membantu sekali untuk maskapai,” kata Denon di Jakarta, Kamis (25/2/2021).
Dia mengatakan, ada sekitar 36 perusahaan yang tergabung dalam asosiasi yang mengajukan permintaan insentif perpajakan. Namun, Denon memaklumi bahwa menghitung besaran Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh 21) puluhan maskapai bukan perkara mudah.
“Sampai sekarang kami cukup intens berkomunikasi dengan Kemenko Perekonomian untuk menghitung besaran insentifnya. Tapi karena ini menyangkut dana pemerintah, tentu tidak boleh salah menghitungnya, harus benar-benar sesuai,” kata Denon.
Selain itu, maskapai penerbangan juga membutuhkan fleksibilitas pembayaran ke sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang terkait dengan penerbangan, seperti Pertamina, operator bandara Angkasa Pura I dan II, dan AirNav.
Fleksibilitas pembayaran ke Pertamina, menurut Denon, terkait dengan biaya avtur. Biaya bahan bakar ini memakan 40-45% biaya operasional maskapai. Sementara, Pertamina adalah penyedia avtur satu-satunya di tanah air.
Denon mengaku paham tidak mudah juga bagi BUMN di sektor penerbagan untuk memberi keringanan pada maskapai karena mereka pun cukup terdampak akibat pandemi ini. “Itu sebabnya, yang kami mohonkan adalah fleksibilitas mekanisme pembayaran biaya-biaya, seperti biaya avtur, navigasi, dan biaya-biaya kebandaraan lainnya dari Airnav dan Angkasa Pura,” kata dia.
Sejauh ini, menurut dia, BUMN pun belum menyetujui permintaan fleksibilitas pembayaran tersebut.
Apalagi, industri penerbangan adalah salah satu kontributor utama perekonomian Indonesia yang memberikan sumbangan lebih dari 2,6% produk domestik bruto (PDB) serta menyediakan sekitar 4,2 juta pekerjaan.
Ketua Umum Indonesia National Air Carries Association (INACA) Denon Prawiraatmadja mengatakan, maskapai penerbangan membutuhkan insentif perpajakan. Seluruh maskapai nasional sudah mengajukan permohonan kepada Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Kementerian Keuangan sejak Maret 2020. Namun, hingga kini persetujuan pemerintah atas permintaan insentif ini belum turun.
“Keputusan insentif perpajakan ini ada di tangan Kemenko Perekonomian. Saya berharap insentif ini bisa segera direalisasikan, karena ini membantu sekali untuk maskapai,” kata Denon di Jakarta, Kamis (25/2/2021).
Dia mengatakan, ada sekitar 36 perusahaan yang tergabung dalam asosiasi yang mengajukan permintaan insentif perpajakan. Namun, Denon memaklumi bahwa menghitung besaran Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh 21) puluhan maskapai bukan perkara mudah.
“Sampai sekarang kami cukup intens berkomunikasi dengan Kemenko Perekonomian untuk menghitung besaran insentifnya. Tapi karena ini menyangkut dana pemerintah, tentu tidak boleh salah menghitungnya, harus benar-benar sesuai,” kata Denon.
Selain itu, maskapai penerbangan juga membutuhkan fleksibilitas pembayaran ke sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang terkait dengan penerbangan, seperti Pertamina, operator bandara Angkasa Pura I dan II, dan AirNav.
Fleksibilitas pembayaran ke Pertamina, menurut Denon, terkait dengan biaya avtur. Biaya bahan bakar ini memakan 40-45% biaya operasional maskapai. Sementara, Pertamina adalah penyedia avtur satu-satunya di tanah air.
Denon mengaku paham tidak mudah juga bagi BUMN di sektor penerbagan untuk memberi keringanan pada maskapai karena mereka pun cukup terdampak akibat pandemi ini. “Itu sebabnya, yang kami mohonkan adalah fleksibilitas mekanisme pembayaran biaya-biaya, seperti biaya avtur, navigasi, dan biaya-biaya kebandaraan lainnya dari Airnav dan Angkasa Pura,” kata dia.
Sejauh ini, menurut dia, BUMN pun belum menyetujui permintaan fleksibilitas pembayaran tersebut.
Lihat Juga :
tulis komentar anda