Akademisi UII Beberkan Poin-Poin RUU Cipta Kerja yang Rugikan Pekerja
Rabu, 13 Mei 2020 - 00:00 WIB
YOGYAKARTA - Pemerintah bersama dengan DPR tengah membahas Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Cipta Kerja). RUU ini digadang-gadang menjadi regulasi yang mempermudah dan memperlancar jalannya berbagai kegiatan usaha guna meningkatkan investasi serta memperluas lapangan kerja.
Tumpang tindih aturan dan ketidakjelasan hukum dalam berbagai UU dituding menjadi persoalan yang menghambat investasi selama ini. RUU yang dibuat dengan mekanisme Omnibus law dinilai menjadi jalan keluar menyelesaikan persoalan tersebut.
Pemerintah juga mengklaim RUU ini dalam rangka menambah pintu akses lapangan kerja bagi masyarakat. Namun rancangan undang-undang ini memunculkan polemik lantaran dinilai syarat dengan agenda memuluskan iklim investasi yang berpotensi merusak lingkungan dan melanggar hak-hak buruh.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Abdul Jamil mengatakan, ada beberapa bab krusial yang harus mendapat perhatian dari RUU Omnibus Law tersebut. Di antaranya dari aspek filosofis dan sosilogis. Aspek filosofis ruh atau semangat di balik metode omnibus law dalam RUU Cipta Kerja, hanya untuk kepentingan investasi bukan dalam rangka harmonisasi berbagai peraturan perundang-undangan.
Dari aspek sosiologis, Abdul Jamil memandang saat ini masyarakat belum membutuhkan, terutama jika dikaitkan dengan isinya yang cenderung mengedepankan kepentingan investasi/pemodal. RUU Cipta Kerja
cenderung top-down dan bukan bottom-up dari masyarakat yang membutuhkan pengaturan.
Dari aspek ketenagakerjaan, RUU Cipta Kerja potensial merugikan hak-hak pekerja. Beberapa hal yang akan memberatkan tenaga kerja berdasarkan RUU Cipta Kerja antara lain, tidak dikenalnya upah minimum kabupaten dan kota atau upah sektoral, upah bergantung pada pertumbuhan ekonomi di daerah yang bersangkutan (bukan berdasarkan inflasi), dan penghitungan upah dalam satuan waktu (jam).
"Ketentuan-ketentuan di atas akan merugikan pekerja karena penetapan upah minimum hanya di tingkat provinsi akan menimbulkan kecemburuan, terutama untuk provinsi yang pertumbuhan inflasinya berbeda antara
satu kabupaten/kota dengan kabupaten/kota lainnya," ungkap Abdul Jalil yang mewakili civitas akademika FH UII.
Tumpang tindih aturan dan ketidakjelasan hukum dalam berbagai UU dituding menjadi persoalan yang menghambat investasi selama ini. RUU yang dibuat dengan mekanisme Omnibus law dinilai menjadi jalan keluar menyelesaikan persoalan tersebut.
Pemerintah juga mengklaim RUU ini dalam rangka menambah pintu akses lapangan kerja bagi masyarakat. Namun rancangan undang-undang ini memunculkan polemik lantaran dinilai syarat dengan agenda memuluskan iklim investasi yang berpotensi merusak lingkungan dan melanggar hak-hak buruh.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Abdul Jamil mengatakan, ada beberapa bab krusial yang harus mendapat perhatian dari RUU Omnibus Law tersebut. Di antaranya dari aspek filosofis dan sosilogis. Aspek filosofis ruh atau semangat di balik metode omnibus law dalam RUU Cipta Kerja, hanya untuk kepentingan investasi bukan dalam rangka harmonisasi berbagai peraturan perundang-undangan.
Dari aspek sosiologis, Abdul Jamil memandang saat ini masyarakat belum membutuhkan, terutama jika dikaitkan dengan isinya yang cenderung mengedepankan kepentingan investasi/pemodal. RUU Cipta Kerja
cenderung top-down dan bukan bottom-up dari masyarakat yang membutuhkan pengaturan.
Dari aspek ketenagakerjaan, RUU Cipta Kerja potensial merugikan hak-hak pekerja. Beberapa hal yang akan memberatkan tenaga kerja berdasarkan RUU Cipta Kerja antara lain, tidak dikenalnya upah minimum kabupaten dan kota atau upah sektoral, upah bergantung pada pertumbuhan ekonomi di daerah yang bersangkutan (bukan berdasarkan inflasi), dan penghitungan upah dalam satuan waktu (jam).
"Ketentuan-ketentuan di atas akan merugikan pekerja karena penetapan upah minimum hanya di tingkat provinsi akan menimbulkan kecemburuan, terutama untuk provinsi yang pertumbuhan inflasinya berbeda antara
satu kabupaten/kota dengan kabupaten/kota lainnya," ungkap Abdul Jalil yang mewakili civitas akademika FH UII.
tulis komentar anda