Kenangan Sardi, Berjibaku Menyelamatkan Diri Dari Amuk Wedhus Gembel

Minggu, 15 November 2020 - 17:10 WIB
Sardi (50) saat menceritakan peristiwa erupsi Gunung Merapi yang dialaminya sebanyak tiga kali. Foto/SINDOnews/Ahmad Antoni
SLEMAN - Raut wajah Sardi (50), warga Plosorejo, Kabupaten Sleman, tampak berkaca-kaca saat menceritakan perjuangannya menyelamatkan diri dari erupsi Gunung Merapi . (Baca juga: Status Siaga, Merapi Keluarkan 11 Kali Guguran Lava Pijar dan Suara Gemuruh )

Ya, letusan Gunung Merapi masih membawa bekas dan belum sepenuhnya hilang dari ingatannya. Sardi menyebut telah mengalami kejadian letusan gunung aktif setinggi 2.930 mdpl itu sebanyak tiga kali, yakni pada tahun 1994, 2006 dan 2010.

Di antara tiga kali kejadian tersebut, peristiwa erupsi Merapi pada tahun 2010 diakuinya menjadi bencana yang paling mengerikan. Waktu itu Merapi mengeluarkan suara gemuruh disertai asap membumbung tinggi hingga 5.500 meter ke udara akibat letusan freatik.



Rumahnya yang berada di Kaliadem bak kampung mati karena terpendam guguran erupsi Merapi . Kini Sardi tinggal di Plosorejo, sebelah barat kawasan Merapi Golf. (Baca juga: Terjepit Bodi Mobil, Sopir yang Ditabrak KA Penataran Blitar-Surabaya Tewas )

"Pada saat erupsi (Gunung Merapi ) 1994, waktu itu saya kerja di Yogyakarta, dapat berita di wilayah Pakem, sudah banyak pengungsi. Warga dari kawasan Kaliurang, juga berlarian turun sampai di Pakem. Letusan dari sini (Kaliadem), tapi tahu-tahu ada angin dan arah angin ke utara hingga jatuh ke wilayah Turgo," kata Sardi saat ditemui SINDOnews.com di kawasan Kaliadem, Sleman, Sabtu (14/11/2020).

"Sedangkan pada kejadian erupsi 2006. Waktu itu kejadian berawal suara gemuruh. Posisi saya berada 2 Km dari rumah dan dari Merapi 9,8 Km. Sehingga saya selamat, namun membawa korban tetangga kampung dan relawan. Saya melihat ada evakuasi di bunker. Tapi karena panasnya pasir material yang menimbun sehingga sulit untuk mengevakuasi mereka yang terjebak di dalam bunker. Yang satu meninggal di dalam banker, satunya di luar," ujarnya.

Sementara saat erupsi tahun 2010, Gunung Merapi meluncurkan awan panas atau dalam bahasa lokal warga disebut wedhus gembel, ia tak berpikir dampaknya begitu dahsyat yakni menimbun kampungnya (kaliadem). (Baca juga: Belasan Pohon Tumbang Akibat Angin Kencang, 2 Mobil dan 1 Motor Rusak Parah )

"Posisi saya saat itu di rumah biasa aktivitas, tidak berpikir letusan Merapi bakal menimbun kampung seperti ini. Dibanding tahun-tahun sebelumnya erupsi Merapi tahun 2010 memang lebih parah. Suara keras bergemuruh membuat kaca jendela bergetar tanpa henti, waktu itu kejadian malam jumat," ujar Sardi.

Saat bersamaan, dirinya juga mendapat kabar di Umbulmartani juga ada letupan besar, ternyata benar. "Saya tidak bisa tidur, tahu-tahu jam 12 malam warga dari atas sudah turun dalam kondisi hujan pasir. Kemudian paginya ada warga yang naik, ternyata kampung sudah habis. Esoknya saya naik ternyata memang terpendam," ujarnya. (Baca juga: Gempar Buaya Raksasa Masuk Permukiman, Warga Ramai-ramai Menangkapnya )

Dari rentetan erupsi Merapi yang dialaminya, ia mengamati jika kejadian-kejadian letusan Gunung Merapi terjadi setiap akhir tahun. Seperti halnya di tahun 2020, BPPTG telah menaikkan status Gunung Merapi dari level II (Waspada) menjadi level III (Siaga).

"Saat ini Merapi Siaga, kita hanya akan patuh pada saran dari Pemerintah. Ada instruksi turun ya turun, tak bisa abaikan. Yang sudah-sudah jadi pelajaran. Harapan saya warga cepat menerima informasi atau himbaun," katanya.
(eyt)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More Content