Aliansi Kebangsaan Gelar Webinar Bedah Buku Karya Yudi Latif

Sabtu, 14 November 2020 - 02:42 WIB
Dalam konteks menyiapkan masa depan tersebut, sistem pendidikan nasional tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh globalisasi. Tidak mungkin menghindar dari arus globalisasi dengan segala pengaruhnya termasuk penetrasi kebudayaan yang begitu gencar. Sehingga tidak terhindarkan masuknya aneka-ragam paham, nilai, ideologi asing yang bertentangan dengan Pancasila dan nilai-nilai ke-Indonesiaan.

George Ritzerz dalam bukunya “The Globalization of Nothing (2005)” mengingatkan bahwa globalisasi budaya sangat berbahaya karena dapat menghilangkan identitas suatu bangsa.

Menurut Yudi Latif dalam bukunya ini, dengan pola dasar mentalitas Indonesia yang bersifat sintetis, seharusnya bangsa ini bisa menghadapi penetrasi globalisasi tersebut tanpa menimbulkan gegar budaya. Yudi Latif menyarankan agar ada arus balik dari globalisasi (reverse globalization). Seperti gangnam style Korea Selatan yang menembus Hollywood, India dengan industri film Bollywood-nya. "Namun, dengan kelemahan kepercayaan diri dalam karakter dan kapasitas nalar ilmiah kreatif, rasanya sulit bangsa Indonesia mengambil manfaat dari globalisasi. Jangan-jangan malah jadi korban," kata Pontjo.

Selain menghadapi penetrasi budaya melalui globalisasi, tanpa disadari bangsa ini juga menghadapi medan pertempuran “budaya”. Hal ini selalu saya sampaikan di berbagai kesempatan untuk menggugah kesadaran dan kewaspadaan kolektif bahwa perang Generasi-IV dewasa ini, untuk menghancurkan sebuah bangsa, lebih mengutamakan penggunanan senjata non-militer (softpower). Seperti penghancuran nilai, budaya, perusakan moral generasi masa depan bangsa, ekonomi, politik serta bidang kehidupan nasional lainnya.

Dalam konteks perang kebudayaan, saat ini bahkan sudah terjadi hegemoni budaya (cultural hegemony) oleh negara-negara tertentu atas negara-negara lain.

Dalam konteks inilah, kata dia, pendidikan tidak bisa dilepaskan dari kebudayaan. Sebagai wahana penyemaian nilai-nilai dan pembangunan budaya, pendidikan nasional sudah seharusnya tetap berakar kuat pada bangsanya sendiri, yakni pendidikan yang tidak meninggalkan akar-akar sejarah dan kebudayaan bangsa Indonesia.

Menurut Pontjo, pendidikan yang tidak didasari oleh budaya bangsa akan menghasilkan generasi yang tercabut dari kebudayaan bangsanya sendiri. Pendidikan yang tidak menyatu dengan kebudayaan akan cenderung asing dan akan ditinggalkan oleh masyarakatnya sendiri. Hanya dengan pendidikan yang berakar pada budaya sendiri, bangsa ini akan selamat menghadapi masa depan yang penuh dengan ketidakpastian.

Keterkaitan pendidikan dengan kebudayaan juga semakin menemukan relevansinya, karena budaya merupakan faktor penentu keberhasilan (determinant factor) maju atau mundurnya sebuah peradaban bangsa. Signifikansi budaya terhadap kemajuan sebuah bangsa dikemukakan oleh Yudi Latif dalam bukunya ini dengan sangat komprehensif.

Gunnar Myrdal pada tahun 1968 melakukan studi mengapa faktor budaya menjadi kendala utama untuk mencapai kemajuan dan modernisasi di negara-negara Asia Selatan seperti India, Pakistan, Bangladesh, dan Sri Lanka. Tetapi di negara-negara lain di Asia Timur (Jepang, Korea Selatan, Taiwan) justru menjadi kekuatan penggerak pembangunan, kemajuan ekonomi, dan modernisasi.

Bahkan, Jared Diamond dalam bukunya “Collapse” (2014) menyatakan bahwa kepunahan satu peradaban antara lain dimulai dari cara pandang yaitu terkait sistem nilai atau budaya, dan cara-cara penyelesaian yang ditempuh oleh bangsa tersebut terkait dengan tata kelola, seperti dicontohkan runtuhnya Uni Soviet, atau Yugoslavia beberapa tahun lalu.
Halaman :
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More Content