Aliansi Kebangsaan Gelar Webinar Bedah Buku Karya Yudi Latif
loading...
A
A
A
BOGOR - Aliansi Kebangsaan menggelar webinar bedah buku karya Yudi Latif yang berjudul Pendidikan yang Berkebudayaan, Jumat (13/11/2020).
Acara bedah buku yang digelar Aliansi Kebangsaan dan Yayasan Suluh Nuswantara Bakti ini dilaksanakan dalam rangka peringatan “Hari Pahlawan”, untuk menghormati para pahlawan. Sekaligus refleksi perenungan terhadap nilai-nilai kepahlawanan para pejuang bangsa Indonesia dalam membebaskan diri dari penjajahan. (Baca juga: FGD Aliansi Kebangsaan Ingatkan Kembali Pentingnya Haluan Negara )
"Termasuk perjuangan pembebasan dari kebodohan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan nasional," kata Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo saat berbicara dalam webinar. (Baca juga: Aliansi Kebangsaan Gelar FGD Virtual Gerakan Tranformasi Menuju Ekonomi Pengetahuan )
Pontjo mengatakan, Bangsa Indonesia memiliki sejumlah tokoh pendidikan yang sudah diakui sebagai pahlawan nasional. Di antaranya yakni, Ki Hajar Dewantara, RA Kartini, Dewi Sartika, Kyai Hasyim Asy’ari, dan Kyai Ahmad Dahlan.
"Masih banyak pejuang dan pahlawan dalam bidang pendidikan lainnya tanpa tanda jasa, seperti para dosen, guru, penyelengara pendidikan, penggiat pendidikan, pemerhati, pemikir, dan lain-lain. Salah satunya adalah Bung Yudi Latif yang banyak mencurahkan perhatian dan pemikirannya pada masalah pendidikan nasional, antara lain yang dituangkan dalam buku terbarunya Pendidikan yang Berkebudayaan yang akan kami dalami pada kesempatan ini," kata dia.
Menurut Pontjo, Aliansi Kebangsaan dan Yayasan Suluh Nuswantara Bakti menaruh perhatian besar pada pendidikan nasional karena pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan tugas konstitusional yang menjadi tanggung jawab kita bersama. Pendidikan juga merupakan investasi yang akan menentukan masa depan dan kemajuan peradaban bangsa.
Bahkan, pendidikan merupakan persoalan hidup dan matinya seluruh bangsa (education is a matter of life and death for the entire of nation). Karenanya, kita semua tentu sepakat bahwa nasib bangsa ini di masa depan sangat bergantung pada kontribusi pendidikannya. Kata Yudi Latif, pendidikan adalah benih harapan.
Dengan demikian, sistem pendidikan nasional mengemban misi atau amanah “masa depan” bangsanya. Demikian juga pandangan Daoed Joesoef (2001) tokoh pendidikan nasional kita bahwa sistem pendidikan nasional” dituntut untuk mampu mengantisipasi, merumuskan nilai-nilai, dan menetapkan prioritas-prioritas dalam suasana perubahan yang tidak pasti agar generasi-generasi mendatang tidak menjadi “mangsa” dari proses yang semakin tidak terkendali di zaman mereka di kemudian hari.
"Jangan menanti apa pun dari masa depan, karena kita sendirilah yang harus menyiapkannya," ujar Pontjo.
Dalam konteks menyiapkan masa depan tersebut, sistem pendidikan nasional tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh globalisasi. Tidak mungkin menghindar dari arus globalisasi dengan segala pengaruhnya termasuk penetrasi kebudayaan yang begitu gencar. Sehingga tidak terhindarkan masuknya aneka-ragam paham, nilai, ideologi asing yang bertentangan dengan Pancasila dan nilai-nilai ke-Indonesiaan.
George Ritzerz dalam bukunya “The Globalization of Nothing (2005)” mengingatkan bahwa globalisasi budaya sangat berbahaya karena dapat menghilangkan identitas suatu bangsa.
Menurut Yudi Latif dalam bukunya ini, dengan pola dasar mentalitas Indonesia yang bersifat sintetis, seharusnya bangsa ini bisa menghadapi penetrasi globalisasi tersebut tanpa menimbulkan gegar budaya. Yudi Latif menyarankan agar ada arus balik dari globalisasi (reverse globalization). Seperti gangnam style Korea Selatan yang menembus Hollywood, India dengan industri film Bollywood-nya. "Namun, dengan kelemahan kepercayaan diri dalam karakter dan kapasitas nalar ilmiah kreatif, rasanya sulit bangsa Indonesia mengambil manfaat dari globalisasi. Jangan-jangan malah jadi korban," kata Pontjo.
Selain menghadapi penetrasi budaya melalui globalisasi, tanpa disadari bangsa ini juga menghadapi medan pertempuran “budaya”. Hal ini selalu saya sampaikan di berbagai kesempatan untuk menggugah kesadaran dan kewaspadaan kolektif bahwa perang Generasi-IV dewasa ini, untuk menghancurkan sebuah bangsa, lebih mengutamakan penggunanan senjata non-militer (softpower). Seperti penghancuran nilai, budaya, perusakan moral generasi masa depan bangsa, ekonomi, politik serta bidang kehidupan nasional lainnya.
Dalam konteks perang kebudayaan, saat ini bahkan sudah terjadi hegemoni budaya (cultural hegemony) oleh negara-negara tertentu atas negara-negara lain.
Dalam konteks inilah, kata dia, pendidikan tidak bisa dilepaskan dari kebudayaan. Sebagai wahana penyemaian nilai-nilai dan pembangunan budaya, pendidikan nasional sudah seharusnya tetap berakar kuat pada bangsanya sendiri, yakni pendidikan yang tidak meninggalkan akar-akar sejarah dan kebudayaan bangsa Indonesia.
Menurut Pontjo, pendidikan yang tidak didasari oleh budaya bangsa akan menghasilkan generasi yang tercabut dari kebudayaan bangsanya sendiri. Pendidikan yang tidak menyatu dengan kebudayaan akan cenderung asing dan akan ditinggalkan oleh masyarakatnya sendiri. Hanya dengan pendidikan yang berakar pada budaya sendiri, bangsa ini akan selamat menghadapi masa depan yang penuh dengan ketidakpastian.
Keterkaitan pendidikan dengan kebudayaan juga semakin menemukan relevansinya, karena budaya merupakan faktor penentu keberhasilan (determinant factor) maju atau mundurnya sebuah peradaban bangsa. Signifikansi budaya terhadap kemajuan sebuah bangsa dikemukakan oleh Yudi Latif dalam bukunya ini dengan sangat komprehensif.
Gunnar Myrdal pada tahun 1968 melakukan studi mengapa faktor budaya menjadi kendala utama untuk mencapai kemajuan dan modernisasi di negara-negara Asia Selatan seperti India, Pakistan, Bangladesh, dan Sri Lanka. Tetapi di negara-negara lain di Asia Timur (Jepang, Korea Selatan, Taiwan) justru menjadi kekuatan penggerak pembangunan, kemajuan ekonomi, dan modernisasi.
Bahkan, Jared Diamond dalam bukunya “Collapse” (2014) menyatakan bahwa kepunahan satu peradaban antara lain dimulai dari cara pandang yaitu terkait sistem nilai atau budaya, dan cara-cara penyelesaian yang ditempuh oleh bangsa tersebut terkait dengan tata kelola, seperti dicontohkan runtuhnya Uni Soviet, atau Yugoslavia beberapa tahun lalu.
Mengingat demikian signifikannya peran budaya bagi kemajuan peradaban sebuah bangsa, maka pendidikan tidak bisa lepas dari kebudayaan, karena pendidikanlah menurut Ki Hajar Dewantara adalah tempat persemaian benih-benih kebudayaan. Hal ini juga disampaikan dengan sangat jelas oleh Yudi Latif dalam bukunya ini.
Dari perspektif budaya, Indonesia adalah multikultur. Oleh karena itu, pendidikan nasional yang harus dikembangkan adalah pendidikan yang berwawasan multikulturisme. Dalam pandangan saya, pertautan antara Pendidikan dan multikultural merupakan solusi atas realitas budaya bangsa Indonesia yang beragam sebagai sebuah proses pengembangan seluruh potensi yang menghargai pluralitas dan heterogenitas sebagai konsekwensi keragaman budaya, etnis, suku dan agama.
Keberagaman budaya di Indonesia merupakan kenyataan historis dan sosial yang tidak dapat disangkal dan dinegasikan oleh siapapun. Keunikan budaya yang beragam tersebut memberikan implikasi pada pola pikir, tingkah laku dan karakter yang sering kali berbeda satu sama lainnya.
Oleh karena itu, pergumulan antar budaya memberikan peluang terjadinya konflik manakala tidak terjadi saling memahami dan menghormati satu sama lain. Proses untuk meminimalisir konflik inilah memerlukan upaya pendidikan yang berwawasan budaya. Lebih khusus “multikultural” dalam rangka pemberdayaan masyarakat yang majemuk dan heterogen agar saling memahami dan menghormati serta membentuk karakter yang terbuka terhadap perbedaan.
Dari pemikiran tadi, pendidikan adalah investasi masa depan dalam lingkungan yang penuh dengan ketidakpastian namun harus tetap berakar kuat dalam bangsanya sendiri. "Saya sebagai Ketua Aliansi Kebangsaan dan Pembina Yayasan Suluh Nuswantara Bakti, menyambut baik hadirnya buku Pendidikan yang Berkebudayaan karya terbaru Yudi Latif, anggota dewan pakar Aliansi Kebangsaan, sebagai karya paripurna yang sangat fundamental dan komprehensif," kata dia.
Menurut Pontjo, dalam buku ini, Yudi Latif telah berhasil menguraikan dengan meyakinkan dan mengesankan pentingnya pendidikan nasional yang berwawasan sejarah dan berwawasan budaya.
Untuk lebih mendalami pemikiran-pemikiran Yudi latif dalam buku ini, kata Pontjo, Aliansi Kebangsaan bersama Yayasan Suluh Nuswantara Bakti berinisiatif untuk menyelenggarakan webinar bedah buku hari ini.
Aliansi Kebangsaan adalah jaringan intelektual lintas-kultural dan lintas-keyakinan yang dipersatukan oleh kepedulian yang sama untuk mengembangkan kebangsaan Indonesia yang berperadaban, termasuk dalam hal pendidikan nasional untuk ikut berkontribusi dalam mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi kita.
"Tentu kita semua percaya, tidak ada kebangkitan dan kemajuan tanpa diusahakan secara sengaja dan penuh kesadaran (socially and politically constructed). Dan upaya itu harus dimulai dari dunia pendidikan kita," kata dia.
Pendidikan yang diperlukan untuk memenuhi tantangan zaman berlandaskan paradigma Pancasila adalah dunia pendidikan transformatif.Yakni mampu mengembangkan manusia pembelajar seumur hidup yang berkarakter, kreatif, dengan kemampuan pengurusan (tata-kelola) dan kepemimpinan dalam rangka mengupayakan kebaikan hidup bersama.
"Untuk itu, pendidikan tidak hanya berkutat pada pengajaran teori, tapi harus memperkuat penanaman nilai. Pepatah mengatakan, di atas sekelompok teori kita membangun sebuah mazhab (school of thought), di atas sekelompok nilai kita bangun budaya. Itulah menurut saya arus utama pemikiran Yudi Latif dalam buku ini," pungkas Pontjo.
Acara bedah buku yang digelar Aliansi Kebangsaan dan Yayasan Suluh Nuswantara Bakti ini dilaksanakan dalam rangka peringatan “Hari Pahlawan”, untuk menghormati para pahlawan. Sekaligus refleksi perenungan terhadap nilai-nilai kepahlawanan para pejuang bangsa Indonesia dalam membebaskan diri dari penjajahan. (Baca juga: FGD Aliansi Kebangsaan Ingatkan Kembali Pentingnya Haluan Negara )
"Termasuk perjuangan pembebasan dari kebodohan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan nasional," kata Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo saat berbicara dalam webinar. (Baca juga: Aliansi Kebangsaan Gelar FGD Virtual Gerakan Tranformasi Menuju Ekonomi Pengetahuan )
Pontjo mengatakan, Bangsa Indonesia memiliki sejumlah tokoh pendidikan yang sudah diakui sebagai pahlawan nasional. Di antaranya yakni, Ki Hajar Dewantara, RA Kartini, Dewi Sartika, Kyai Hasyim Asy’ari, dan Kyai Ahmad Dahlan.
"Masih banyak pejuang dan pahlawan dalam bidang pendidikan lainnya tanpa tanda jasa, seperti para dosen, guru, penyelengara pendidikan, penggiat pendidikan, pemerhati, pemikir, dan lain-lain. Salah satunya adalah Bung Yudi Latif yang banyak mencurahkan perhatian dan pemikirannya pada masalah pendidikan nasional, antara lain yang dituangkan dalam buku terbarunya Pendidikan yang Berkebudayaan yang akan kami dalami pada kesempatan ini," kata dia.
Menurut Pontjo, Aliansi Kebangsaan dan Yayasan Suluh Nuswantara Bakti menaruh perhatian besar pada pendidikan nasional karena pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan tugas konstitusional yang menjadi tanggung jawab kita bersama. Pendidikan juga merupakan investasi yang akan menentukan masa depan dan kemajuan peradaban bangsa.
Bahkan, pendidikan merupakan persoalan hidup dan matinya seluruh bangsa (education is a matter of life and death for the entire of nation). Karenanya, kita semua tentu sepakat bahwa nasib bangsa ini di masa depan sangat bergantung pada kontribusi pendidikannya. Kata Yudi Latif, pendidikan adalah benih harapan.
Dengan demikian, sistem pendidikan nasional mengemban misi atau amanah “masa depan” bangsanya. Demikian juga pandangan Daoed Joesoef (2001) tokoh pendidikan nasional kita bahwa sistem pendidikan nasional” dituntut untuk mampu mengantisipasi, merumuskan nilai-nilai, dan menetapkan prioritas-prioritas dalam suasana perubahan yang tidak pasti agar generasi-generasi mendatang tidak menjadi “mangsa” dari proses yang semakin tidak terkendali di zaman mereka di kemudian hari.
"Jangan menanti apa pun dari masa depan, karena kita sendirilah yang harus menyiapkannya," ujar Pontjo.
Dalam konteks menyiapkan masa depan tersebut, sistem pendidikan nasional tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh globalisasi. Tidak mungkin menghindar dari arus globalisasi dengan segala pengaruhnya termasuk penetrasi kebudayaan yang begitu gencar. Sehingga tidak terhindarkan masuknya aneka-ragam paham, nilai, ideologi asing yang bertentangan dengan Pancasila dan nilai-nilai ke-Indonesiaan.
George Ritzerz dalam bukunya “The Globalization of Nothing (2005)” mengingatkan bahwa globalisasi budaya sangat berbahaya karena dapat menghilangkan identitas suatu bangsa.
Menurut Yudi Latif dalam bukunya ini, dengan pola dasar mentalitas Indonesia yang bersifat sintetis, seharusnya bangsa ini bisa menghadapi penetrasi globalisasi tersebut tanpa menimbulkan gegar budaya. Yudi Latif menyarankan agar ada arus balik dari globalisasi (reverse globalization). Seperti gangnam style Korea Selatan yang menembus Hollywood, India dengan industri film Bollywood-nya. "Namun, dengan kelemahan kepercayaan diri dalam karakter dan kapasitas nalar ilmiah kreatif, rasanya sulit bangsa Indonesia mengambil manfaat dari globalisasi. Jangan-jangan malah jadi korban," kata Pontjo.
Selain menghadapi penetrasi budaya melalui globalisasi, tanpa disadari bangsa ini juga menghadapi medan pertempuran “budaya”. Hal ini selalu saya sampaikan di berbagai kesempatan untuk menggugah kesadaran dan kewaspadaan kolektif bahwa perang Generasi-IV dewasa ini, untuk menghancurkan sebuah bangsa, lebih mengutamakan penggunanan senjata non-militer (softpower). Seperti penghancuran nilai, budaya, perusakan moral generasi masa depan bangsa, ekonomi, politik serta bidang kehidupan nasional lainnya.
Dalam konteks perang kebudayaan, saat ini bahkan sudah terjadi hegemoni budaya (cultural hegemony) oleh negara-negara tertentu atas negara-negara lain.
Dalam konteks inilah, kata dia, pendidikan tidak bisa dilepaskan dari kebudayaan. Sebagai wahana penyemaian nilai-nilai dan pembangunan budaya, pendidikan nasional sudah seharusnya tetap berakar kuat pada bangsanya sendiri, yakni pendidikan yang tidak meninggalkan akar-akar sejarah dan kebudayaan bangsa Indonesia.
Menurut Pontjo, pendidikan yang tidak didasari oleh budaya bangsa akan menghasilkan generasi yang tercabut dari kebudayaan bangsanya sendiri. Pendidikan yang tidak menyatu dengan kebudayaan akan cenderung asing dan akan ditinggalkan oleh masyarakatnya sendiri. Hanya dengan pendidikan yang berakar pada budaya sendiri, bangsa ini akan selamat menghadapi masa depan yang penuh dengan ketidakpastian.
Keterkaitan pendidikan dengan kebudayaan juga semakin menemukan relevansinya, karena budaya merupakan faktor penentu keberhasilan (determinant factor) maju atau mundurnya sebuah peradaban bangsa. Signifikansi budaya terhadap kemajuan sebuah bangsa dikemukakan oleh Yudi Latif dalam bukunya ini dengan sangat komprehensif.
Gunnar Myrdal pada tahun 1968 melakukan studi mengapa faktor budaya menjadi kendala utama untuk mencapai kemajuan dan modernisasi di negara-negara Asia Selatan seperti India, Pakistan, Bangladesh, dan Sri Lanka. Tetapi di negara-negara lain di Asia Timur (Jepang, Korea Selatan, Taiwan) justru menjadi kekuatan penggerak pembangunan, kemajuan ekonomi, dan modernisasi.
Bahkan, Jared Diamond dalam bukunya “Collapse” (2014) menyatakan bahwa kepunahan satu peradaban antara lain dimulai dari cara pandang yaitu terkait sistem nilai atau budaya, dan cara-cara penyelesaian yang ditempuh oleh bangsa tersebut terkait dengan tata kelola, seperti dicontohkan runtuhnya Uni Soviet, atau Yugoslavia beberapa tahun lalu.
Mengingat demikian signifikannya peran budaya bagi kemajuan peradaban sebuah bangsa, maka pendidikan tidak bisa lepas dari kebudayaan, karena pendidikanlah menurut Ki Hajar Dewantara adalah tempat persemaian benih-benih kebudayaan. Hal ini juga disampaikan dengan sangat jelas oleh Yudi Latif dalam bukunya ini.
Dari perspektif budaya, Indonesia adalah multikultur. Oleh karena itu, pendidikan nasional yang harus dikembangkan adalah pendidikan yang berwawasan multikulturisme. Dalam pandangan saya, pertautan antara Pendidikan dan multikultural merupakan solusi atas realitas budaya bangsa Indonesia yang beragam sebagai sebuah proses pengembangan seluruh potensi yang menghargai pluralitas dan heterogenitas sebagai konsekwensi keragaman budaya, etnis, suku dan agama.
Keberagaman budaya di Indonesia merupakan kenyataan historis dan sosial yang tidak dapat disangkal dan dinegasikan oleh siapapun. Keunikan budaya yang beragam tersebut memberikan implikasi pada pola pikir, tingkah laku dan karakter yang sering kali berbeda satu sama lainnya.
Oleh karena itu, pergumulan antar budaya memberikan peluang terjadinya konflik manakala tidak terjadi saling memahami dan menghormati satu sama lain. Proses untuk meminimalisir konflik inilah memerlukan upaya pendidikan yang berwawasan budaya. Lebih khusus “multikultural” dalam rangka pemberdayaan masyarakat yang majemuk dan heterogen agar saling memahami dan menghormati serta membentuk karakter yang terbuka terhadap perbedaan.
Dari pemikiran tadi, pendidikan adalah investasi masa depan dalam lingkungan yang penuh dengan ketidakpastian namun harus tetap berakar kuat dalam bangsanya sendiri. "Saya sebagai Ketua Aliansi Kebangsaan dan Pembina Yayasan Suluh Nuswantara Bakti, menyambut baik hadirnya buku Pendidikan yang Berkebudayaan karya terbaru Yudi Latif, anggota dewan pakar Aliansi Kebangsaan, sebagai karya paripurna yang sangat fundamental dan komprehensif," kata dia.
Menurut Pontjo, dalam buku ini, Yudi Latif telah berhasil menguraikan dengan meyakinkan dan mengesankan pentingnya pendidikan nasional yang berwawasan sejarah dan berwawasan budaya.
Untuk lebih mendalami pemikiran-pemikiran Yudi latif dalam buku ini, kata Pontjo, Aliansi Kebangsaan bersama Yayasan Suluh Nuswantara Bakti berinisiatif untuk menyelenggarakan webinar bedah buku hari ini.
Aliansi Kebangsaan adalah jaringan intelektual lintas-kultural dan lintas-keyakinan yang dipersatukan oleh kepedulian yang sama untuk mengembangkan kebangsaan Indonesia yang berperadaban, termasuk dalam hal pendidikan nasional untuk ikut berkontribusi dalam mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi kita.
"Tentu kita semua percaya, tidak ada kebangkitan dan kemajuan tanpa diusahakan secara sengaja dan penuh kesadaran (socially and politically constructed). Dan upaya itu harus dimulai dari dunia pendidikan kita," kata dia.
Pendidikan yang diperlukan untuk memenuhi tantangan zaman berlandaskan paradigma Pancasila adalah dunia pendidikan transformatif.Yakni mampu mengembangkan manusia pembelajar seumur hidup yang berkarakter, kreatif, dengan kemampuan pengurusan (tata-kelola) dan kepemimpinan dalam rangka mengupayakan kebaikan hidup bersama.
"Untuk itu, pendidikan tidak hanya berkutat pada pengajaran teori, tapi harus memperkuat penanaman nilai. Pepatah mengatakan, di atas sekelompok teori kita membangun sebuah mazhab (school of thought), di atas sekelompok nilai kita bangun budaya. Itulah menurut saya arus utama pemikiran Yudi Latif dalam buku ini," pungkas Pontjo.
(nth)