Belanda Pecah Wilayah Keraton Yogyakarta dan Surakarta Pasca Pemberontakan Mangkubumi-RM Said
Minggu, 23 Februari 2025 - 08:27 WIB
Belanda terpaksa memecah dua wilayah di bawah Keraton Yogyakarta dan Surakarta, pascapemberontakan Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas (RM) Said. Foto/SindoNews
SEMARANG - Belanda terpaksa memecah dua wilayah di bawah Keraton Yogyakarta dan Surakarta, pascapemberontakan Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas (RM) Said. Pemberontakan itu berhasil diredam dan RM Said akhirnya menyerahkan diri dan menandatangani Perjanjian Salatiga dengan Belanda pada 17 Maret 1757.
Tapi konsekuensi dari penyerahan diri itu berbuntut panjang. Wilayah dua keraton yang sudah dibagi oleh kompeni Belanda, kembali dibagi lagi terutama di wilayah Madiun Raya. Pangeran Mangkubumi ditahbiskan sebagai raja di Keraton Yogyakarta bergelar Sultan Hamengkubuwono I.
Hal ini berimbas pada wilayah Monconegoro atau yang disebut wilayah - wilayah di luar daerah inti kerajaan, yang ikut terbagi dua. Di Madiun Raya wilayahnya pun turut terbagi dua, yakni untuk Keraton Yogyakarta dan Surakarta.
Di mana untuk wilayah Keraton Surakarta, sebagaimana dikutip SindoNews, Minggu (23/2/2025) dari buku "Antara Lawu dan Wilis: Arkeologis, Sejarah, dan Legenda Madiun Raya Berdasarkan Catatan Lucien Adam Residen Madiun 1934 - 38", terdiri dari tiga daerah yakni Ponorogo dengan 12.000 cacah atau sebutan semacam satuan bagi tanah produksi yang subsisten.
Kemudian dua lainnya yakni Jogorogo, yang kini masuk Ngawi dengan 1.500 cacah, dan setengah dari wilayah Pacitan dengan 250 cacah. Sementara empat wilayah masuk Keraton Yogyakarta yakni Madiun dengan 12.000 cacah, Magetan dengan 700 cacah, Caruban, yang kini masuk Kabupaten Madiun dengan 500 cacah, dan terakhir setengah dari wilayah Pacitan dengan 250 cacah.
Selain pembagian wilayah tersebut, kompeni Belanda juga menghadiahkan Raden Mas Said sebagai penguasa pertama Pura Mangkunegoro, atau disebut Pura Mangkunegaran, bergelar Pangeran Adipati Aryo. Setelahnya perundingan pembagian wilayah kekuasaan kembali dilakukan pada 26 September 1757 di Klepu, sebuah desa yang berada di antara jalan Solo dan Yogyakarta saat itu.
Tapi lagi-lagi perundingan itu pun buntu. Perselisihan kembali terjadi hingga akhirnya dilakukan pertemuan kedua kembali di bawah pengawasan kompeni Belanda pada 2 November 1773. Hasil pertemuan itu baru disetujui oleh Raja Surakarta pada 26 April 1774, atau kurang lebih setahun pasca pertemuan diadakan.
Tapi konsekuensi dari penyerahan diri itu berbuntut panjang. Wilayah dua keraton yang sudah dibagi oleh kompeni Belanda, kembali dibagi lagi terutama di wilayah Madiun Raya. Pangeran Mangkubumi ditahbiskan sebagai raja di Keraton Yogyakarta bergelar Sultan Hamengkubuwono I.
Hal ini berimbas pada wilayah Monconegoro atau yang disebut wilayah - wilayah di luar daerah inti kerajaan, yang ikut terbagi dua. Di Madiun Raya wilayahnya pun turut terbagi dua, yakni untuk Keraton Yogyakarta dan Surakarta.
Baca Juga
Di mana untuk wilayah Keraton Surakarta, sebagaimana dikutip SindoNews, Minggu (23/2/2025) dari buku "Antara Lawu dan Wilis: Arkeologis, Sejarah, dan Legenda Madiun Raya Berdasarkan Catatan Lucien Adam Residen Madiun 1934 - 38", terdiri dari tiga daerah yakni Ponorogo dengan 12.000 cacah atau sebutan semacam satuan bagi tanah produksi yang subsisten.
Kemudian dua lainnya yakni Jogorogo, yang kini masuk Ngawi dengan 1.500 cacah, dan setengah dari wilayah Pacitan dengan 250 cacah. Sementara empat wilayah masuk Keraton Yogyakarta yakni Madiun dengan 12.000 cacah, Magetan dengan 700 cacah, Caruban, yang kini masuk Kabupaten Madiun dengan 500 cacah, dan terakhir setengah dari wilayah Pacitan dengan 250 cacah.
Baca Juga
Selain pembagian wilayah tersebut, kompeni Belanda juga menghadiahkan Raden Mas Said sebagai penguasa pertama Pura Mangkunegoro, atau disebut Pura Mangkunegaran, bergelar Pangeran Adipati Aryo. Setelahnya perundingan pembagian wilayah kekuasaan kembali dilakukan pada 26 September 1757 di Klepu, sebuah desa yang berada di antara jalan Solo dan Yogyakarta saat itu.
Tapi lagi-lagi perundingan itu pun buntu. Perselisihan kembali terjadi hingga akhirnya dilakukan pertemuan kedua kembali di bawah pengawasan kompeni Belanda pada 2 November 1773. Hasil pertemuan itu baru disetujui oleh Raja Surakarta pada 26 April 1774, atau kurang lebih setahun pasca pertemuan diadakan.
(cip)
Lihat Juga :
tulis komentar anda