Rumah Batik dan Perjuangan Menaklukan Keterbatasan
Selasa, 12 November 2024 - 11:09 WIB
Rumah Batik TBIG menerapkan sistem pembelajaran berjenjang mulai pelatihan skill membatik, kewirausahaan, dan jenjang inkubasi. Pada jenjang inkubasi, siswa Rumah Batik TBIG akan diberikan pesanan produksi batik dalam jumlah tertentu untuk memenuhi kebutuhan jaringan toko batik di Jakarta, Semarang, Solo, Cirebon dan Surabaya. Pada jenjang inkubasi ini, siswa belajar mengelola sebuah usaha skala mikro dengan bantuan permodalan tiga kali siklus produksi berbunga nol persen melalui Koperasi Bangun Bersama (KBB).
Setiap siklus yang berhasil dipenuhi, jumlah produksi akan ditingkatkan hingga akhirnya perajin menjadi pemasok batik secara reguler untuk koperasi. Batik yang diterima pun telah lulus quality control yang ketat. Selain itu, koperasi pendamping bertindak sebagai caretaker dengan memberikan kepastian pembayaran tunai kepada perajin. Ini konsep yang sangat berbeda dibandingkan jika batik perajin disimpan di toko dengan pembayaran yang biasanya lebih lama dan tidak ada kepastian.
Menurut Fahmi, pembinaan berkelanjutan ini sangat relevan karena menunjukan wujud tanggung jawab sosial yang sebenarnya. Pembinaan menyeluruh kepada peserta memberikan solusi yang bisa dijalankan. Rumah Batik TBIG diibaratkan burung-burung yang bisa bertelur, bukan hanya burung yang cantik dilihat. "Kami nggak mau cuma kasih solusi yang mengawang, harus solusi konkret dan jangka panjang," ujarnya.
Ramah Lingkungan
Dalam perjalanannya, Rumah Batik TBIG terus mendorong produk buatan alumninya agar mampu bersaing di industri batik dan membawa solusi relevan. Pengelola Rumah Batik TBIG Nanang Tri Purwanto, mengatakan program yang dijalankan terus dikembangkan, salah satunya adalah pemanfaatkan pewarna batik ramah lingkungan dan berbagai program keberlanjutan lainnya.
Rumah Batik TBIG memiliki 16 jenis tumbuhan yang bisa menghasilkan warna alami saat memproduksi batik. Ini adalah yang terbanyak di Indonesia. Rumah Batik TBIG juga mendorong program upcycle dari sampah botol plastik menjadi produk baru yang memiliki kualitas lebih tinggi dan manfaat baru. Kegiatan ini melibatkan kaum disabilitas yang tertarik mengolah batik menjadi produk lain, seperti cover laptop hingga tas.
Menurut Joko Padmanto, program ini awalnya hanya mengolah sampah botol plastik di bawah pilar CSR lingkungan Bangun Hijau Bersama. Sampah botol plastik ini diolah mesin menjadi serat yang dibentuk menjadi produk seperti tas. Namun, melihat potensi besar dan mendorong nilai jual lebih tinggi, program kolaborasi pilar lingkungan dan kebudayaan pun tercipta. "Produk tas ini tidak serumit batik tulis dan mereka (siswa disabilitas) sudah cukup mampu mengembangkan itu," ujar sosok yang bergabung dengan program ini sejak 2021.
Berbagai perkembangan ini membuat salah seorang alumni Rumah Batik TBIG, M. Abdu Rizal Bahri kagum. Alumni hasil pelatihan tahun 2015 ini bercerita berbagai pembaruan yang terus diterapkan untuk kemajuan program sangat relevan dengan kebutuhan zaman.
Pengusaha batik ini berkisah, saat bergabung ia mendapatkan pembelajaran sangat bermanfaat seputar industri batik hingga akhirnya bisa mengembangkan bisnis dan menjual produk batiknya ke luar negeri. Terlebih usai melihat program yang kini dijalankan, muncul rasa optimistis yang sangat besar. "Saya setelah lulus hanya bisa membuat dua batik saja, harus menjualnya dari toko ke toko secara mandiri," kenang Rizal.
Setiap siklus yang berhasil dipenuhi, jumlah produksi akan ditingkatkan hingga akhirnya perajin menjadi pemasok batik secara reguler untuk koperasi. Batik yang diterima pun telah lulus quality control yang ketat. Selain itu, koperasi pendamping bertindak sebagai caretaker dengan memberikan kepastian pembayaran tunai kepada perajin. Ini konsep yang sangat berbeda dibandingkan jika batik perajin disimpan di toko dengan pembayaran yang biasanya lebih lama dan tidak ada kepastian.
Menurut Fahmi, pembinaan berkelanjutan ini sangat relevan karena menunjukan wujud tanggung jawab sosial yang sebenarnya. Pembinaan menyeluruh kepada peserta memberikan solusi yang bisa dijalankan. Rumah Batik TBIG diibaratkan burung-burung yang bisa bertelur, bukan hanya burung yang cantik dilihat. "Kami nggak mau cuma kasih solusi yang mengawang, harus solusi konkret dan jangka panjang," ujarnya.
Ramah Lingkungan
Dalam perjalanannya, Rumah Batik TBIG terus mendorong produk buatan alumninya agar mampu bersaing di industri batik dan membawa solusi relevan. Pengelola Rumah Batik TBIG Nanang Tri Purwanto, mengatakan program yang dijalankan terus dikembangkan, salah satunya adalah pemanfaatkan pewarna batik ramah lingkungan dan berbagai program keberlanjutan lainnya.
Rumah Batik TBIG memiliki 16 jenis tumbuhan yang bisa menghasilkan warna alami saat memproduksi batik. Ini adalah yang terbanyak di Indonesia. Rumah Batik TBIG juga mendorong program upcycle dari sampah botol plastik menjadi produk baru yang memiliki kualitas lebih tinggi dan manfaat baru. Kegiatan ini melibatkan kaum disabilitas yang tertarik mengolah batik menjadi produk lain, seperti cover laptop hingga tas.
Menurut Joko Padmanto, program ini awalnya hanya mengolah sampah botol plastik di bawah pilar CSR lingkungan Bangun Hijau Bersama. Sampah botol plastik ini diolah mesin menjadi serat yang dibentuk menjadi produk seperti tas. Namun, melihat potensi besar dan mendorong nilai jual lebih tinggi, program kolaborasi pilar lingkungan dan kebudayaan pun tercipta. "Produk tas ini tidak serumit batik tulis dan mereka (siswa disabilitas) sudah cukup mampu mengembangkan itu," ujar sosok yang bergabung dengan program ini sejak 2021.
Berbagai perkembangan ini membuat salah seorang alumni Rumah Batik TBIG, M. Abdu Rizal Bahri kagum. Alumni hasil pelatihan tahun 2015 ini bercerita berbagai pembaruan yang terus diterapkan untuk kemajuan program sangat relevan dengan kebutuhan zaman.
Pengusaha batik ini berkisah, saat bergabung ia mendapatkan pembelajaran sangat bermanfaat seputar industri batik hingga akhirnya bisa mengembangkan bisnis dan menjual produk batiknya ke luar negeri. Terlebih usai melihat program yang kini dijalankan, muncul rasa optimistis yang sangat besar. "Saya setelah lulus hanya bisa membuat dua batik saja, harus menjualnya dari toko ke toko secara mandiri," kenang Rizal.
tulis komentar anda