Diduga Langgar Surat Edaran Dirjen Dikti, Pemilihan Rektor Unima Disoal
Minggu, 30 Agustus 2020 - 12:42 WIB
Menurut Roni, di situlah dugaan pelanggaran prosedur terjadi dalam pemilihan rektor Unima. Panitia pemilihan tidak meminta petunjuk Dirjen Dikti sebelum menggelar pemilihan langsung atau manual.
"Jadi, yang ditanyakan kenapa peraturan secara prose situ kok terjadi. Padahal sebenarnya mungkin harus minta persetujuan Dirjen dulu ketika misalnya menggelar pemilihan manual, karena itu bertentangan dengan surat Dirjen Dikti. Jadi tidak dikonsultasikan lagi," ucap dia.
Selain dari prosedur, proses pemilihan juga tidak memperhatikan sisi hukum. Hal ini, kata Roni, berkaitan dengan hak suara 35 persen menteri dalam pemilihan rektor, seperti tertuang dalam Permenristekdikti Nomor 21 Tahun 2018.
Sebelum memilih rektor, kata dia, menteri seharusnya bisa melihat rekam jejak kandidat. Menteri tidak bisa secara subjektif memilih kandidat tertentu dengan mengabaikan rekam jejak.
"Jadi kelihatannya rekam jejak itu tidak digunakan. Jadi, kami punya bukti-bukti apa yang kami jelaskan itu kami juga sudah sampaikan pada pihak kementerian untuk boleh meninjau kembali," terang dia.
Roni menjelaskan, pemilihan rektor Unima yang akhirnya digelar secara manual menyatakan bahwa kandidat nomor satu Revolson Alexius Mege mendapatkan 32 suara.
Berikutnya kandidat nomor dua yakni Deitje Adolfien Katuuk memperoleh 19 suara dan kandidat ketiga Rudi Alexander Repi mendapatkan sembilan suara.
Dari sini, kata Roni, Permenristekdikti Nomor 21 Tahun 2018 tidak dijadikan acuan ketika menteri memilih rektor.
Sebab, kata dia, suara menteri ditujukan kepada kandidat nomor dua sebesar 35 persen. Di sisi lain, hasil asesmen yang pernah dilaksanakan oleh laboratorium psikologi UI bahwa kandidat nomor dua dinyatakan "unrecommended" sebagai pimpinan dalam hal yang bersangkutan menjabat sebagai pembantu rektor satu.
Kemudian, lanjut dia, kandidat nomor dua pernah mendapat teguran dari Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Sulawesi Utara terkait pengaduan pungutan liar ke mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan Unima dalam kegiatan Probinas di tahun 2015.
"Jadi, yang ditanyakan kenapa peraturan secara prose situ kok terjadi. Padahal sebenarnya mungkin harus minta persetujuan Dirjen dulu ketika misalnya menggelar pemilihan manual, karena itu bertentangan dengan surat Dirjen Dikti. Jadi tidak dikonsultasikan lagi," ucap dia.
Selain dari prosedur, proses pemilihan juga tidak memperhatikan sisi hukum. Hal ini, kata Roni, berkaitan dengan hak suara 35 persen menteri dalam pemilihan rektor, seperti tertuang dalam Permenristekdikti Nomor 21 Tahun 2018.
Sebelum memilih rektor, kata dia, menteri seharusnya bisa melihat rekam jejak kandidat. Menteri tidak bisa secara subjektif memilih kandidat tertentu dengan mengabaikan rekam jejak.
"Jadi kelihatannya rekam jejak itu tidak digunakan. Jadi, kami punya bukti-bukti apa yang kami jelaskan itu kami juga sudah sampaikan pada pihak kementerian untuk boleh meninjau kembali," terang dia.
Roni menjelaskan, pemilihan rektor Unima yang akhirnya digelar secara manual menyatakan bahwa kandidat nomor satu Revolson Alexius Mege mendapatkan 32 suara.
Berikutnya kandidat nomor dua yakni Deitje Adolfien Katuuk memperoleh 19 suara dan kandidat ketiga Rudi Alexander Repi mendapatkan sembilan suara.
Dari sini, kata Roni, Permenristekdikti Nomor 21 Tahun 2018 tidak dijadikan acuan ketika menteri memilih rektor.
Sebab, kata dia, suara menteri ditujukan kepada kandidat nomor dua sebesar 35 persen. Di sisi lain, hasil asesmen yang pernah dilaksanakan oleh laboratorium psikologi UI bahwa kandidat nomor dua dinyatakan "unrecommended" sebagai pimpinan dalam hal yang bersangkutan menjabat sebagai pembantu rektor satu.
Kemudian, lanjut dia, kandidat nomor dua pernah mendapat teguran dari Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Sulawesi Utara terkait pengaduan pungutan liar ke mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan Unima dalam kegiatan Probinas di tahun 2015.
tulis komentar anda