Kisah Ngawi, Sebelum Perang Diponegoro Jadi Pusat Perdagangan di Jawa

Rabu, 27 Desember 2023 - 09:07 WIB
Untuk sampai tujuan, perjalanan perahu pangluput memakan waktu 8 hari. Pada saat kembali perahu membawa muatan garam, batu bara, dan dedak halus.

Karena lebih berat dan bahkan sering terpaksa ditunda, perjalanan kembali atau ke hulu memakan waktu lebih lama, yakni 4 bulan. Sementara pada musim kemarau transportasi diambil alih oleh gerobak kerbau dengan deringan keras bel lei-os (kerbau) di depan gerobak panjang. Gerobak-gerobak itu memiliki tempat perhentian di Ngawi.

“Di tempat yang tampak tidak begitu penting ini, orang-orang Tionghoa memiliki rumah dan gudang luas yang dibuat dari batu bata”.

Pada masa Perang Diponegoro (1825-1830), Ngawi dan Piak yang berada di bawah kawedanan Gladhak, Yogyakarta terjadi kerusuhan besar. Ngawi tidak lagi kondusif sebagai pusat perdagangan dan distribusi barang kebutuhan pokok.

Pada 17 September 1825 Raden Ayu Yudokusumo, yakni anak Sultan Hamengkubuwono I membawa pasukan melakukan penyerbuan di pos perdagangan Ngawi.

Pada saat yang sama seorang bernama Wirontani mengusir pengurus wilayah dan penegak hukum di Ngawi. Wirontani mengangkat diri sebagai tumenggung.

Catatan sejarawan Belanda Louw dan Klerck dalam Antara Lawu dan Wilis menyebut, kerusuhan yang terjadi di Ngawi pada 17 September 1825 berlangsung mengerikan.

Kerusuhan telah menelan banyak korban jiwa, yakni terutama orang-orang Tionghoa beserta anak dan istri mereka. Sedikitnya 14 dari 40 orang Tionghoa terbunuh dengan rumah-rumah yang ludes dibakar.
(shf)
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More Content