Guru Besar UIN Walisongo: Moderasi Beragama Titik Temu Keragaman Agama dan Kebudayaan Indonesia
Senin, 25 Desember 2023 - 19:42 WIB
Justru esensi dari agama itu sendiri yang berada pada titik kesimbangan yang berada di tengah semua individu terlepas apapun latar belakangnya.
Konsep moderasi beragama, lanjut Syamsul, sesungguhnya berada dalam koridor dan ketentuan hukum agama, serta tidak sedikitpun menyeleweng dari ketentuan Tuhan. Bahkan bisa dikatakan bahwa ketika semakin memegang prinsip-prinsip ajaran Tuhan, umat akan memiliki cara pandang yang tawazun (bijaksana dan seimbang), ta’adul (adil), dan tasamuh (toleran dan saling menghormati).
Oleh karena menjadi cara pandang yang mengedepankan kesatuan dan kesetaraan di tengah keanekaragaman, moderatisme menjadi jalan untuk memahami bahwa keanekaragaman yang ada adalah kehendak Allah. Pada saat yang bersamaan, sikap yang moderat menjadi kekuatan untuk kembali kepada Allah.
“Moderasi beragama adalah cara yang paling arif dan bijaksana untuk mencari titik temu di antara berbagai perbedaan keimanan. Sikap ini memandang bahwa semua orang, terlepas dari perbedaan pemikiran, orientasi, dan cara pandangnya, pada akhirnya kembali kepada esensi yang sama, yaitu menjadi makhluk Allah yang menerima kodrat penciptaannya,” ungkap Syamsul.
Ia menambahkan bahwa kebutuhan akan pemahaman moderasi beragama juga tidak terlepas dari maraknya ideologi transnasional yang disebarkan dan menyelinap masuk dalam kehidupan kita sehari-hari.
Bahaya laten dari pemahaman ini adalah terkikisnya sikap toleransi terhadap keberagaman, bahkan bisa menihilkan budaya asli Indonesia yang sebetulnya sarat dengan pesan kebijaksanaan dan kebaikan.
Dia menilai, radikalisme yang berbasis pada agama tertentu sebenarnya berakar dari gerakan ideologi. Maka dari itu, perlawanan yang sesuai adalah dengan menghadapinya melalui kontra ideologi yang efektif dan holistik, serta mengedepankan rasionalitas.
“Agama dan budaya bisa diibaratkan sebagai jangkar yang berfungsi menahan arus pembawa ideologi transnasional agar tidak menghanyutkan insan Indonesia dalam pengaruh negative,” tuturnya.
Akademisi yang pernah menulis buku “Radikalisme dan Terorisme: Perspektif Pendidikan Islam” pada tahun 2020 ini menambahkan bahwa dalam ajaran Islam, terdapat hadis yang indah mengenai makna muslim yang hakiki.
Hadis itu yakni "al-muslimu man salimal muslimuna min lisanihi wa yadihi," yang berarti “seorang muslim sejati adalah yang dapat menyelamatkan muslim lainnya dari lisan dan tangannya (perbuatannya).” Hadits ini menekankan pentingnya menjaga ucapan dan perilaku kita agar tidak menyakiti orang lain.
Konsep moderasi beragama, lanjut Syamsul, sesungguhnya berada dalam koridor dan ketentuan hukum agama, serta tidak sedikitpun menyeleweng dari ketentuan Tuhan. Bahkan bisa dikatakan bahwa ketika semakin memegang prinsip-prinsip ajaran Tuhan, umat akan memiliki cara pandang yang tawazun (bijaksana dan seimbang), ta’adul (adil), dan tasamuh (toleran dan saling menghormati).
Oleh karena menjadi cara pandang yang mengedepankan kesatuan dan kesetaraan di tengah keanekaragaman, moderatisme menjadi jalan untuk memahami bahwa keanekaragaman yang ada adalah kehendak Allah. Pada saat yang bersamaan, sikap yang moderat menjadi kekuatan untuk kembali kepada Allah.
“Moderasi beragama adalah cara yang paling arif dan bijaksana untuk mencari titik temu di antara berbagai perbedaan keimanan. Sikap ini memandang bahwa semua orang, terlepas dari perbedaan pemikiran, orientasi, dan cara pandangnya, pada akhirnya kembali kepada esensi yang sama, yaitu menjadi makhluk Allah yang menerima kodrat penciptaannya,” ungkap Syamsul.
Ia menambahkan bahwa kebutuhan akan pemahaman moderasi beragama juga tidak terlepas dari maraknya ideologi transnasional yang disebarkan dan menyelinap masuk dalam kehidupan kita sehari-hari.
Bahaya laten dari pemahaman ini adalah terkikisnya sikap toleransi terhadap keberagaman, bahkan bisa menihilkan budaya asli Indonesia yang sebetulnya sarat dengan pesan kebijaksanaan dan kebaikan.
Dia menilai, radikalisme yang berbasis pada agama tertentu sebenarnya berakar dari gerakan ideologi. Maka dari itu, perlawanan yang sesuai adalah dengan menghadapinya melalui kontra ideologi yang efektif dan holistik, serta mengedepankan rasionalitas.
“Agama dan budaya bisa diibaratkan sebagai jangkar yang berfungsi menahan arus pembawa ideologi transnasional agar tidak menghanyutkan insan Indonesia dalam pengaruh negative,” tuturnya.
Akademisi yang pernah menulis buku “Radikalisme dan Terorisme: Perspektif Pendidikan Islam” pada tahun 2020 ini menambahkan bahwa dalam ajaran Islam, terdapat hadis yang indah mengenai makna muslim yang hakiki.
Hadis itu yakni "al-muslimu man salimal muslimuna min lisanihi wa yadihi," yang berarti “seorang muslim sejati adalah yang dapat menyelamatkan muslim lainnya dari lisan dan tangannya (perbuatannya).” Hadits ini menekankan pentingnya menjaga ucapan dan perilaku kita agar tidak menyakiti orang lain.
tulis komentar anda