Asal Usul dan Sejarah Grobogan, Wilayah yang Kental Pergolakan
Jum'at, 31 Maret 2023 - 13:31 WIB
Karena Kertasura masih dalam keadaan kacau, maka pengawasan terhadap daerah Grobogan diserahkan kepada keponakan sekaligus menantunya yang bernama R.T. Suryonagoro (Suwandi).
Sementara untuk R. T. Martopuro sendiri masih tetap di Kartasura. R.T. Suryonagoro diserahi tugas untuk menciptakan struktur pemerintahan kabupaten pangreh praja, seperti adanya bupati, patih, kaliwon, pamewu, mantri, dan seterusnya sampai jabatan bekel di desa-desa.
Pada saat itu, Ibukota kabupaten berada di Grobogan. Namun tidak lama setelah itu atau pada tahun 1864, ibu kota kemudian dipindah ke Purwodadi.
Saat Belanda menjajah Indonesia, pemerintah kolonial telah membagi wilayah menjadi beberapa Gewesten yang bersifat administratif yang kemudian dibagi lagi menjadi Regentschap.
Regentschap Grobogan kala itu berada di dalam lingkungan Semarang Gewest. Kemudian setelah diberlakukannya Decentralisatie Besluit pada tahun 1905, Regentschap diberi hak otonom untuk mengelola daerahnya sendiri dan Grobogan memperoleh otonomi penuh pada tahun 1908.
Pada tahun 1928, berdasarkan Stattbad 1928 No. 117, Kabupaten Grobogan mendapat tambahan dua distrik dari Kabupaten Demak yaitu Distrik Manggar dengan ibukota di Godong dan Distrik Singenkidul dengan ibukota di Gubug.
Kemudian pada tahun 1933, kabupaten Grobogan juga memperoleh tambahan Asistenan Klambu dari Distrik Undaan Kudus. Pada masa pendudukan Jepang, terjadi perubahan tata pemerintahan daerah, yaitu dengan Undang-undang No. 27 tahun 1942.
Dalam peraturan tersebut, seluruh Jawa kecuali daerah Vorstenlanden dibagi atas : Syuu (Karesidenen), Si (Kotapraja), Ken (Kabupaten), Gun (Distrik), Son (Onder Distrik), dan Ku (Kelurahan/Desa).
Setelah Indonesia merdeka dan diberlakukannya Undang-undang No. 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah, maka Daerah Negara Republik Indonesia tersusun dalam tiga tingkatan, yaitu : Propinsi, Kabupaten, dan Desa (Kota Kecil).
Sementara untuk R. T. Martopuro sendiri masih tetap di Kartasura. R.T. Suryonagoro diserahi tugas untuk menciptakan struktur pemerintahan kabupaten pangreh praja, seperti adanya bupati, patih, kaliwon, pamewu, mantri, dan seterusnya sampai jabatan bekel di desa-desa.
Pada saat itu, Ibukota kabupaten berada di Grobogan. Namun tidak lama setelah itu atau pada tahun 1864, ibu kota kemudian dipindah ke Purwodadi.
Saat Belanda menjajah Indonesia, pemerintah kolonial telah membagi wilayah menjadi beberapa Gewesten yang bersifat administratif yang kemudian dibagi lagi menjadi Regentschap.
Regentschap Grobogan kala itu berada di dalam lingkungan Semarang Gewest. Kemudian setelah diberlakukannya Decentralisatie Besluit pada tahun 1905, Regentschap diberi hak otonom untuk mengelola daerahnya sendiri dan Grobogan memperoleh otonomi penuh pada tahun 1908.
Pada tahun 1928, berdasarkan Stattbad 1928 No. 117, Kabupaten Grobogan mendapat tambahan dua distrik dari Kabupaten Demak yaitu Distrik Manggar dengan ibukota di Godong dan Distrik Singenkidul dengan ibukota di Gubug.
Kemudian pada tahun 1933, kabupaten Grobogan juga memperoleh tambahan Asistenan Klambu dari Distrik Undaan Kudus. Pada masa pendudukan Jepang, terjadi perubahan tata pemerintahan daerah, yaitu dengan Undang-undang No. 27 tahun 1942.
Dalam peraturan tersebut, seluruh Jawa kecuali daerah Vorstenlanden dibagi atas : Syuu (Karesidenen), Si (Kotapraja), Ken (Kabupaten), Gun (Distrik), Son (Onder Distrik), dan Ku (Kelurahan/Desa).
Setelah Indonesia merdeka dan diberlakukannya Undang-undang No. 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah, maka Daerah Negara Republik Indonesia tersusun dalam tiga tingkatan, yaitu : Propinsi, Kabupaten, dan Desa (Kota Kecil).
tulis komentar anda