Kekejaman Anak Sultan Agung Mataram, Habisi Tokoh Senior Istana dan Ulama
Senin, 20 Maret 2023 - 07:27 WIB
Kejayaan Kerajaan Mataram mulai berangsur-angsur surut ketika Sultan Agung wafat dan takhta berganti. Sosok Sultan Amangkurat I atau yang bernama asli Raden Mas Sayidin, putra Sultan Agung . Penobatan Raden Mas Sayidin sebagai penguasa Mataram merupakan wasiat dari Sultan Agung sendiri sebelum wafat pada 1645.
Kata "Amangku" yang berarti "memangku", dan kata 'Rat' yang berarti "bumi", jadi Amangkurat berarti "memangku bumi". Ia dengan demikian menjadi raja yang berkuasa penuh atas seluruh wilayah Mataram dan daerah- daerah bawahannya. Pada upacara penobatannya sebagai raja Mataram, seluruh anggota keluarga kerajaan disumpah untuk setia, patuh dan mengabdi kepadanya.
Tetapi konon peralihan kekuasaan ini membuat masa kejayaan Kerajaan Mataram surut. Selama menjadi raja, Amangkurat I lebih banyak meninggalkan noda hitam dalam lembar sejarah Mataram. Dari "Tuah Bumi Mataram : Dari Panembahan Senopati hingga Amangkurat II", Sultan Amangkurat I bahkan dicap sebagai tiran di Mataram yang memakan banyak korban. Banyak darah dialirkan oleh Amangkurat I ketika dirinya berkuasa.
Pada perjalanan kekuasaannya Amangkurat I ternyata tidak pandai mengelola kejayaan Mataram yang telah dengan susah payah dibangun ayahnya itu. Dalam hal kepemimpinannya, Amangkurat I menerapkan sistem sentralisasi kekuasaan atau sistem pemerintahan yang terpusat.
Selain itu, Amangkurat I juga menyingkirkan tokoh-tokoh senior yang tidak sejalan dengan pandangan politiknya. Misalnya, Tumenggung Wiraguna dan Tumenggung Danupaya yang pada tahun 1647 dikirim untuk merebut Blambangan yang telah dikuasai Bali, tetapi keduanya justru dibunuh di tengah jalan tanpa alasan yang jelas.
Lalu pada tahun 1647, ibu kota Mataram dipindah ke Plered. Istana baru ini lebih banyak dibangun dengan menggunakan batu bata, sedangkan istana lama di Kerta terbuat dari kayu.
Perpindahan istana atau pusat kekuasaan tersebut diwarnai terjadinya pemberontakan Raden Mas Alit atau Pangeran Danupoyo, adik Amangkurat I sendiri yang menentang penyingkiran tokoh-tokoh senior dalam kerajaan.
Pemberontakan sang adik ini mendapat dukungan para ulama atau para tokoh Islam namun berakhir dengan kematian Mas Alit. Berhasil membantai saudara sendiri, Amangkurat I lalu berganti menghadapi para ulama atau kiai (tokoh Islam). Para ulama ini termasuk anggota keluarganya, dengan jumlah sekitar 5.000-6.000 orang lebih konon dikumpulkan di alun-alun Plered untuk dibantai.
Baca: Kisah Bayi Prabu Siliwangi Diasuh Induk Harimau di Tengah Hutan Belantara.
Bahkan Amangkurat I juga tega dengan mertuanya, Pangeran Pekik. Amangkurat I tega menjatuhkan hukuman mati terhadap Pangeran Pekik karena dituduh menculik Rara Oyi, calon selir Amangkurat I, untuk Mas Rahmat. Mas Rahmat yang merupakan anaknya Amangkurat I sendiri akhirnya diampuni setelah dipaksa membunuh Rara Oyi.
Betapa kejamnya tiran satu ini. Kepribadiannya yang buruk itu, membuat Amangkurat I sering berkonflik dengan berbagai pihak, bahkan termasuk dengan anak dan mertuanya sendir
Lihat Juga: Kisah Malam Takbiran di Timor Timur, Bukan Diiringi Suara Bedug Melainkan Desingan Peluru
Kata "Amangku" yang berarti "memangku", dan kata 'Rat' yang berarti "bumi", jadi Amangkurat berarti "memangku bumi". Ia dengan demikian menjadi raja yang berkuasa penuh atas seluruh wilayah Mataram dan daerah- daerah bawahannya. Pada upacara penobatannya sebagai raja Mataram, seluruh anggota keluarga kerajaan disumpah untuk setia, patuh dan mengabdi kepadanya.
Tetapi konon peralihan kekuasaan ini membuat masa kejayaan Kerajaan Mataram surut. Selama menjadi raja, Amangkurat I lebih banyak meninggalkan noda hitam dalam lembar sejarah Mataram. Dari "Tuah Bumi Mataram : Dari Panembahan Senopati hingga Amangkurat II", Sultan Amangkurat I bahkan dicap sebagai tiran di Mataram yang memakan banyak korban. Banyak darah dialirkan oleh Amangkurat I ketika dirinya berkuasa.
Pada perjalanan kekuasaannya Amangkurat I ternyata tidak pandai mengelola kejayaan Mataram yang telah dengan susah payah dibangun ayahnya itu. Dalam hal kepemimpinannya, Amangkurat I menerapkan sistem sentralisasi kekuasaan atau sistem pemerintahan yang terpusat.
Selain itu, Amangkurat I juga menyingkirkan tokoh-tokoh senior yang tidak sejalan dengan pandangan politiknya. Misalnya, Tumenggung Wiraguna dan Tumenggung Danupaya yang pada tahun 1647 dikirim untuk merebut Blambangan yang telah dikuasai Bali, tetapi keduanya justru dibunuh di tengah jalan tanpa alasan yang jelas.
Lalu pada tahun 1647, ibu kota Mataram dipindah ke Plered. Istana baru ini lebih banyak dibangun dengan menggunakan batu bata, sedangkan istana lama di Kerta terbuat dari kayu.
Perpindahan istana atau pusat kekuasaan tersebut diwarnai terjadinya pemberontakan Raden Mas Alit atau Pangeran Danupoyo, adik Amangkurat I sendiri yang menentang penyingkiran tokoh-tokoh senior dalam kerajaan.
Pemberontakan sang adik ini mendapat dukungan para ulama atau para tokoh Islam namun berakhir dengan kematian Mas Alit. Berhasil membantai saudara sendiri, Amangkurat I lalu berganti menghadapi para ulama atau kiai (tokoh Islam). Para ulama ini termasuk anggota keluarganya, dengan jumlah sekitar 5.000-6.000 orang lebih konon dikumpulkan di alun-alun Plered untuk dibantai.
Baca: Kisah Bayi Prabu Siliwangi Diasuh Induk Harimau di Tengah Hutan Belantara.
Bahkan Amangkurat I juga tega dengan mertuanya, Pangeran Pekik. Amangkurat I tega menjatuhkan hukuman mati terhadap Pangeran Pekik karena dituduh menculik Rara Oyi, calon selir Amangkurat I, untuk Mas Rahmat. Mas Rahmat yang merupakan anaknya Amangkurat I sendiri akhirnya diampuni setelah dipaksa membunuh Rara Oyi.
Betapa kejamnya tiran satu ini. Kepribadiannya yang buruk itu, membuat Amangkurat I sering berkonflik dengan berbagai pihak, bahkan termasuk dengan anak dan mertuanya sendir
Lihat Juga: Kisah Malam Takbiran di Timor Timur, Bukan Diiringi Suara Bedug Melainkan Desingan Peluru
(nag)
tulis komentar anda