Drama Fatimah dan Perjuangan Kakek Anies Baswedan yang Gemparkan Surabaya
Minggu, 19 Maret 2023 - 16:51 WIB
SURABAYA - Pementasan drama Fatimah menggemparkan publik Hindia Belanda (Indonesia), terutama di Surabaya, Jawa Timur.
Drama atau opera Fatimah yang pertama kali dipentaskan di Kongres ketiga PAI (Persatuan Arab Indonesia) April 1938 di Semarang, meraih sukses besar. Penonton, anggota PAI dari seluruh penjuru Hindia Belanda menyambut antusias.
Namun kesuksesan itu disusul reaksi pro kontra ketika drama Fatimah hendak dipentaskan di cabang PAI daerah lain. Rencana pementasan di Surabaya tiba-tiba dilarang. Padahal PAI telah mempersiapkan matang, termasuk tiket telah ludes terjual ke masyarakat.
Larangan muncul setelah sejumlah wulaiti, yakni sebutan untuk orang-orang Arab totok di Hindia Belanda menyampaikan protes keberatan kepada PID (Politieke Inlichtingen Dienst) atau badan intelijen politik kolonial Belanda.
Baca juga: Warga Surabaya Antusias Sambut Anies Baswedan di Jalan Tunjungan
Penolakan terutama datang dari perwakilan organisasi Al-Irsyad, Al-Khairiyah, dan Rabithah Alawiyah. “Wulaiti, khususnya adalah pihak yang menentang pementasan Fatimah,” demikian dikutip dari buku Mencari Identitas (2019).
Drama Fatimah merupakan karya Hoesin Bafagih, salah seorang tokoh PAI kelahiran Surabaya. PAI berdiri 5 Oktober 1934 di Semarang yang kelahirannya diprakarsai oleh A.R Baswedan, yakni pahlawan kemerdekaan nasional yang juga kakek Anies Baswedan mantan Gubernur DKI Jakarta.
PAI berisi orang-orang Arab keturunan campuran atau muwallad yang lahir di Indonesia. Mereka menegaskan Indonesia sebagai identitas kebangsaan, tanah air sekaligus tumpah darah, bukan Hadramaut (Yaman selatan).
Sikap nasionalisme itu bertentangan dengan garis pemikiran para wulaiti yang tetap berorientasi politik dan ekonomi ke Hadramaut. Drama Fatimah yang berisi lakon delapan babak dianggap para wulaiti sebagai kritik keras dari orang-orang PAI.
Drama atau opera Fatimah yang pertama kali dipentaskan di Kongres ketiga PAI (Persatuan Arab Indonesia) April 1938 di Semarang, meraih sukses besar. Penonton, anggota PAI dari seluruh penjuru Hindia Belanda menyambut antusias.
Namun kesuksesan itu disusul reaksi pro kontra ketika drama Fatimah hendak dipentaskan di cabang PAI daerah lain. Rencana pementasan di Surabaya tiba-tiba dilarang. Padahal PAI telah mempersiapkan matang, termasuk tiket telah ludes terjual ke masyarakat.
Larangan muncul setelah sejumlah wulaiti, yakni sebutan untuk orang-orang Arab totok di Hindia Belanda menyampaikan protes keberatan kepada PID (Politieke Inlichtingen Dienst) atau badan intelijen politik kolonial Belanda.
Baca juga: Warga Surabaya Antusias Sambut Anies Baswedan di Jalan Tunjungan
Penolakan terutama datang dari perwakilan organisasi Al-Irsyad, Al-Khairiyah, dan Rabithah Alawiyah. “Wulaiti, khususnya adalah pihak yang menentang pementasan Fatimah,” demikian dikutip dari buku Mencari Identitas (2019).
Drama Fatimah merupakan karya Hoesin Bafagih, salah seorang tokoh PAI kelahiran Surabaya. PAI berdiri 5 Oktober 1934 di Semarang yang kelahirannya diprakarsai oleh A.R Baswedan, yakni pahlawan kemerdekaan nasional yang juga kakek Anies Baswedan mantan Gubernur DKI Jakarta.
PAI berisi orang-orang Arab keturunan campuran atau muwallad yang lahir di Indonesia. Mereka menegaskan Indonesia sebagai identitas kebangsaan, tanah air sekaligus tumpah darah, bukan Hadramaut (Yaman selatan).
Sikap nasionalisme itu bertentangan dengan garis pemikiran para wulaiti yang tetap berorientasi politik dan ekonomi ke Hadramaut. Drama Fatimah yang berisi lakon delapan babak dianggap para wulaiti sebagai kritik keras dari orang-orang PAI.
Lihat Juga :
tulis komentar anda