Sabdaraja Pecah Keluarga Keraton

Selasa, 05 Mei 2015 - 10:40 WIB
Sabdaraja Pecah Keluarga Keraton
Sabdaraja Pecah Keluarga Keraton
A A A
YOGYAKARTA - Keraton Yogyakarta di ambang perpecahan. Sumbu dari perpecahan adalah terbitnya Sabdaraja Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X yang ditentang keras oleh keluarga besar Sultan HB I-HB X.

Tak heran mereka bersiap melakukan perlawanan hukum jika Raja Yogyakarta itu jadi mengubah nama dan gelar melalui Sabdaraja. Sultan sendiri akan mendaftarkan rencana pengubahan nama itu kepada Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Adik kandung HB X, Gusti Bendara Pangeran Haryo (GBPH) Prabukusumo mengatakan, keluarga besar Sri Sultan HB I sampai HB IX meminta maaf atas kekhilafan yang dilakukan sangraja dengan mengeluarkan Sabdaraja.

“Kami minta maaf karena Ngarso Dalem (SultanHB X) mau mengubah nama paten Sri Sultan Hamengku Buwono menjadi Hamengku Bawano,” katanya seusai berziarah ke makam-makam raja Mataram Islam di Kotagede Yogyakarta, kemarin.

Dalam ziarah tersebut, rombongan Keraton dihadiri empat adik SultanHBX. Mereka adalah GBPH Prabukusumo, GBPH Yudhaningrat, GBPH Cakraningrat, dan GBPH Condrodiningrat. Sejumlah kerabat keraton bergelar Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) juga hadir. Mereka naik satu mobil bernomor AB 1714 TE.

Menurut Gusti Prabu, sapaan akrab GBPH Prabukusumo, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) tidak akan berani memutuskan perubahan nama yang disampaikan sang raja seperti dalam Sabdaraja. “Tidak akan berani memutuskan begitu saja. Kalau memutuskan dan menjadikan produk hukum, (Kemendagri) akan di-PTUN-kan oleh keluarga dari HB I sampai sampai bapak (HB IX),” ujarnya.

GustiPrabumemperkirakanMendagri tidak akan gegabah dalam mengambil keputusan seputar perubahan nama dan gelar Sri Sultan HB X. “Mendagri tidak akan gegabah. Mendagri pasti akan mempelajari dan meminta masukan dari para sejarawan dan budayawan,” ungkapnya.

Namun, jika Mendagri memutuskan mengabulkan pengubahan nama dan gelar, maka keluarga besar Sultan HB I sampai HB IX siap menggugat Mendagri ke PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara). “Kita lihat perkembangan nanti. Jika iya (Mendagri mengabulkan), itu (gugatan ke PTUN) akan kita lakukan,” kata Gusti Prabu.

Gusti Prabu berharap raja bisa legowo dengan kondisi yang ada. Dia mengaku khawatir dengan kelembagaan Keraton Yogyakarta yang seolaholah sudah tercabik-cabik. “Kami harap (Sri Sultan HB X) bisa legowo,” ucapnya. Lebih lanjut Gusti Prabu menjelaskan, acara ziarah di Kotagede ini juga dimaknai sebagai permintaan maaf kepada Ki Ageng Pemanahan. Selanjutnya adik-adik Sri Sultan juga akan berziarah ke makam Ki Ageng Giring. “Kedua nama ini disebut- sebut Ngarso Dalem dalam Sabdaraja. Kami sowan untuk meminta maaf kepada beliau, termasuk kepada sinuhun semua,” ungkapnya.

Sejumlah kalangan menyayangkan ada perubahan gelar atas Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang juga Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X. Perubahan nama gelar sesuai Sabdaraja dikhawatirkan akan menghilangkan nilai- nilai spiritual Kasultanan. Sementara Sri Sultan HB X yang rencananya kemarin mengirim surat resmi pemberitahuan seputar isi Sabdaraja kepada DPRD dan Pemda DIY. Namun, DPRD DIY belum menerima surat resmi tersebut. “Belum ada surat masuk,” kata Wakil Ketua DPRD DIY Arif Noor Hartanto, kemarin.

Menurut dia, setelah surat resmi sampai di DPRD DIY, pihaknya langsung berkoordinasi dengan Pemda DIY. “Institusi DPRD dan eksekutif harus solid menyikapi hal ini. Jika memungkinkan meminta keterangan resmi dari Sri Sultan HB X, itu akan kami lakukan,” katanya. Lebih lanjut politikus PAN ini mengaku banyak menerima SMS dari berbagai kalangan, mulai dari masyarakat umum, akademisi, dan elemen warga lainnya. Mereka seluruhnya menyayangkan dan khawatir. “Menyayangkan itu (Sabdaraja), ok seperti ini kejadiannya,” ujar Inung, sapaan akrab Arif Noor Hartanto.

Inung berpendapat pergantian nama dan gelar selain dikhawatirkan menghilangkan nilai spiritualitas, juga berimplikasi terhadap keberadaan Undang- Undang Keistimewaan (UUK) DIY. “Kita dinilai gagal menjalankan UUK DIY. Atau kemudian Sultan yang berganti gelar itu akhirnya dinyatakan tidak sesuai UUK yang artinya tidak memenuhi syarat (menjabat gubernur),” ungkapnya.

Dia menilai, Sultan HB X tergesa- gesa mengubah gelar melalui Sabdaraja. Seharusnya UUK DIY dilaksanakan terlebih dahulu secara utuh, gereget, dan fokus. Misalnya, kewenangan yang diberikan kepada DIY dengan ada Dana Keistimewaan (Danais) seharusnya dilaksanakan sebaik-baiknya terlebih dulu.

Seusai berziarah ke makam Raja Mataram Islam di Kotagede, Yogyakarta, para pangeran melanjutkan ziarah ke makam Ki Ageng Giring III yang berada di Desa Sodo, Paliyan, Gunungkidul. Di sini, mereka juga memohonkan ampun dan maaf atas sikap Sri Sultan HB X yang dianggap keluar dari paugeran keraton.

Mereka yang berziarah di antaranya GBPH Prabukusumo, GBPH Yudhaningrat, dan GBPH Candradiningrat didampingi KRT Poerbokusumo yang dikenal dengan nama RM Acun Hadiwijoyo serta Raden Riyo Jaganegara. GBPH Prabukusumo menilai Sabdaraja yang dikeluarkan Sri Sultan merupakan langkah keliru.

Sebab selama ratusan tahun, Raja Keraton Yogyakarta adalah Sri Sultan Hamengku Buwono bukan Hamengku Bawono. “Apalagi beliau menyebut akan memutus perjanjian Ki Ageng Pemanahan dan Ki Ageng Giring, maka kami datang untuk nyekar ke makam dua leluhur tersebut,” ujarnya.

Menurut dia, para kerabat keraton yang sengaja berziarah ini merupakan bentuk rasa sayang dan hormat kepada raja. Karena itu, dia berharap Raja Keraton Yogyakarta mau meminta maaf kepada Tuhan. “Apalagi tidak mau lagi menjadi kalifatullah dan tidak mau menggunakan kalimat salam secara Islam,” katanya.

Ridwan anshori/ Suharjono
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3484 seconds (0.1#10.140)