Pramoedya Ananta Toer dan Tahanan Pulau Buru

Minggu, 26 April 2015 - 05:05 WIB
Pramoedya Ananta Toer...
Pramoedya Ananta Toer dan Tahanan Pulau Buru
A A A
PEMBUNUHAN dan penangkapan besar-besaran terhadap anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) dilakukan hanya beberapa hari sejak kudeta Dewan Revolusioner yang gagal, pada 1 Oktober 1965.

Seperti diketahui, dalam kudeta itu tujuh orang jenderal pucuk pemimpin Angkatan Darat (AD) tewas dibunuh. Mayat mereka ditanam dalam sumur tua di sekitar Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta.

Beberapa hari sejak kudeta, sumur tua tempat jenazah para jenderal berhasil ditemukan. Tidak jauh dari sumur tua, terdapat tempat latihan para pemuda komunis. Tentara menduga, PKI terlibat dalam kudeta.

Sejak saat itu, para anggota dan simpatisan PKI ditangkap dan dibunuh. Dalam waktu tiga bulan, sejak Oktober-Desember 1965, Komisi Peneliti Korban Gestapu melaporkan korban tewas mencapai satu juta lebih.

Selain dibunuh, ribuan anggota dan simpatisan PKI juga ditangkapi oleh tentara. Mereka dijemput secara paksa dari rumahnya, diculik dalam perjalanan tanpa mengenal waktu. Mereka yang melawan akan dihabisi.

Selama dalam penjara, para tahanan politik (tapol) kerap mendapatkan siksaan, mulai dari dipukul dengan alat keras, disetrum, hingga dicabuti kukunya satu persatu. Siksaan itu membuat para tapol menjadi gila.

Pada 1968, Mayor Jenderal Soeharto yang kemudian menjadi Presiden Indonesia menggantikan Soekarno, berencana membuang para tahanan ke tempat pengasingan yang berada sejauh 1.400 mil dari Jakarta.

Demi menjaga kewibawaan Pemerintah Orde Baru, Pancasila, dan dalih menjalankan UUD 1945, Presiden Soeharto membuang sebanyak 2.500 tapol ke tempat pengasingan di Pulau Buru, Maluku, pada tahun 1969.

Sebagian besar tapol yang dibuang pada gelombang pertama ini terdiri dari kaum intelektual, mulai dari profesor, politikus, seniman, wartawan, hingga mahasiswa. Mereka diduga terlibat langsung dalam kudeta.

Gelombang tapol yang pertama dibuang ini masuk dalam Golongan A. Jumlah mereka jauh lebih sedikit dari tapol Golongan B yang dinilai tidak terlibat secara langsung, dan Golongan C yang hanya ikut-ikutan.

Salah seorang tapol Golongan A itu adalah sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Dia masuk Golongan A hanya karena bergabung dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang berafiliasi dengan PKI.

Sama dengan para tapol lainnya, hingga kini belum jelas keterlibatan Pramoedya dalam pemberontakan sekelompok tentara yang menculik dan membunuh tujuh orang jenderal, pada 1 Oktober 1965 itu.

Pramoedya ditangkap tentara, pada 13 Oktober 1965. Karena bersikap keras terhadap tentara, dia dipukul dengan menggunakan popor senapan. Pukulan ini berakibat jangka panjang, dan membuatnya tuli.

"Aku kehilangan pendengaran sepenuhnya. Degenerasi. Aku tuli. Aku sangat takut, dan aku mulai panik," tulis Pramoedya, dalam bukunya yang diberi judul Nyanyi Sunyi Seorang Bisu Jilid Satu, halaman 92.

Saat dijemput paksa tentara dari rumahnya, Pramoedya sedang bekerja menyusun Ensiklopedi Sejarah Gerakan Kemerdekaan Nasional 1900-1945. Nahas, semua buku dan dokumentasinya dibakar tentara.

Pemusnahan harta karun Pramoedya di perpustakaan pribadinya itu diduga yang membuatnya marah dan dipukul dengan gagang sten, hingga tulang pelipis kirinya mengalami retak dan membuatnya tuli.

Padahal, buku-buku dan dokumentasi di perpustakaan pribadinya itu telah susah payah dia dikumpulkan selama 20 tahun. Hal ini sangat dia sesalkan. Karena, benda-benda itu sangat berguna di masa depan.

Hari pertama ditangkap, Pramoedya digiring sebagai pesakitan ke Kostrad. Lalu, dia dijebloskan ke dalam penjara Salemba selama empat tahun. Dari Salemba, dia dibawa ke penjara Nusakambangan.

Selama di dalam penjara, Pramoedya sudah diperlakukan kurang baik. Dia sering dimaki para penjaga lapas. Sebulan di Nusakambangan, dia diangkut kapal bersama ratusan tapol Golongan A ke Pulau Buru.

Saat pertama sampai di Pulau Buru, bersama para tapol lainnya, dia dipaksa mencabuti rumput berduri dengan menggunakan tangan kosong untuk membuka jalan, hingga tapak tangannya berdarah-darah.

Pekerjaan mencabuti rumput itu dilakukan selama enam hari tanpa henti. Baru pada hari ke-10, sejumlah alat-alat pertanian untuk membuka lahan datang seperti parang, cangkul, linggis, kapak, dan gergaji.

Saat dibuang ke Pulau Buru, usia Pramoedya sudah mencapai angka 40. Dia mendiami pulau ini selama 10 tahun lebih. Dengan kondisi fisik yang tidak lagi muda itu, dia harus selalu menjaga kesehatannya.

Selain harus belajar mencangkul dan bekerja di kebun, dia juga harus beradaptasi dengan alam Pulau Buru yang sangat panas di siang hari, dan dingin di malam hari, serta bertahan dari gigitan nyamuk malaria.

Setelah membuka jalan dan lahan pertanian di bulan-bulan dan tahun pertama, para tapol juga membentuk pemukiman penduduk yang dibagi ke dalam unit-unit kecil. Setiap unit dihuni sejumlah kelompok tapol.

Saat 750-800 tapol Golongan B tiba di Pulau Buru, pemukiman tapol Golongan A sudah terbentuk. Sejumlah infrastruktur jalan, jembatan, lapangan, dan area pertanian juga telah dibangun dan tertata rapi.

Beberapa pemukiman tapol yang berhasil dibentuk di antaranya adalah Unit Wanakarta, Wanareja, Indrakarya, Bantalareja, Indrapura, Wanayasa, dan Savanajaya. Pramoedya menempati unit Wanayasa.

Selama berada dalam pembuangan Pulau Buru, Pramoedya dilarang untuk menulis. Hal ini dirasa sangat menyiksanya. Dia mendapatkan izin menulis pada tahun 1973. Sejak saat itu, dia mulai rajin menulis.

Salah satu buku yang berhasil dia tulis adalah sebuah memoar yang berisi pengalaman hidupnya selama di Pulau Buru. Buku itu kemudian diberi judul Nyanyi Sunyi Seorang Bisu Jilid Satu dan Dua.

Selain menulis memoar, dia juga menulis buku tentang kebangkitan nasional. Buku itu kemudian dikenal dengan Tetralogi Pulau Buru, Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca.

Selain menulis beberapa buku untuk dirinya sendiri, Pramoedya juga diminta untuk membuat komik yang kemudian dia tolak, dan menuliskan riwayat hidup beberapa perwira di Pulau Buru oleh Kolonel Sutikno.

Kendati telah mendapatkan izin menulis, bukan berarti Pramoedya sudah bebas sebagai pengarang. Sebaliknya, sembilan buku tulis yang telah terisi penuh dengan catatannya justru dirampas oleh tentara.

Namun begitu, ada juga tulisan-tulisannya yang berhasil diselamatkan oleh teman-temannya sesama tapol. Izin menulis bagi Pramoedya ternyata bersifat karet, tergantung situasi politik yang sedang terjadi.

Pramoedya mulai mendapatkan sedikit kebebasannya di Pulau Buru, setelah kunjungan Pangkopkamtib Jenderal Sumitro yang berjanji akan mengirimkan buku-buku bacaan, dan alat tulis untuk dirinya.

Namun, semua barang-barang yang dikirim Jenderal Sumitro itu tidak pernah sampai kepadanya. Meski begitu, alat-alat itu akhirnya dia dapatkan dari orang lain yang menaruh simpati terhadap dirinya.

Dia mendapatkan pulpen pilot emas, sebotol tinta, dan sebuah buku tulis folio tebal. Beberapa waktu kemudian, Pramoedya memperoleh mesin ketik tua Royal 440. Fasilitas minim itu tidak disia-siakan.

Selama Pramoedya menulis, para tapol di Pulau Buru membebaskannya dari pekerjaan lapangan. Begitupun dengan makanan, semua diberikan oleh teman-temannya sesama tapol. Tentang hal ini dia menulis:

"Selama 12 tahun terakhir ini, aku memiliki sedemikian banyak teman yang sangat baik di sekitarku. Mereka membantuku mengingat apa yang sekiranya aku lupa mengingatnya sama sekali," terangnya.

Pramoedya meninggalkan tempat pengasingan Pulau Buru, pada 12 November 1979. Dari Pulau Buru, dia kembali ditahan di Magelang selama satu bulan. Pada 21 Desember 1979, dia akhirnya dibebaskan.

Pembebasan Pramoedya dari pengasingan Pulau Buru, menutup ulasan Cerita Pagi kali ini. Semoga ulasan yang singat ini dapat memberikan manfaat kepada para pembaca.

Baca juga:
Menyingkap Rahasia Pembantaian Massal 1965-1966

Sumber tulisan:
Dr Zeffry Alkatiri, Tujuh Buku Memoar tentang Pulau Buru, Makalah Konferensi Sejarah Nasional.
Rudolf Mrazek, Pramoedya Ananta Toer dan Kenangan Buru, Cermin, Agustus 2000.
Pramoedya Ananta Toer, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu Jilid Satu dan Dua, Hasta Mitra, September 2000.
Malcom Caldwell & Ernst Ultrecht, Sejarah Alternatif Indonesia, Penerbit Djaman Baroe, Cetakan I, tahun 2011.
(san)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1229 seconds (0.1#10.140)