Penggunaan Pajak Fiktif di Banten Capai Rp750 M
A
A
A
SERANG - Kepala Kantor Wilayah Driektorat Jendral Pajak (DJP) Banten Catur Rini Widosari menyebutkan, penggunaan pajak fiktif di Banten masih sangat tinggi dengan kisaran jumlah sebesar Rp750 miliar.
"Di Banten, nilai faktur yang digunakan oleh perusahaan itu sebesar 750 miliar, saya lupa berapa jumlah perusahaannya dan tersebarnya dimana saja," katanya.
Dikatakan, perusahan-perusahan tersebut tidak ada transaksinya, tiba-tiba faktur muncul dan digunakan sebagai pajak pemasukan.
Pajak pemasukan itulah yang kemudian digunakan sebagai pengurang kewajiban perpajaknya, khususnya di PPN."Kalau pengurangannya begitu besar, ujungnya di restitusi," jelasnya.
Restitusi itulah lanjut Catur, yang kemudian membuat uang negara keluar. Hal tersebut yang diusahakan untuk dicegah oleh DJP."Jangan sampai mengeluarkan uang negara yang tidak harusnya keluar," sebutnya.
Catur mengakui masih banyak sektor yang mengakali pajak mulai dari perusahaan eksportir, manufacture, dan lainnya.
"Kalau penerbitnya tidak bisa diklarifikasi. Karena tidak ada penerbit dan tidak ada apa-apanya. Intinya mereka ingin mengurangi kewajiban pajaknya," kata Catur.
Sementar dari data DJP Kementerian Keuangan Republik Indoensia selama enam bulan, pihak DJP berhasil mengkonfirmasi 499 wajib pajak dari lima Kanwil pajak di Jakarta.
Dari jumlah 80,76 persen, atau 403 wajib pajak mengakui perbuatannya telah menggunakan faktur pajak fiktif."Sedangkan sisanya menyanggah atau dilanjutkan proses selanjutnya, seperti proses pidana," terang Catur.
Dari angka Rp. 934,21 miliar nilai total faktur pajak yang diklarifikasi, sebesar 76,54 persen atau Rp 715.02 miliar telah terklarifikasi dan disetujui oleh wajib pajak untuk dibayar.
Penggunaan dan penerbitan faktur pajak fiktif merupakan perbuatan pidana yang tertuang dalam UU Perpajakan Pasal 13a.
"Untuk ancaman penjara maksimal enam tahun dan denda maksimal empat empat kali jumlah pajak terutang yang tidak dibayar atau kurang," pungkas Catur.
"Di Banten, nilai faktur yang digunakan oleh perusahaan itu sebesar 750 miliar, saya lupa berapa jumlah perusahaannya dan tersebarnya dimana saja," katanya.
Dikatakan, perusahan-perusahan tersebut tidak ada transaksinya, tiba-tiba faktur muncul dan digunakan sebagai pajak pemasukan.
Pajak pemasukan itulah yang kemudian digunakan sebagai pengurang kewajiban perpajaknya, khususnya di PPN."Kalau pengurangannya begitu besar, ujungnya di restitusi," jelasnya.
Restitusi itulah lanjut Catur, yang kemudian membuat uang negara keluar. Hal tersebut yang diusahakan untuk dicegah oleh DJP."Jangan sampai mengeluarkan uang negara yang tidak harusnya keluar," sebutnya.
Catur mengakui masih banyak sektor yang mengakali pajak mulai dari perusahaan eksportir, manufacture, dan lainnya.
"Kalau penerbitnya tidak bisa diklarifikasi. Karena tidak ada penerbit dan tidak ada apa-apanya. Intinya mereka ingin mengurangi kewajiban pajaknya," kata Catur.
Sementar dari data DJP Kementerian Keuangan Republik Indoensia selama enam bulan, pihak DJP berhasil mengkonfirmasi 499 wajib pajak dari lima Kanwil pajak di Jakarta.
Dari jumlah 80,76 persen, atau 403 wajib pajak mengakui perbuatannya telah menggunakan faktur pajak fiktif."Sedangkan sisanya menyanggah atau dilanjutkan proses selanjutnya, seperti proses pidana," terang Catur.
Dari angka Rp. 934,21 miliar nilai total faktur pajak yang diklarifikasi, sebesar 76,54 persen atau Rp 715.02 miliar telah terklarifikasi dan disetujui oleh wajib pajak untuk dibayar.
Penggunaan dan penerbitan faktur pajak fiktif merupakan perbuatan pidana yang tertuang dalam UU Perpajakan Pasal 13a.
"Untuk ancaman penjara maksimal enam tahun dan denda maksimal empat empat kali jumlah pajak terutang yang tidak dibayar atau kurang," pungkas Catur.
(nag)