Perawan Indonesia dalam Cengkraman Militer Jepang
A
A
A
PENJAJAHAN JEPANG atas Indonesia berlangsung sejak Maret 1942 hingga 17 Agustus 1945. Kendati berlangsung singkat, tentara Jepang sanggup membuat luka yang begitu dalam bagi rakyat Indonesia.
Setiap hari, orang bergelimpangan mati kelaparan di pinggir jalan, di pasar, dan di bawah kolong jembatan. Hasil tani dirampas, para petani di desa-desa dipaksa bekerja ke luar desanya tanpa meraih imbalan.
Para pelajar tidak sempat membaca buku, mereka dipaksa melakukan gerak badan atau taiso, latihan baris berbaris atau kyoren, dan kerja bakti atau kinrohooshi yang sangat melelahkan dan menyita waktu.
Mereka yang kondisi badannya lemah, dan terjatuh saat latihan, akan disadarkan dengan cara ditampar bertubi-tubi. Luka yang diderita hanya diberi obat ala kadarnya, karena dokter dan apotek tidak ada saat itu.
Seluruh lapisan masyarakat hidup sangat kekurangan, kelaparan, dan menderita kemiskinan. Harta benda yang bernilai jual, dirampas para tentara. Hidup rakyat menjadi sangat susah, dan serba kesulitan.
Dari semua lapisan masyarakat itu, hanya kelompok pedagang saja yang sanggup bertahan. Namun, jumlah para saudagar ini tidak banyak. Mereka hanya bagian terkecil dari masyarakat Indonesia saat itu.
Penderitaan rakyat semakin berat setiap bulannya. Pada 1943, tersiar kabar Pemerintah Balatentara Pendudukan Dai Nipon akan mengirimkan para pemuda dan pemudi untuk disekolahkan di Jepang dan Singapura.
Kabar itu langsung disambut gembira. Banyak rakyat yang merelakan anak gadisnya dibawa tentara Jepang untuk mengikuti pendidikan. Para gadis itu berharap, usai pendidikan bisa membantu perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Namun, seperginya mereka, banyak yang tidak bisa kembali ke rumah. Karena, faktanya mereka tidak pernah dikirim ke sekolah oleh Pemerintah Jepang. Mereka dikirim ke medan pertempuran, untuk dijadikan budak seks tentara Jepang.
Jumlah mereka yang dikirim ke medan pertempuran diperkirakan mencapai 200.000 orang. Mereka berasal dari berbagai negara yang telah dijajah Jepang, seperti Burma, Filipina, Taiwan, dan Korea Selatan. Inilah kejahatan perang Pemerintah Jepang.
Pramoedya Ananta Toer dalam catatan Pulau Buru berjudul Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer menggambarkan bagaimana tentara Jepang memperlakukan para gadis terpelajar itu sebagai budak seks.
Dengan menggunakan motor, para tentara Jepang menjemput para remaja putri pilihan ke rumah-rumah warga di kota, desa, dan kampung. Mereka lalu dibawa ke tempat pengepulan atau penampungan dengan penjagaan ketat.
Di Surabaya, tempat pengepulan itu berada di Jalan Peiping, sekarang bernama Jalan Sidolawang Baru, di Kompleks Perumahan Kotapraja. Di Jakarta, mereka ditempatkan di rumah keluarga De Boer.
Rumah itu berada di Jalan Bungur, dekat Stasiun Senen. Sedangkan di Solo, tempat pengepulan itu berada di Jalan Purwosari, sekarang bernama Jalan Slamet Riyadi. Semua tempat itu dijaga ketat tentara.
Para gadis yang dibawa tentara Jepang rata-rata berusia 16-19 tahun. Pada awalnya, mereka sangat senang mengikuti program pendidikan itu. Namun, ada juga yang mengikutinya dengan perasaan berat.
Saat para gadis itu di tempat pengepulan, banyak para tentara Jepang yang datang diangkut mobil truk. Sebagian tentara itu diketahui dalam keadaan mabuk. Mereka juga kerap berlaku kasar dan tidak sopan.
Tidak ada yang mengetahui apa yang dilakukan para tentara itu, karena tempat pengepulan selalu tertutup rapat dan dijaga banyak tentara bersenjata lengkap. Dari tempat ini, para gadis itu dibawa ke pelabuhan.
Dari pelabuhan, mereka diangkut ke dalam kapal-kapal dengan tujuan yang satu dan lainnya saling berbeda. Sejak berada di dalam kapal, para gadis ini diperkosa satu persatu oleh para tentara Jepang.
Ada yang berusaha melarikan diri dengan cara melompat ke laut, namun berhasil digagalkan, dan diperkosa dengan beringas. Selama dalam perjalanan di laut, para gadis malang ini harus melayani nafsu tentara.
Setibanya di tempat tujuan, bukan sekolah yang Jepang dijanjikan, para gadis ini malah dimasukan ke dalam rumah. Para tentara Jepang yang pulang berperang, bebas berkunjung ke rumah itu memuaskan seksnya.
Di rumah itu, para gadis dijadikan pelacur atau jugun ianfu oleh tentara Jepang. Rumah itu tersebar di berbagai daerah di dalam dan luar negeri, tempat para tentara Jepang menggempur pasukan sekutu.
Pemerintah Jepang bukan hanya merusak tubuh para gadis terpelajar Indonesia, tetapi juga merusak moral mereka. Selama di tempat pelacuran itu, mereka selalu dicekoki dengan minuman keras.
Selain Pramoedya Ananta Toer, Pandir Kelana yang merupakan nama pena Slamet Danusudirdjo dalam novelnya Suro Buldog, Orang Buangan Tanah Merah, juga mengulas singkat kisah para gadis malang itu.
Namun, berbeda dengan Pramoedya yang membongkar kebohongan Pemerintah Jepang dalam mencari gadis remaja untuk di sekolahkan, Suro Buldog membongkar prilaku bejat pembesar Jepang.
Bukan hanya para tentara yang haus keinginan seksual, para pembesar Jepang juga lebih buas. Pada awalnya, mereka melampiaskan nafsu birahinya kepada pelacur jalanan. Namun, mereka dianggap terlalu liar.
Hingga akhirnya, mereka mengambil secara paksa anak gadis warga di desa dan kampung-kampung, untuk dijadikan budak seks. Untuk mendapatkan budak seks ini, mereka menyuruh para pembesar pribumi.
Kendati berat melakukan perbuatan itu, demi mencari keselamatan diri sendiri, para pembesar pribumi ini akhirnya mengorbankan anak gadis warganya. Mereka diambil secara paksa dari rumahnya satu persatu.
Saat para gadis ini mulai sulit dicari, para pembesar pribumi ini mulai berpikir. Mereka juga mulai muak dengan sikap para pembesar Jepang yang terus mencari budak seks dari gadis baik-baik dan terpelajar.
Para pembesar pribumi itu akhirnya mengambil para pelacur jalanan. Mereka dikorbankan untuk para gadis baik-baik dan terpelajar. Namun para pelacur jalanan tidak bisa langsung diberikan kepada para pembesar Jepang, yang hanya ingin gadis baik-baik.
Dengan tipu muslihat, akhirnya para pelacur jalanan yang kurang punya adat diajar tata krama. Hal itu untuk membuat mereka terlihat terpelajar. Setelah lulus latihan, baru mereka dikirim menjadi budak seks.
Langkah ini dianggap berhasil. Para pembesar Jepang tidak curiga melihat para pelacur jalanan itu. Mereka bahkan menyukai permainan mereka. Gadis desa terpelajar pun akhirnya terselamatkan.
Perbudakaan seks tentara Jepang itu baru berakhir setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Namun, sebagian besar gadis yang disekolahkan di tempat pelacuran tidak kembali.
Hanya sebagian kecil saja dari mereka yang berhasil kembali, meski dalam kondisi yang telah sangat remuk. Sedangkan sebagian besar yang lain, hingga kini belum jelas keberadaannya. Demikian ulasan Cerita Pagi ini diakhiri, semoga bermanfaat.
Sumber tulisan:
Pramoedya Ananta Toer, Perawan Remaja dalam Cengkaraman Militer, Catatan Pulau Buru, KPG, Juni 2011
Pandir Kelana, Suro Buldog, Orang Buangan Tanah Merah, Grafitipers, 1986
Pandir Kelana, Taman Ismail Marzuki
Jugun Ianfu, Wikipedia Indonesia
Setiap hari, orang bergelimpangan mati kelaparan di pinggir jalan, di pasar, dan di bawah kolong jembatan. Hasil tani dirampas, para petani di desa-desa dipaksa bekerja ke luar desanya tanpa meraih imbalan.
Para pelajar tidak sempat membaca buku, mereka dipaksa melakukan gerak badan atau taiso, latihan baris berbaris atau kyoren, dan kerja bakti atau kinrohooshi yang sangat melelahkan dan menyita waktu.
Mereka yang kondisi badannya lemah, dan terjatuh saat latihan, akan disadarkan dengan cara ditampar bertubi-tubi. Luka yang diderita hanya diberi obat ala kadarnya, karena dokter dan apotek tidak ada saat itu.
Seluruh lapisan masyarakat hidup sangat kekurangan, kelaparan, dan menderita kemiskinan. Harta benda yang bernilai jual, dirampas para tentara. Hidup rakyat menjadi sangat susah, dan serba kesulitan.
Dari semua lapisan masyarakat itu, hanya kelompok pedagang saja yang sanggup bertahan. Namun, jumlah para saudagar ini tidak banyak. Mereka hanya bagian terkecil dari masyarakat Indonesia saat itu.
Penderitaan rakyat semakin berat setiap bulannya. Pada 1943, tersiar kabar Pemerintah Balatentara Pendudukan Dai Nipon akan mengirimkan para pemuda dan pemudi untuk disekolahkan di Jepang dan Singapura.
Kabar itu langsung disambut gembira. Banyak rakyat yang merelakan anak gadisnya dibawa tentara Jepang untuk mengikuti pendidikan. Para gadis itu berharap, usai pendidikan bisa membantu perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Namun, seperginya mereka, banyak yang tidak bisa kembali ke rumah. Karena, faktanya mereka tidak pernah dikirim ke sekolah oleh Pemerintah Jepang. Mereka dikirim ke medan pertempuran, untuk dijadikan budak seks tentara Jepang.
Jumlah mereka yang dikirim ke medan pertempuran diperkirakan mencapai 200.000 orang. Mereka berasal dari berbagai negara yang telah dijajah Jepang, seperti Burma, Filipina, Taiwan, dan Korea Selatan. Inilah kejahatan perang Pemerintah Jepang.
Pramoedya Ananta Toer dalam catatan Pulau Buru berjudul Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer menggambarkan bagaimana tentara Jepang memperlakukan para gadis terpelajar itu sebagai budak seks.
Dengan menggunakan motor, para tentara Jepang menjemput para remaja putri pilihan ke rumah-rumah warga di kota, desa, dan kampung. Mereka lalu dibawa ke tempat pengepulan atau penampungan dengan penjagaan ketat.
Di Surabaya, tempat pengepulan itu berada di Jalan Peiping, sekarang bernama Jalan Sidolawang Baru, di Kompleks Perumahan Kotapraja. Di Jakarta, mereka ditempatkan di rumah keluarga De Boer.
Rumah itu berada di Jalan Bungur, dekat Stasiun Senen. Sedangkan di Solo, tempat pengepulan itu berada di Jalan Purwosari, sekarang bernama Jalan Slamet Riyadi. Semua tempat itu dijaga ketat tentara.
Para gadis yang dibawa tentara Jepang rata-rata berusia 16-19 tahun. Pada awalnya, mereka sangat senang mengikuti program pendidikan itu. Namun, ada juga yang mengikutinya dengan perasaan berat.
Saat para gadis itu di tempat pengepulan, banyak para tentara Jepang yang datang diangkut mobil truk. Sebagian tentara itu diketahui dalam keadaan mabuk. Mereka juga kerap berlaku kasar dan tidak sopan.
Tidak ada yang mengetahui apa yang dilakukan para tentara itu, karena tempat pengepulan selalu tertutup rapat dan dijaga banyak tentara bersenjata lengkap. Dari tempat ini, para gadis itu dibawa ke pelabuhan.
Dari pelabuhan, mereka diangkut ke dalam kapal-kapal dengan tujuan yang satu dan lainnya saling berbeda. Sejak berada di dalam kapal, para gadis ini diperkosa satu persatu oleh para tentara Jepang.
Ada yang berusaha melarikan diri dengan cara melompat ke laut, namun berhasil digagalkan, dan diperkosa dengan beringas. Selama dalam perjalanan di laut, para gadis malang ini harus melayani nafsu tentara.
Setibanya di tempat tujuan, bukan sekolah yang Jepang dijanjikan, para gadis ini malah dimasukan ke dalam rumah. Para tentara Jepang yang pulang berperang, bebas berkunjung ke rumah itu memuaskan seksnya.
Di rumah itu, para gadis dijadikan pelacur atau jugun ianfu oleh tentara Jepang. Rumah itu tersebar di berbagai daerah di dalam dan luar negeri, tempat para tentara Jepang menggempur pasukan sekutu.
Pemerintah Jepang bukan hanya merusak tubuh para gadis terpelajar Indonesia, tetapi juga merusak moral mereka. Selama di tempat pelacuran itu, mereka selalu dicekoki dengan minuman keras.
Selain Pramoedya Ananta Toer, Pandir Kelana yang merupakan nama pena Slamet Danusudirdjo dalam novelnya Suro Buldog, Orang Buangan Tanah Merah, juga mengulas singkat kisah para gadis malang itu.
Namun, berbeda dengan Pramoedya yang membongkar kebohongan Pemerintah Jepang dalam mencari gadis remaja untuk di sekolahkan, Suro Buldog membongkar prilaku bejat pembesar Jepang.
Bukan hanya para tentara yang haus keinginan seksual, para pembesar Jepang juga lebih buas. Pada awalnya, mereka melampiaskan nafsu birahinya kepada pelacur jalanan. Namun, mereka dianggap terlalu liar.
Hingga akhirnya, mereka mengambil secara paksa anak gadis warga di desa dan kampung-kampung, untuk dijadikan budak seks. Untuk mendapatkan budak seks ini, mereka menyuruh para pembesar pribumi.
Kendati berat melakukan perbuatan itu, demi mencari keselamatan diri sendiri, para pembesar pribumi ini akhirnya mengorbankan anak gadis warganya. Mereka diambil secara paksa dari rumahnya satu persatu.
Saat para gadis ini mulai sulit dicari, para pembesar pribumi ini mulai berpikir. Mereka juga mulai muak dengan sikap para pembesar Jepang yang terus mencari budak seks dari gadis baik-baik dan terpelajar.
Para pembesar pribumi itu akhirnya mengambil para pelacur jalanan. Mereka dikorbankan untuk para gadis baik-baik dan terpelajar. Namun para pelacur jalanan tidak bisa langsung diberikan kepada para pembesar Jepang, yang hanya ingin gadis baik-baik.
Dengan tipu muslihat, akhirnya para pelacur jalanan yang kurang punya adat diajar tata krama. Hal itu untuk membuat mereka terlihat terpelajar. Setelah lulus latihan, baru mereka dikirim menjadi budak seks.
Langkah ini dianggap berhasil. Para pembesar Jepang tidak curiga melihat para pelacur jalanan itu. Mereka bahkan menyukai permainan mereka. Gadis desa terpelajar pun akhirnya terselamatkan.
Perbudakaan seks tentara Jepang itu baru berakhir setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Namun, sebagian besar gadis yang disekolahkan di tempat pelacuran tidak kembali.
Hanya sebagian kecil saja dari mereka yang berhasil kembali, meski dalam kondisi yang telah sangat remuk. Sedangkan sebagian besar yang lain, hingga kini belum jelas keberadaannya. Demikian ulasan Cerita Pagi ini diakhiri, semoga bermanfaat.
Sumber tulisan:
Pramoedya Ananta Toer, Perawan Remaja dalam Cengkaraman Militer, Catatan Pulau Buru, KPG, Juni 2011
Pandir Kelana, Suro Buldog, Orang Buangan Tanah Merah, Grafitipers, 1986
Pandir Kelana, Taman Ismail Marzuki
Jugun Ianfu, Wikipedia Indonesia
(san)