Berharap Keringanan, Rela Tidur di Rumah Sempit
A
A
A
Terik matahari siang menyengat kulit. Di sekitar proyek rel ganda milik PT Kereta Api Indonesia (KAI), Jalan Noroyono, terlihat kesibukan di antaranya bangunan yang sudah rata dengan tanah.
Mereka adalah warga RT 01 RWI Kelurahan Bulu Lor yang tetap bertahan kendati rumahnya berbatasan langsung dengan rel. Salah satunya adalah Mulyani, 38. Siang itu dia tengah sibuk menyiapkan makan siang untuk anaknya yang masih berusia belasan tahun. Di rumah semipermanen berukuran 2x5 meter persegi, Mulyani bersama suami dan empat anaknya menjalani rutinitas hari demi hari sejak bangunan lama dirobohkan oleh PT KAI untuk proyek rel ganda, dua tahun lalu.
Dapur, ruang tamu, ruang makan, kini menjadi satu. Bagian belakang rumah tersebut adalah pagar pembatas yang sekaligus menjadi penutup rumah. Jarak antara rel dan belakang rumah hanya sekitar lima meter. Sementara teras rumahnya merupakan tepi jalan raya. Puluhan tetangganya sudah pindah dan membongkar rumahnya sendiri.
Ada yang mengontrak di kawasan tersebut, ada juga yang membeli rumah di tempat lain. Saat ini, di RT tersebut, masih bertahan enam kepala keluar (KK). Mereka masih berharap diperbolehkan untuk menyewa tempat tersebut, dengan tetap membayar setiap bulan ataupun setahun sekali. Warga beralasan, untuk mencari tempat tinggal baru cukup memberatkan.
“Tali asih PT KA Rp7 juta, ibaratnya untuk ganti paku. Kontrak setahun saja sekarang sekitar Rp4 juta, dan itu cepat, kami tidak mampu.” ujar Mulyani. Di sepanjang Jalan Noroyono khususnya di RT 01 RW I, masih dihuni Pardi, Ny Tuwuh, Pari Purnomo, Jupriyadi, Tarno dan lainnya. Tidak hanya enam penghuni yang masih bertahan di kawasan itu, karena di sisi barat masih ada lebih dari 15 rumah yang terlihat masih berdiri, meski proyek sudah rampung.
Keberadaan rumah-rumah ini membuat pemagaran yang dilakukan perusahaan BUMN itu terganjal dengan tembok rumah warga. Bahkan, ada satu rumah yang masih berdiri kokoh, sementara tiga rumah di kanan dan kirinya sudah rata dengan tanah. “Rumah ini mertua saya yang beli, tapi memang tidak ada sertifikatnya,” cerita Mulyani. Pihaknya berharap PT KAI memberikan dispensasi kepada warga yang masih bertahan.
Warga sudah mengajukan permohonan, agar diperbolehkan menempati tanah di sepanjang rel tersebut, meski harus sewa. “Sebenarnya kami sudah mengajukan permohonan untuk bisa sewa di Rusunawa Kaligawe, telah daftar ke ketua RT, tapi tidak ada perkembangan lagi,” jelasnya. Manajer Humas PT KA Daop IV Semarang Suprapto menegaskan, ada dua hal yang bisa menjadi pertimbangan tanah milik perusahaan dikomersialkan.
Pertama , minimal berada pada jarak 12 meter dari rel dan kedua dengan catatan lahan tidak digunakan untuk pengembangan. “Kalau tetap ada bangunan pada right of way rel kereta, pasti akan dihancurkan, tetap akan ditertibkan. Itu amanat dari PP No 56/2009 tentang Penyelenggaraan Lalu Lintas Perkeretaapian,” jelas Suprapto.
ARIF PURNIAWAN
Semarang
Mereka adalah warga RT 01 RWI Kelurahan Bulu Lor yang tetap bertahan kendati rumahnya berbatasan langsung dengan rel. Salah satunya adalah Mulyani, 38. Siang itu dia tengah sibuk menyiapkan makan siang untuk anaknya yang masih berusia belasan tahun. Di rumah semipermanen berukuran 2x5 meter persegi, Mulyani bersama suami dan empat anaknya menjalani rutinitas hari demi hari sejak bangunan lama dirobohkan oleh PT KAI untuk proyek rel ganda, dua tahun lalu.
Dapur, ruang tamu, ruang makan, kini menjadi satu. Bagian belakang rumah tersebut adalah pagar pembatas yang sekaligus menjadi penutup rumah. Jarak antara rel dan belakang rumah hanya sekitar lima meter. Sementara teras rumahnya merupakan tepi jalan raya. Puluhan tetangganya sudah pindah dan membongkar rumahnya sendiri.
Ada yang mengontrak di kawasan tersebut, ada juga yang membeli rumah di tempat lain. Saat ini, di RT tersebut, masih bertahan enam kepala keluar (KK). Mereka masih berharap diperbolehkan untuk menyewa tempat tersebut, dengan tetap membayar setiap bulan ataupun setahun sekali. Warga beralasan, untuk mencari tempat tinggal baru cukup memberatkan.
“Tali asih PT KA Rp7 juta, ibaratnya untuk ganti paku. Kontrak setahun saja sekarang sekitar Rp4 juta, dan itu cepat, kami tidak mampu.” ujar Mulyani. Di sepanjang Jalan Noroyono khususnya di RT 01 RW I, masih dihuni Pardi, Ny Tuwuh, Pari Purnomo, Jupriyadi, Tarno dan lainnya. Tidak hanya enam penghuni yang masih bertahan di kawasan itu, karena di sisi barat masih ada lebih dari 15 rumah yang terlihat masih berdiri, meski proyek sudah rampung.
Keberadaan rumah-rumah ini membuat pemagaran yang dilakukan perusahaan BUMN itu terganjal dengan tembok rumah warga. Bahkan, ada satu rumah yang masih berdiri kokoh, sementara tiga rumah di kanan dan kirinya sudah rata dengan tanah. “Rumah ini mertua saya yang beli, tapi memang tidak ada sertifikatnya,” cerita Mulyani. Pihaknya berharap PT KAI memberikan dispensasi kepada warga yang masih bertahan.
Warga sudah mengajukan permohonan, agar diperbolehkan menempati tanah di sepanjang rel tersebut, meski harus sewa. “Sebenarnya kami sudah mengajukan permohonan untuk bisa sewa di Rusunawa Kaligawe, telah daftar ke ketua RT, tapi tidak ada perkembangan lagi,” jelasnya. Manajer Humas PT KA Daop IV Semarang Suprapto menegaskan, ada dua hal yang bisa menjadi pertimbangan tanah milik perusahaan dikomersialkan.
Pertama , minimal berada pada jarak 12 meter dari rel dan kedua dengan catatan lahan tidak digunakan untuk pengembangan. “Kalau tetap ada bangunan pada right of way rel kereta, pasti akan dihancurkan, tetap akan ditertibkan. Itu amanat dari PP No 56/2009 tentang Penyelenggaraan Lalu Lintas Perkeretaapian,” jelas Suprapto.
ARIF PURNIAWAN
Semarang
(bbg)