Keahlian Membatik di Atas Enceng Gondok
A
A
A
YOGYAKARTA - Batik memang sudah menjadi salah satu ciri khas dari Yogyakarta. Banyak sentra kerajinan batik yang tersebar di kota ini.
Daerah berjuluk Kota Gudeg ini sangat kental dengan aroma batik, bahkan warisan nenek moyang ini turun temurun selalu berusaha dilestarikan.
Jika diamati secara detail, ternyata hampir setiap hari beragam model dan motif batik selalu bermunculan.
Bahkan, inovasi selalu terus dicanangkan oleh para pecinta batik agar rasa bosan terhadap corak batik ini tak lantas mengunjungi masyarakat Bantul. Tak heran jika Yogyakarta mendapat anugerah sebagai Kota batik Dunia.
Secara umum, dalam pengertian masyarakat, Batik selalu terpaku dan identik dengan kain sebagai medianya. Jika menyebut batik, dalam pemahaman orang selalu terpancang pengertian hamparan lembaran kain yang dihiasi "lukisan" di atasnya.
Padahal, sebenarnya sangat banyak lukisan-lukisan batik yang diciptakan oleh para seniman.
Salah satunya adalah Soepriyatno, warga Krapyak Wetan, RT 05, Desa Panggunghajo, Kecamatan Sewon. Laki-laki ini mencoba terus bereksplorasi dan ingin terkotak pemikiran pada kain semata.
Dia berusaha terus mengembangkan ide-idenya di luar kebiasaan. Karena sudah tertanam pada benak laki-laki yang sudah 30 tahun menggeluti batik ini, batik tidak hanya kain.
“Saya itu berpikir, batik sudah dikembangkan pada kayu, logam seperti pisau dan beberapa media lain. Maka saya ingin ada media lain yang selama ini belum pernah digunakan oleh orang lain,” ujarnya.
Berbagai media terus ia coba untuk media membatik. Akhirnya ada satu media yang menarik bagi dirinya, yaitu enceng gondok. Jika sekilas memang hal tersebut tidak akan masuk akal jika enceng gondok digunakan untuk membatik.
Enceng gondok selama ini hanya dikenal sebagai tanaman pengganggu saluran air.
Namun, dengan penuh keyakinan dia terus mencoba "menggauli" enceng gondok untuk membatik. Hasilnya sangat menarik dan unik. Kini, pria 44 tahun ini terus berupaya mengembangkan batik di atas enceng gondok.
“Saya yakin, masih ada media lain yang bisa digunakan untuk media,” tuturnya.
Soepriyanto mengaku mengeksplorasi membatik dengan enceng gondok sejak tahun 2000 silam. Dibantu istrinya, Ny Emiyati, dia melakukan eksperimen, untuk mendapatkan hasil sesuai yang diharapkan.
Melalui berbagai percobaan, akhirnya mendapatkan hasil yang sempurna. Menurutnya warna enceng gondok yang sudah ditenun dan sudah siap dibatik cenderung putih, kuning, dan kecoklatan.
Bila warna soga mendominasi gambarnya, maka yang nampak adalah warna natural. "Dulu awalnya itu kesulitannya pada tahap pewarnaan, karena enceng gondok warnanya sudah cokelat sedangkan lilin sendiri warnanya juga cokelat," katanya.
Soepriyanto menjelaskan, proses pembuatan batik ini berbeda dengan membatik di atas kain. Tahap pertama dimulai dengan pembuatan pola di atas anyaman enceng gondok. Pola yang sudah terbentuk tinggal di batik mengunakan alat bernama "canting".
Setelah proses batik selesai, maka sebagai finishing terakhir yaitu dijahit pada bagian tepi secara keseluruhan dengan kain blaco untuk menambah cantiknya penampilan batik enceng gondok. Selanjutnya, batik enceng gondok sudah siap ditempelkan di dinding menghiasi ruangan.
“Satu ciri khas yang selalu tuangkan ke dalam lukisan batiknya. Saat ini, kebanyakan motif batik eceng gondok ini bergambar dua gadis Bali, gadis pembawa buah, penari Bali bambu,” terangnya.
Setelah melalui berbagai eksperimen akhirnya ia bisa mendapatkan hasil yang maksimal. Setelah yakin, ia lantas berusaha memperkenalkan karyanya terhadap masyarakat. Tahun 2002, ia ikut pameran Inacraft, Icraft, dan Furnicraft di Jakarta.
Tahun 2003 pameran di Belanda dengan membawa sekitar 50 karya dan ludes terjual.
Kepala Seksi Sarana Usaha Industri Bidang Perindustrian Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi (Disperindagkop) Kabupaten Bantul, Suryono mengungkapkan, pegiat batik di Kabupaten Bantul kebanyakan memang datang dari industri kecil menengah (IKM).
Dua garis desain yang ditekuni dari perajin batik di Bantul adalah bercorak tradisional atau modern. "Sentra-sentra batik mulai bermunculan," paparnya.
Di Bantul, setidaknya ada IKM batik 612 baik menengah maupun kecil. Dari 612 IKM batik tersebut mampu mengayomi sekitar 2.056 tenaga pembatik. Sebagian besar, berada di dua sentra yaitu Kecamatan Imogiri dan Pandak.
Tak di dua kecamatan sebaran pelaku batik kain, ada enam kecamatan lain di antaranya Banguntapan, Kasihan, Pajangan, Pleret, dan beberapa lainnya.
Namun, dominasi pelaku industri batik memang masih berada di Kecamatan Imogiri, kecamatan yang memang ada hubungannya dengan Keraton Yogyakarta. Karena di Imogiri, terdapat makam raja-raja Keraton Ngayogyakarto Hadiningrat dan Solo.
"Di Imogiri sendiri ada sekitar 1.200 tenaga pembatik," tambahnya.
Daerah berjuluk Kota Gudeg ini sangat kental dengan aroma batik, bahkan warisan nenek moyang ini turun temurun selalu berusaha dilestarikan.
Jika diamati secara detail, ternyata hampir setiap hari beragam model dan motif batik selalu bermunculan.
Bahkan, inovasi selalu terus dicanangkan oleh para pecinta batik agar rasa bosan terhadap corak batik ini tak lantas mengunjungi masyarakat Bantul. Tak heran jika Yogyakarta mendapat anugerah sebagai Kota batik Dunia.
Secara umum, dalam pengertian masyarakat, Batik selalu terpaku dan identik dengan kain sebagai medianya. Jika menyebut batik, dalam pemahaman orang selalu terpancang pengertian hamparan lembaran kain yang dihiasi "lukisan" di atasnya.
Padahal, sebenarnya sangat banyak lukisan-lukisan batik yang diciptakan oleh para seniman.
Salah satunya adalah Soepriyatno, warga Krapyak Wetan, RT 05, Desa Panggunghajo, Kecamatan Sewon. Laki-laki ini mencoba terus bereksplorasi dan ingin terkotak pemikiran pada kain semata.
Dia berusaha terus mengembangkan ide-idenya di luar kebiasaan. Karena sudah tertanam pada benak laki-laki yang sudah 30 tahun menggeluti batik ini, batik tidak hanya kain.
“Saya itu berpikir, batik sudah dikembangkan pada kayu, logam seperti pisau dan beberapa media lain. Maka saya ingin ada media lain yang selama ini belum pernah digunakan oleh orang lain,” ujarnya.
Berbagai media terus ia coba untuk media membatik. Akhirnya ada satu media yang menarik bagi dirinya, yaitu enceng gondok. Jika sekilas memang hal tersebut tidak akan masuk akal jika enceng gondok digunakan untuk membatik.
Enceng gondok selama ini hanya dikenal sebagai tanaman pengganggu saluran air.
Namun, dengan penuh keyakinan dia terus mencoba "menggauli" enceng gondok untuk membatik. Hasilnya sangat menarik dan unik. Kini, pria 44 tahun ini terus berupaya mengembangkan batik di atas enceng gondok.
“Saya yakin, masih ada media lain yang bisa digunakan untuk media,” tuturnya.
Soepriyanto mengaku mengeksplorasi membatik dengan enceng gondok sejak tahun 2000 silam. Dibantu istrinya, Ny Emiyati, dia melakukan eksperimen, untuk mendapatkan hasil sesuai yang diharapkan.
Melalui berbagai percobaan, akhirnya mendapatkan hasil yang sempurna. Menurutnya warna enceng gondok yang sudah ditenun dan sudah siap dibatik cenderung putih, kuning, dan kecoklatan.
Bila warna soga mendominasi gambarnya, maka yang nampak adalah warna natural. "Dulu awalnya itu kesulitannya pada tahap pewarnaan, karena enceng gondok warnanya sudah cokelat sedangkan lilin sendiri warnanya juga cokelat," katanya.
Soepriyanto menjelaskan, proses pembuatan batik ini berbeda dengan membatik di atas kain. Tahap pertama dimulai dengan pembuatan pola di atas anyaman enceng gondok. Pola yang sudah terbentuk tinggal di batik mengunakan alat bernama "canting".
Setelah proses batik selesai, maka sebagai finishing terakhir yaitu dijahit pada bagian tepi secara keseluruhan dengan kain blaco untuk menambah cantiknya penampilan batik enceng gondok. Selanjutnya, batik enceng gondok sudah siap ditempelkan di dinding menghiasi ruangan.
“Satu ciri khas yang selalu tuangkan ke dalam lukisan batiknya. Saat ini, kebanyakan motif batik eceng gondok ini bergambar dua gadis Bali, gadis pembawa buah, penari Bali bambu,” terangnya.
Setelah melalui berbagai eksperimen akhirnya ia bisa mendapatkan hasil yang maksimal. Setelah yakin, ia lantas berusaha memperkenalkan karyanya terhadap masyarakat. Tahun 2002, ia ikut pameran Inacraft, Icraft, dan Furnicraft di Jakarta.
Tahun 2003 pameran di Belanda dengan membawa sekitar 50 karya dan ludes terjual.
Kepala Seksi Sarana Usaha Industri Bidang Perindustrian Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi (Disperindagkop) Kabupaten Bantul, Suryono mengungkapkan, pegiat batik di Kabupaten Bantul kebanyakan memang datang dari industri kecil menengah (IKM).
Dua garis desain yang ditekuni dari perajin batik di Bantul adalah bercorak tradisional atau modern. "Sentra-sentra batik mulai bermunculan," paparnya.
Di Bantul, setidaknya ada IKM batik 612 baik menengah maupun kecil. Dari 612 IKM batik tersebut mampu mengayomi sekitar 2.056 tenaga pembatik. Sebagian besar, berada di dua sentra yaitu Kecamatan Imogiri dan Pandak.
Tak di dua kecamatan sebaran pelaku batik kain, ada enam kecamatan lain di antaranya Banguntapan, Kasihan, Pajangan, Pleret, dan beberapa lainnya.
Namun, dominasi pelaku industri batik memang masih berada di Kecamatan Imogiri, kecamatan yang memang ada hubungannya dengan Keraton Yogyakarta. Karena di Imogiri, terdapat makam raja-raja Keraton Ngayogyakarto Hadiningrat dan Solo.
"Di Imogiri sendiri ada sekitar 1.200 tenaga pembatik," tambahnya.
(lis)