Kami Lelah dan Tidak Ada Harapan...
A
A
A
Dua batang dupa setinggi 60 sentimeter berdiri tegak di lantai keramik kamar berukuran 2x3 meter. Aromanya semerbak, menyebar memenuhi seisi ruangan.
Tak jauh dupa tersebut, dua botol pewangi tergolek kosong di sela celah kusen jendela. Isinya sudah habis terpercik ke lantai kamar. Namun harumnya belum bisa menghilangkan bau busuk kamar rumah yang terletak di Dusun Morangan, Desa Minggiran, Kecamatan Papar, Kabupaten Kediri tersebut. Di kamar inilah, pasangan suami istri Yudi Santoso, 41 dan Retno Fajar, 38, berikut Wulan, 7 anak semata wayang mereka ditemukan tewas pada Jumat (3/4) malam.
Ketiganya diduga tewas bunuh diri dengan meminum cairan racun serangga. Faktor kemiskinanlah yang diduga memaksa keluarga ini memilih untuk menyudahi hidup mereka. “Kami sampai membakar dupa untuk mengatasi aroma tidak sedap di kamar ini,” tutur Aminur Hadi, 37, adik kandung Yudi Santoso kepada KORAN SINDO JATIM , kemarin. Amin bahkan sempat tidak menyangka, bau busuk yang menyengat itu berasal dari mayat saudaranya.
Diamenuturkan, malam itu sekitar pukul 19.00 WIB dia baru tiba dari Surabaya. Seperti biasa, dua pekan sekali bujangan itu memang rutin pulang ke rumahnya di Desa Minggiran, Papar, Kabupaten Kediri. Rumah sederhana dengan kombinasi cat berwarna hijau krem itu adalah milik Tarminah, 70, ibunya. Bentuknya limas terletak di pinggir jalan setapak desa, berjarak sekitar 200 meter dari jalan raya Kediri-Kertosono.
Sudah dua bulan terakhir, rumah dengan sebatang pohon jambu di pojok kanan depan dan kandang ayam di sudut kiri itu ditinggali keluarga kakak kandungnya, Yudi. Yudi merupakan anak nomor enam dari delapan saudara. “Ibu tinggal di rumah kakak saya di Krian Surabaya. Saya bekerja dan ngekos di Surabaya. Daripada kosong lebih baik ditempati saudara saya di sini (Kediri),” kata dia.
Sejak berada di teras rumah, Amin mengaku sudah menghirup baunya. Aroma bangkai yang tercium begitu kuat. Awalnya dia curiga ada ayam yang mati karena di pojok rumah itu memang ada kandang ayam. Dia lalu melihat ruang tamu yang gelap, begitu juga kamar kakaknya. Namun dari jendela nako kamar depan yang terbuka separo, dia melihat televisi di dalam kamar masih menyala. “Saya masuk lewat pintu samping. Sebab meski posisinya tertutup ternyata tidak terkunci,” terangnya.
Begitu masuk ruang tamu, bau busuk yang tercium semakin kuat. Sebuah ruangan dengan ukuran tidak begitu besar. Seperangkat almari bufet ditempatkan di tengah ruangan. Selain sebagai perabot, bufet itu juga berfungsi sebagai penyekat ruang tamu dan ruang dalam. Pada dinding terpajang foto keluarga, di antaranya foto Amin saat mengenakan baju toga wisuda. Amin lalu melihat pintu kamar Yudi tertutup rapat.
Dalam hati dia merasa heran mengapa bau busuk yang sangat menyengat itu tidak mengganggu tidur keluarga kakaknya. Perlahan, dia pun menyentuh daun pintu lalu mengetuknya. Sekali dua kali, yang ketiga dia mengetuk pintu lebih keras lagi. Namun tetap tidak ada respon dari dalam. “Karena penasaran, saya memaksa membuka pintu,” jelasnya.
Amin mendorong pintu dengan keras. Begitu pintu terbuka, Amin kaget bukan kepalang. Di lihatnya Yudi, Retno dan Wulan, keponakan yang biasa dia panggil Ola itu sudah terbujur kaku. Posisinya berjajar rapi, telentang di atas kasur busa. Kepala ketiganya berada di sebelah selatan, tepat didepan dua almari plastik kabinet dan sebuah lemari kayu. “Saya syok dan ketakutan. Saat itu juga saya langsung keluar menceritakan apa yang saya lihat kepada tetangga dan perangkat desa,” papar Amin.
Wajah dan bagian tangan orang tua dan anak itu telah menghitam. Sementara sebagian tubuh mereka sudah membusuk. Diduga usia kematian mereka sudah lebih dari 2 X 24 jam. Tidak jauh dari ketiga jenazah tergeletak sebuah buku tulis yang berisi pesan terakhir yang diduga adalah tulisan tangan Yudi. Dalam surat itu, intinya disampaikan bahwa bunuh diri tersebut dipilih karena merasa lelah menghadapi hidup.
“Kami lelah dan tidak ada harapan”, begitu isi surat tersebut. Dalam surat itu juga disebutkan permintaan agar ketiganya dimakamkan satu liang lahat. Namun permintaan tersebut tak bisa dikabulkan keluarga. Jenazah Yudi dimakamkan terpisah dengan istrinya, Retno serta Ola, anaknya yang masih kelas 1 SD.
Yudi dimakamkan di pemakaman umu Desa Minggiran, sedangkan Retno dan Wulan dimakamkan di Semarang, Jawa Tengah. “Karena permintaan keluarga di Semarang, jenazah kakak ipar dan keponakan saya (Retno dan Wulan) dibawa ke Semarang. Kakak ipar saya asli Semarang,” jelasnya.
Motif Ekonomi
Apa sebenarnya motif bunuh diri Yudi dan keluarganya? Benarkah mereka memang bunuh diri? Dari bukti yang ditemukan di lokasi kejadian, ditambah keterangan sejumlah saksi, polisi untuk sementara memang menyimpulkan ketiganya mati karena menenggak cairan racun serangga. Tidak ada tanda-tanda kekerasan pada tubuh ketiga jenazah.
Selain surat wasiat dan telepon selular (ponsel), petugas Polsek Papar juga menyita sebotol cairan racun serangga merek HIT yang diduga untuk bunuh diri tersebut. Polisi menduga motif ekonomi mendorong terjadinya bunuh diri ini. Yudi diketahui sudah setahun tidak bekerja. Tanpa alasan yang jelas, dia memutuskan keluar dari pekerjaannya sebagai medical representative . Menurut informasi yang dihimpun, Yudi bekerja di perusahaan farmasi Kimia Farma di Bandung. Di perusahaan itu pula istrinya, Retno bekerja.
Retno akhirnya memilih menjadi ibu rumah tangga daripada dimutasi sebagai pengawas di sebuah perusahaan di Surabaya. Setelah tidak bekerja, mereka sempat mencoba peruntungan dengan berdagang online . Namun ikhtiar Yudi dan Retno tidak membawa hasil sesuai harapan. Bahkan modal yang dikeluarkan tidak kembali. Informasi lain menyebutkan, Yudi dan Retno sempat terlibat pertengkaran sengit.
Retno dikabarkan sempat meminta cerai tidak tahan dengan keadaan ekonomi keluarga itu. “Salah satu alasan menempati rumah ibu karena mereka memang tidak lagi bekerja. Apakah motifnya itu, kami juga tidak tahu pasti,” jelas Amin. Nurul Talqis, 49, kakak Yudi menambahkan, adiknya memang sosok pribadi yang tertutup. Meski mendapat masalah tidak pernah sekalipun membagi beban kepada siapapun, termasuk kepada saudaranya.
“Dari dulu orangnya tertutup. Begitu juga dengan istrinya. Meski ada masalah tidak pernah mengeluh, apalagi meminta tolong,” tuturnya sedih. Rabu (1/4) sore, Yudi masih sempat berkomunikasi dengan Tamam, kakak tertua mereka. Hanya saja ia tidak tahu apa isi dari pembicaraan tersebut. Karena itu, Nurul memperkirakan Yudi tewas pada Rabu (1/4) malam, atau Kamis keesokan harinya.
“Saya cuma berharap, keluarga besar kami diberi ketabahan. Begitu juga dengan keluarga di Semarang,” ujar Nurul menghela napas panjang.
Solichan Arif
Kediri
Tak jauh dupa tersebut, dua botol pewangi tergolek kosong di sela celah kusen jendela. Isinya sudah habis terpercik ke lantai kamar. Namun harumnya belum bisa menghilangkan bau busuk kamar rumah yang terletak di Dusun Morangan, Desa Minggiran, Kecamatan Papar, Kabupaten Kediri tersebut. Di kamar inilah, pasangan suami istri Yudi Santoso, 41 dan Retno Fajar, 38, berikut Wulan, 7 anak semata wayang mereka ditemukan tewas pada Jumat (3/4) malam.
Ketiganya diduga tewas bunuh diri dengan meminum cairan racun serangga. Faktor kemiskinanlah yang diduga memaksa keluarga ini memilih untuk menyudahi hidup mereka. “Kami sampai membakar dupa untuk mengatasi aroma tidak sedap di kamar ini,” tutur Aminur Hadi, 37, adik kandung Yudi Santoso kepada KORAN SINDO JATIM , kemarin. Amin bahkan sempat tidak menyangka, bau busuk yang menyengat itu berasal dari mayat saudaranya.
Diamenuturkan, malam itu sekitar pukul 19.00 WIB dia baru tiba dari Surabaya. Seperti biasa, dua pekan sekali bujangan itu memang rutin pulang ke rumahnya di Desa Minggiran, Papar, Kabupaten Kediri. Rumah sederhana dengan kombinasi cat berwarna hijau krem itu adalah milik Tarminah, 70, ibunya. Bentuknya limas terletak di pinggir jalan setapak desa, berjarak sekitar 200 meter dari jalan raya Kediri-Kertosono.
Sudah dua bulan terakhir, rumah dengan sebatang pohon jambu di pojok kanan depan dan kandang ayam di sudut kiri itu ditinggali keluarga kakak kandungnya, Yudi. Yudi merupakan anak nomor enam dari delapan saudara. “Ibu tinggal di rumah kakak saya di Krian Surabaya. Saya bekerja dan ngekos di Surabaya. Daripada kosong lebih baik ditempati saudara saya di sini (Kediri),” kata dia.
Sejak berada di teras rumah, Amin mengaku sudah menghirup baunya. Aroma bangkai yang tercium begitu kuat. Awalnya dia curiga ada ayam yang mati karena di pojok rumah itu memang ada kandang ayam. Dia lalu melihat ruang tamu yang gelap, begitu juga kamar kakaknya. Namun dari jendela nako kamar depan yang terbuka separo, dia melihat televisi di dalam kamar masih menyala. “Saya masuk lewat pintu samping. Sebab meski posisinya tertutup ternyata tidak terkunci,” terangnya.
Begitu masuk ruang tamu, bau busuk yang tercium semakin kuat. Sebuah ruangan dengan ukuran tidak begitu besar. Seperangkat almari bufet ditempatkan di tengah ruangan. Selain sebagai perabot, bufet itu juga berfungsi sebagai penyekat ruang tamu dan ruang dalam. Pada dinding terpajang foto keluarga, di antaranya foto Amin saat mengenakan baju toga wisuda. Amin lalu melihat pintu kamar Yudi tertutup rapat.
Dalam hati dia merasa heran mengapa bau busuk yang sangat menyengat itu tidak mengganggu tidur keluarga kakaknya. Perlahan, dia pun menyentuh daun pintu lalu mengetuknya. Sekali dua kali, yang ketiga dia mengetuk pintu lebih keras lagi. Namun tetap tidak ada respon dari dalam. “Karena penasaran, saya memaksa membuka pintu,” jelasnya.
Amin mendorong pintu dengan keras. Begitu pintu terbuka, Amin kaget bukan kepalang. Di lihatnya Yudi, Retno dan Wulan, keponakan yang biasa dia panggil Ola itu sudah terbujur kaku. Posisinya berjajar rapi, telentang di atas kasur busa. Kepala ketiganya berada di sebelah selatan, tepat didepan dua almari plastik kabinet dan sebuah lemari kayu. “Saya syok dan ketakutan. Saat itu juga saya langsung keluar menceritakan apa yang saya lihat kepada tetangga dan perangkat desa,” papar Amin.
Wajah dan bagian tangan orang tua dan anak itu telah menghitam. Sementara sebagian tubuh mereka sudah membusuk. Diduga usia kematian mereka sudah lebih dari 2 X 24 jam. Tidak jauh dari ketiga jenazah tergeletak sebuah buku tulis yang berisi pesan terakhir yang diduga adalah tulisan tangan Yudi. Dalam surat itu, intinya disampaikan bahwa bunuh diri tersebut dipilih karena merasa lelah menghadapi hidup.
“Kami lelah dan tidak ada harapan”, begitu isi surat tersebut. Dalam surat itu juga disebutkan permintaan agar ketiganya dimakamkan satu liang lahat. Namun permintaan tersebut tak bisa dikabulkan keluarga. Jenazah Yudi dimakamkan terpisah dengan istrinya, Retno serta Ola, anaknya yang masih kelas 1 SD.
Yudi dimakamkan di pemakaman umu Desa Minggiran, sedangkan Retno dan Wulan dimakamkan di Semarang, Jawa Tengah. “Karena permintaan keluarga di Semarang, jenazah kakak ipar dan keponakan saya (Retno dan Wulan) dibawa ke Semarang. Kakak ipar saya asli Semarang,” jelasnya.
Motif Ekonomi
Apa sebenarnya motif bunuh diri Yudi dan keluarganya? Benarkah mereka memang bunuh diri? Dari bukti yang ditemukan di lokasi kejadian, ditambah keterangan sejumlah saksi, polisi untuk sementara memang menyimpulkan ketiganya mati karena menenggak cairan racun serangga. Tidak ada tanda-tanda kekerasan pada tubuh ketiga jenazah.
Selain surat wasiat dan telepon selular (ponsel), petugas Polsek Papar juga menyita sebotol cairan racun serangga merek HIT yang diduga untuk bunuh diri tersebut. Polisi menduga motif ekonomi mendorong terjadinya bunuh diri ini. Yudi diketahui sudah setahun tidak bekerja. Tanpa alasan yang jelas, dia memutuskan keluar dari pekerjaannya sebagai medical representative . Menurut informasi yang dihimpun, Yudi bekerja di perusahaan farmasi Kimia Farma di Bandung. Di perusahaan itu pula istrinya, Retno bekerja.
Retno akhirnya memilih menjadi ibu rumah tangga daripada dimutasi sebagai pengawas di sebuah perusahaan di Surabaya. Setelah tidak bekerja, mereka sempat mencoba peruntungan dengan berdagang online . Namun ikhtiar Yudi dan Retno tidak membawa hasil sesuai harapan. Bahkan modal yang dikeluarkan tidak kembali. Informasi lain menyebutkan, Yudi dan Retno sempat terlibat pertengkaran sengit.
Retno dikabarkan sempat meminta cerai tidak tahan dengan keadaan ekonomi keluarga itu. “Salah satu alasan menempati rumah ibu karena mereka memang tidak lagi bekerja. Apakah motifnya itu, kami juga tidak tahu pasti,” jelas Amin. Nurul Talqis, 49, kakak Yudi menambahkan, adiknya memang sosok pribadi yang tertutup. Meski mendapat masalah tidak pernah sekalipun membagi beban kepada siapapun, termasuk kepada saudaranya.
“Dari dulu orangnya tertutup. Begitu juga dengan istrinya. Meski ada masalah tidak pernah mengeluh, apalagi meminta tolong,” tuturnya sedih. Rabu (1/4) sore, Yudi masih sempat berkomunikasi dengan Tamam, kakak tertua mereka. Hanya saja ia tidak tahu apa isi dari pembicaraan tersebut. Karena itu, Nurul memperkirakan Yudi tewas pada Rabu (1/4) malam, atau Kamis keesokan harinya.
“Saya cuma berharap, keluarga besar kami diberi ketabahan. Begitu juga dengan keluarga di Semarang,” ujar Nurul menghela napas panjang.
Solichan Arif
Kediri
(ars)