Tanah Retak, 210 Rumah Rawan Ambruk
A
A
A
KARANGANYAR - Sebanyak 210 rumah di Desa Gerdu, Kecamatan Karangpandan, Karanganyar rawan ambruk menyusul bencana tanah retak yang terus terjadi. Rumah warga retakretak akibat tanah mengalami pergerakan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Karanganyar, warga Desa Gerdu tercatat sebanyak 3.000 jiwa.Kepala Desa (Kades) Gerdu, Suwarno mengatakan, retaknya ratusan rumah merupakan akumulasi dari jumlah kasus yang terjadi sejak 2012 lalu. Kejadian tanah ambles terdapat di Dusun Kalongan, Popongan, Ledok, Jurangjero dan Gondangrejo.
Kasus terakhir terjadi 14 Maret lalu, yakni menimpa sembilan rumah di Dusun Gondangrejo dan Kalongan. “Sampai saat ini rumah yang retak tetap ditinggali pemiliknya,” kata Suwarno di sela-sela sosialisasi tanggap darurat bencana tanah longsor di wilayah setempat kemarin. Namun, mereka diminta tetap waspada karena bahaya sewaktu waktu dapat mengancam.
Sampai saat ini kerusakan belum diperbaiki karena kendala biaya. Selainitu, kejadianserupadikhawatirkan masih terus berlangsung. Ketika hujan deras, penghuni rumah yang retak mengungsi ke lokasi yang aman. Mereka biasanya pindah ke tempat sanak saudaranya yang rumahnya aman. Setelah dirasa aman, mereka kembali lagi ke rumah masing-masing.
Warga cukup sadar dalam mengantisipasi bencana karena sosialisasi cukup sering dilakukan. Sementara itu, dosen Teknik Geologi, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Agus Hendratno mengatakan salah satu penyebab tanah longsor karena sistem terasering di pemukiman warga yang tidak tepat. Desain permukiman di kawasan lereng Gunung Lawu sebagian memang berisiko menimbulkan longsor.
“Masyarakat perlu memperhatikan risiko. Sistem cut and fill yang diterapkan saat membangun rumah sering tidak diperhatikan,” ungkap Agus. Meski demikian, kawasan rawan bencana alam tetap bisa ditempati asalkan penduduknya bersikap bijak terhadap lingkungan. Sikap ini perlu dipahami masyarakat di kawasan itu dengan didampingi instansi terkait.
Selain itu, mereka juga harus peka terhadap lingkungan sekitarnya. Masyarakat harus bisa mengidentifikasi tanda-tanda awal yang muncul ketika akan terjadi bencana. Seperti muncul resapan air setelah terjadi hujan yang menandakan bakal terjadi longsor. “Sehingga mereka harus segera mengungsi ke tempat yang lebih aman,” ucapnya.
Kasi Pembinaan dan Penyuluhan Balai ESDM Jawa Tengah wilayah Kerja Solo Panut Priyanto mengemukakan relokasi bukan satu satunya pilihan bagi warga yang ada di kawasan bencana. Sebab, penduduk setempat masih bisa menempati kampung halamannya asalkan mau mengubah perilaku. Mereka bisa diberi pemahaman tentang tanggap darurat bencana.
Ary wahyu wibowo
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Karanganyar, warga Desa Gerdu tercatat sebanyak 3.000 jiwa.Kepala Desa (Kades) Gerdu, Suwarno mengatakan, retaknya ratusan rumah merupakan akumulasi dari jumlah kasus yang terjadi sejak 2012 lalu. Kejadian tanah ambles terdapat di Dusun Kalongan, Popongan, Ledok, Jurangjero dan Gondangrejo.
Kasus terakhir terjadi 14 Maret lalu, yakni menimpa sembilan rumah di Dusun Gondangrejo dan Kalongan. “Sampai saat ini rumah yang retak tetap ditinggali pemiliknya,” kata Suwarno di sela-sela sosialisasi tanggap darurat bencana tanah longsor di wilayah setempat kemarin. Namun, mereka diminta tetap waspada karena bahaya sewaktu waktu dapat mengancam.
Sampai saat ini kerusakan belum diperbaiki karena kendala biaya. Selainitu, kejadianserupadikhawatirkan masih terus berlangsung. Ketika hujan deras, penghuni rumah yang retak mengungsi ke lokasi yang aman. Mereka biasanya pindah ke tempat sanak saudaranya yang rumahnya aman. Setelah dirasa aman, mereka kembali lagi ke rumah masing-masing.
Warga cukup sadar dalam mengantisipasi bencana karena sosialisasi cukup sering dilakukan. Sementara itu, dosen Teknik Geologi, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Agus Hendratno mengatakan salah satu penyebab tanah longsor karena sistem terasering di pemukiman warga yang tidak tepat. Desain permukiman di kawasan lereng Gunung Lawu sebagian memang berisiko menimbulkan longsor.
“Masyarakat perlu memperhatikan risiko. Sistem cut and fill yang diterapkan saat membangun rumah sering tidak diperhatikan,” ungkap Agus. Meski demikian, kawasan rawan bencana alam tetap bisa ditempati asalkan penduduknya bersikap bijak terhadap lingkungan. Sikap ini perlu dipahami masyarakat di kawasan itu dengan didampingi instansi terkait.
Selain itu, mereka juga harus peka terhadap lingkungan sekitarnya. Masyarakat harus bisa mengidentifikasi tanda-tanda awal yang muncul ketika akan terjadi bencana. Seperti muncul resapan air setelah terjadi hujan yang menandakan bakal terjadi longsor. “Sehingga mereka harus segera mengungsi ke tempat yang lebih aman,” ucapnya.
Kasi Pembinaan dan Penyuluhan Balai ESDM Jawa Tengah wilayah Kerja Solo Panut Priyanto mengemukakan relokasi bukan satu satunya pilihan bagi warga yang ada di kawasan bencana. Sebab, penduduk setempat masih bisa menempati kampung halamannya asalkan mau mengubah perilaku. Mereka bisa diberi pemahaman tentang tanggap darurat bencana.
Ary wahyu wibowo
(bbg)